Aku sudah tahu jika pria yang sok akrab dengan kami ini ingin mencuri. Terlebih ketika salah satu dari mereka mendekati Seruni. Perempuan di rumah bordil menata rambut Seruni supaya dapat menutupi telinga runcingnya. Anting lamanya tak lagi dipakai dan disimpan dalam bagian gaun di pinggangnya.
Aku tahu bahwa aku tak sepantasnya menyentuh perempuan yang baru kutemui. Seruni bahkan merasakan ketidak nyamanan itu. Ketika pria yang mendekati Seruni berhasil mengambil antingnya, dengan cepat aku mencengkeram tangan si pencuri dan membuat Seruni terkesiap.
"Maaf. Itu milik Seruni," ujarku dengan wajah terlipat. Pencuri itu lalu menyentakkan tangannya kesal dan pergi. Namun sepertinya aku telah membuat kesalahan.
Seorang lelaki tinggi dan besar lengkap dengan baju besi berjalan ke arah kami. Dari matanya yang menyorot tajam, aku bisa tahu bahwa dia menginginkan salah satu dari kami. "Oh ... nama gadis itu Seruni?" ucapnya sambil tersenyum. Dan pastinya itu bukan senyum ramah-tamah.
Seruni di sampingku juga tak bodoh untuk segera tahu apa yang terjadi. Tanpa pikir panjang, aku lari. Akan kupikirkan kami akan pergi ke mana sambil berlari. Yang harus kulakukan sekarang adalah pergi. Langkah berat menyertai kami dari belakang. Prajurit berbaju besi itu membawa teman-temannya untuk memburu kami. Mengejar tanpa niat melambat. Seruni di sampingku menatap tajam ke jalanan kota. Kecepatan kakinya tak melambat dengan adanya gaun.
Aku menggenggam tangan Seruni, menariknya ke lorong sempit. Jalan ini mengarah ke tembok yang akan membuat kami terpojok. Tapi gerobak tua dan peti di sana bisa membantuku melompat lebih tinggi. Aku menginjak salah satu peti, mendorong tubuh ke atas, lalu menarik Seruni. Dia tersentak, tapi tangannya memegang lenganku erat. Percaya penuh dengan janji bahwa aku akan melindunginya.
Genting di bawah kakiku berderak keras. Aku tak perlu melihat ke belakang untuk tahu prajurit mulai naik mengejar kami. Ada celah lebar antara dua bangunan di depan kami. Jalanan dengan orang yang berlalu lalang di bawahnya dapat terlihat. Aku menggertakkan gigi. Aku tak yakin jika jarak dua bangunan ini bisa dilewati hanya dengan melompat. Jika gagal, kami akan jatuh ke bawah. Aku tak mau jika Seruni sampai tertangkap, aku masih membutuhkannya. Dengan gerakan tangan yang cepat aku mengutarakan keputusanku, "Kita lompat!"
Kakiku mulai melangkah, tapi Seruni malah menahannya. Dia menunjukkan wajah tak yakin. Seolah tak ada jalan lain, prajurit di belakang mulai menyusul. Mereka telah memanjat tangga darurat hingga sampai ke atas. Tanpa memikirkan apa pun lagi, aku menarik tangan Seruni. Lari dan berusaha melompat sejauh mungkin dengan menahan berat tubuhnya. Udara menghantam wajahku, keringat menetes di leher, lalu ... brak!
Tubuh kami menghantam tenda kain yang dipasang di pasar. Kakiku gagal mencapai bangunan di seberang. Aku mendekap Seruni untuk melindunginya dari tarikan tenda yang membuat kami meluncur turun tanpa kendali.
Aku menghantam sesuatu, atau seseorang saat mendarat. Barang dagangan berhamburan. Suara teriakan yang ramai. Dari kejauhan aku bisa melihat para prajurit itu tersendat kerumunan orang-orang yang kesal karena dagangan mereka berantakan.
Aku tak punya waktu untuk merasakan sakit. Menoleh ke sekeliling. Lalu memastikan bahwa Seruni baik-baik saja. Dia menunjukkan wajah terkejut dan bingung. Aku tersenyum, artinya dia baik-baik saja. Cepat-cepat aku bangkit, memaksanya berdiri. Kami harus sampai ke gereja sebelum prajurit itu muncul kembali ke hadapan kami.
Aku menarik napas dalam-dalam. Dadaku masih naik turun karena berlari. Seruni juga terengah-engah. Jemarinya bergetar. Penampilannya sudah tak rapi lagi. Jepit rambutnya terlepas. Telinga runcingnya mengintip dari sela rambutnya. Raut kelelahan itu disembunyikan oleh rona merah di pipinya. Sesekali Seruni menoleh ke belakang. Entahlah dia mempunyai firasat buruk atau hanya memastikan prajurit itu tidak mengikuti kami. Jalanan mulai sepi.
Seruni menepuk lenganku. Tangannya mengisyaratkan sebuah kalimat. "Terima kasih sudah menolongku."
"Itu adalah bagian dari janjiku. Kamu tak perlu berterima kasih." Seruni tersenyum setelah aku menyelesaikan kalimatku.
Walaupun kami berkomunikasi dengan gerakan tangan, aku tetap selalu menggerakkan mulut dengan suara. Memang ini suatu refleks. Tapi besok-besok Seruni akan lebih mudah membaca gerak bibir orang lain jika aku tidak ada.
Oh ya, aku jadi teringat anting Seruni. Aku sempat membeli sebuah anting-anting ketika Seruni sedang dirias di rumah bordil. Kupikir itu bisa menyamarkan telinga runcingnya karena memiliki bentuk yang sama. Orang-orang tak akan fokus dengan telinganya, tapi antingnya.
Aku memanggil Seruni dengan menepuk bahunya. Menyerahkan anting baru yang kubeli di pasar. Seruni menatap benda kecil itu. Anting-anting itu tidak semahal milik Seruni yang berupa mutiara merah. Kuharap dia mau menerimanya. Antingnya sederhana. Berwarna emas dengan bentuk meruncing seperti telinganya.
Aku pun menjelaskan pada Seruni kenapa dia harus memakai anting ini. Dia menyentuh telinganya, baru sadar sudah tidak tertutupi. Aku membantu Seruni memasang anting baru itu.
Seruni lantas merogoh bagian kain di pinggangnya. Menunduk berusaha mencari sesuatu. Saat Seruni kembali menunjukkan wajahnya, sepasang mutiara merah memanjang berada di tangannya. Aku berpikir apa yang akan Seruni lakukan dengan anting lamanya. Jauh sekali dengan ekspektasiku, dia menyodorkan barang mahal itu padaku.
Aku hampir menegurnya, tapi Seruni lebih dulu mengait tanganku dan meletakkan perhiasan itu di tanganku. Sama sekali tanpa keraguan. Tanpa kusadari mulutku terbuka lebar demi merasakan berbutir-butir mutiara merah di tanganku. Aku jadi memikirkan berapa harga yang bisa diberikan pedagang jika aku menjualnya. Tapi aku teringat. Aku bahkan tidak memberikan Seruni perhiasan yang seratus persennya adalah emas.
Seruni yang tersenyum kembali melangkahkan kakinya. Aku menarik cepat bahunya. "Seruni, kamu tahu ini apa?" ucapku dengan wajah tak percaya.
Lalu Seruni dengan polosnya menyatukan ibu jari dan telunjuk, mengayunkannya di samping telinga dan perlahan menurunkan tangannya. "Anting."