Kissed by The Sun

Bena
Chapter #2

2.

Perlahan kurasakan tubuhku. Cahaya memaksa masuk melalui kelopak mataku yang terasa berat. Langit-langit gua samar menyapa. Aroma nasi hangat dengan lembut membuai hidungku. Siapa yang memasak di sini? Hal terakhir yang kuingat adalah aku dikejar oleh prajurit hingga salah satu dari kuda bertanduk mereka menendang kepalaku. Tapi sepertinya sihir keselamatan yang kulekatkan benar-benar telah menolongku.

Aku berusaha bangkit, namun rasa nyeri menghantam kepalaku. Aku merabanya dan saat itu juga sebuah handuk basah merosot dari kepalaku. Apa ini? Belum selesai aku dengan segala kebingunganku, seketika aku tersentak karena adanya wujud lelaki di depanku. Dia yang meletakkan handuk basah ini? Lucu benar. Maksudnya kompres? Sepertinya dia lupa menggantinya dengan air yang baru.

Lelaki itu menghadap ke arahku. Kutarik kata-kataku bahwa dia ini lucu. Alis tebal yang hampir menyatu itu, apakah yang akan dia lakukan padaku? Oh ya, dia sedang memasak. Apakah dia akan memasukkanku bersama nasi lembek itu? Jika itu benar maka apa yang harus kulakukan? Jika aku lari menerobosnya begitu saja bisa jadi aku langsung ditendang masuk ke kuali.

Ketika aku memikirkan cara untuk menyelamatkan diri, lelaki itu menyodorkan mangkuk berisi nasi lembek itu padaku. Bibir tipis itu lalu bergerak-gerak. Tampak seperti mengucapkan sesuatu. Aku lelah memberi tahu orang yang pertama kali bertemu denganku bahwa aku tak bisa mendengar. Sekarang apa yang harus kulakukan?

Mengesampingkan segala cara supaya dia tahu bahwa aku tuli, aku menerima mangkuk itu. Aroma lembutnya naik bersama uap tipis yang menggelitik hidung. Walaupun makanan ini tampak sangat sederhana, menurutku ini lebih dari kata layak untuk dimakan. Rasanya begitu lembut dan mengalir. Menghangatkan tenggorokan dengan rasa gurih yang ringan. Mungkin aku akan terus membeli makanan ini selama di bumi.

Selama aku makan, lelaki itu tak kunjung berhenti memelototiku. Macam di bawah sini tak ada makhluk sepertiku saja. Atau kalimat yang kubaca di sebuah buku itu benar adanya. Seekor sphinx mengangkat salah satu bagian bumi supaya tak berkonflik dengan manusia. Jadi tak ada makhluk bertelinga runcing yang tersisa. Setelah aku selesai, dia mengajakku bicara. Akhirnya aku bisa lepas dari mata dan alis tebal itu. Suatu hal yang merepotkan aku harus selalu membawa kumpulan kertas dan pena supaya orang mengerti apa yang kukatakan.

Hal pertama yang kutulis adalah meminta maaf karena aku tuli. Lalu bilang padanya bahwa dia bisa menulis di sini untuk berkomunikasi. Tapi sungguh, hal yang dituliskannya sebagai balasan membuatku ingin mengucapkan syukur di hadapan Tuhan secara langsung.

Dia menanyakan sesuatu yang belum pernah dituliskan orang lain sebelumnya. Awalnya tampak terkejut ketika membaca tulisanku, lalu dengan cepat merebut kertas yang kupegang. Menyebutkan namanya dan bertanya, apakah kamu bisa bahasa isyarat?

Aku pun menjawabnya dengan gerakan tangan. Jari-jariku melayang di udara setelah menyelesaikan sebuah kalimat. Mataku membesar ketika Buyung membalasnya dengan gerakan yang fasih, seolah-olah ini adalah hal yang wajar, bukan sekedar kode asing yang hanya kupahami sendiri.

Setiap kali aku berusaha bicara, mereka hanya membalas dengan tatapan iba dan kebingungan. Tapi kali ini, seseorang mengerti. Rasanya seolah aku bisa berbicara walaupun tak ada satu pun kata yang dapat keluar dari bisuku. Rasanya seolah aku bisa mendengar walaupun tak ada satu pun kata yang masuk ke telingaku. Gua yang menangkis cahaya matahari seolah sia-sia. Hangat matahari pagi tetap menembus hingga dadaku. Aku tak perlu mengangkat kertas dan menuliskan kata-kata yang tak bisa kuucapkan. Aku tak perlu berjuang untuk dipahami. Untuk pertama kalinya aku merasa bisa terhubung dengan dunia.

"Siapa namamu?" tanyanya kemudian.

Aku pun mengeja namaku dengan jari-jariku. "S-E-R-U-N-I." Buyung tersenyum sebagai balasan. Mengesampingkan wajah menyeramkan Buyung, aku teringat dia sudah berbuat baik. Aku berterima kasih padanya karena telah menyelamatkanku, memberi sarapan pula.

Pasti dia keberatan membawaku ke sini. Setelah sihir keselamatan melekat padaku, dia akan terus melindungiku. Ketika salah satu kuda bertanduk mereka menendang kepalaku, aku langsung tak sadarkan diri. Payung yang membantuku terbang pasti terlepas dari tanganku dan aku akan jatuh. Tapi berkat sihirku sebelumnya, dia membuatku melayang hingga punggungku mencapai alas. Kalau bukan aku yang tertidur di tanah dan Buyung yang menemukanku maka kemungkinan dia yang menangkapku saat aku masih melayang di udara.

Buyung menepuk udara untuk memanggilku. "Kamu dapat melakukan sihir?"

Aku bingung dengan maksudnya. Buyung mengulang gerakan tangannya. "Jatuh dari ketinggian tanpa langsung menghantam tanah adalah hal yang tak wajar. Sepatutnya kamu tak selamat. Tapi kamu masih hidup, melayang-layang bahkan. Orang mana yang bisa melakukan itu." Aku hanya menghindari tatapan mata Buyung. Dia sudah tahu sebelum aku menjawabnya.

Buyung lalu membuka perban yang menutupi lengan kanannya. Lengan putih pucat itu dinodai oleh luka ungu gelap yang melingkarinya. Buyung menunjukkannya dan menatapku. "Kamu tahu sesuatu tentang kutukan? Seekor manusia berbulu serigala menggigit lenganku. Pendeta di desaku bilang bisa jadi aku terkena kutukan yang sama dengan ayahku. Dia terbaring di ranjang tanpa bisa melakukan apa pun sekarang. Dan aku diminta untuk menemui pendeta di kota."

Aku menatap balik mata cokelat Buyung. "Mereka tak sepatutnya membawa kutukan. Kamu harus mencari tahu sendiri kenapa mereka bisa seperti itu."

Lihat selengkapnya