Luna diperlakukan istimewa, dia diberikan makanan enak, diizinkan menggunakan telepon penjara lebih lama dan lain sebagainya. Semua orang yang melihatnya iri, termasuk Bidah. Dia yang kenal Luna sejak masuk ke tahanan tidak menyangka kalau perempuan itu memiliki dukungan yang besar. Luna yang sedang berkebun dihampiri oleh Bidah dan ketiga temannya, yang satu terlihat seperti bos mereka.
“Asik banget Gundik kita, gile dapet fasilitasnya mantap betul,” ujar Bidah.
“Bagi duit dong,” sahut Mela, teman Bidah yang melangkah mendekati Luna dengan tubuh tingginya.
“Duit apa?” tanya Luna, karena dia memang tidak memegang uang.
“Duit lah, buat jajan. Asem mulut nggak ngerokok,” ucap Bidah.
“Gue nggak ada uang, gue nggak nyimpen uang sama sekali,” jelas Luna.
“Ah bohong nih, jangan bohong deh lo,” Mela menggeledah seisi baju Luna yang memang tidak ditemukan apa-apa kecuali sebuah foto. Foto sebuah anak laki.
“Foto siapa nih? Anak lo?” tanya Mela.
Bidah yang penasaran juga ikut melihat, “Ganteng juga. Umur berapa nih? Bagus nih kalau kita jual.”
Luna yang mendengarnya sontak merebut foto tersebut kasar, “Bukan, dia bukan siapa-siapa,” jawab Luna sedikit keras.
“Ye, songong lo. Hajar,” perintah Bidah pada Mela yang berakhir mereka berdua menggebuki Luna.
Teman Bidah satu lagi alias Bos mereka bernama Lela akhirnya maju untuk menghentikan perkelahian, “Eh, udah-udah begitu aja pake berantem. NARA!”
Lela memanggil Nara yang dengan cepat dihampiri oleh anak itu, Nara langsung mengangkat tubuh Luna yang sudah lunglai untuk duduk di sebuah kursi. Lela kemudian duduk di hadapan Luna.
“Ini anak lo?” tanyanya sembari mengambil foto Ben.
“Bukan. Bukan,” dalih Luna ketakutan.
Lela menyeringai, “Tenang, gue nggak akan ngapa-ngapain tuh anak. Cuma gue penasaran nih pengen tahu, kok lo bisa kenal sama Setyo?”
“Hah? Oh, Pak Setyo, dia pernah jadi pelanggan saya,” jawabnya dengan lemah.
“Pelanggan di mana? Lo PSK?”
“Bukan saya cuma nemenin dia di Bar.”
“Sama aja goblok,” umpat Bidah.
“Lo Lady Escort?” tanya Lela tenang.
Luna mengangguk datar, dia mencoba tenang walau sebenarnya ketakutan.
“Oh pantes, denger ya, di sini gue yang berkuasa. Pak Setyo itu nggak ada apa-apanya dibanding sama orang yang ngebacking gue. Jadi jangan sok belagu lo, ngerti?”
Luna kemudian menatap orang yang ada di hadapannya satu per satu, “Siapa backingan kalian?”
“Nggak usah banyak tanya lo,” ucap Bidah, “Kita minta duit lo, ambil sekarang duit lo, pasti ada di kamar kan?”
“Nggak ada, saya nggak bawa duit,” suara Luna mulai dalam dan terlihat kesal.
“Dia emang nggak ada duit kali Mak,” celetuk Nara polos.
Bidah yang ingin mengomel lantas ditahan oleh Lela, tangan Lela dengan ringan dan tanpa beban menampar pipi Luna keras. Mata Luna tajam menatap Lela sambil memegangi pipinya yang sakit. Kali ini Luna membalas juga dengan tamparan yang sama kerasnya pada Lela. Api dibalas dengan api.
“Berani juga nih anak.” ujar Lela.
“Saya nggak takut apapun,” jawab Luna menantang.