Kissed by The Sun

Bena
Chapter #4

4.

Wajah Seruni berubah panik.

"Kenapa?" tanyaku kemudian. Tapi sebelum Seruni sempat menjawab, aku juga mendengarnya.

Derap sepatu besi menghantam batu. Mereka masih mengejar kami.

Sungguh. Aku baru saja merasa lega. Langit jingga kini terasa seperti akan mengurung kami. Aku tak mau berbalik badan. Hanya dengan berdiri di sini aku bisa merasakan tatapan tajam mereka menusukku. Suara sepatu besi terdengar mendekat.

Aku menutup mata dan menghembuskan napas panjang. "Seruni lari!"

Seruni melesat bersamaan dengan angin yang berhembus kencang. Aku mengikutinya di belakang. Dia tampak lelah. Tapi tentunya Seruni tak mau tertangkap. Para prajurit di belakang meneriaki kami. Meminta untuk berhenti. Padahal mereka juga tahu bahwa Seruni tak bisa mendengar.

Kami berlarian melewati jalanan sempit. Seruni menoleh ke arahku. Dia tak tahu seluk-beluk kota ini. Aku berlari semakin cepat untuk menyamakan langkah Seruni. Tempat yang aman... Ke manakah aku akan menuntun Seruni? Aku terpikirkan untuk membawanya ke jalur kereta. Jalur relnya memang digunakan untuk membawa barang tambang. Tapi jika ada kereta lewat kami bisa menumpang sebentar.

Kota ini memiliki tambang yang cukup besar. Pekerjanya memiliki pemukiman tersendiri. Terletak di bagian kota dengan tanah yang lebih rendah. Kami sudah tiba di ujung jalan. Tak ada lagi tanah yang dapat dipijak. Barisan genteng rumah membentang di bawah. Rel kereta tampak seperti ular.

Aku berbalik badan. Prajurit yang mengejar kami ikut berhenti. Seruni di sampingku menatap tajam, juga takut. Merasa dikhianati karena aku malah membawanya ke ujung jurang.

"Jangan kabur lagi, Nona. Raja telah meminta kami untuk membawamu pulang." Perlahan bibir salah satu prajurit itu berucap.

Seruni melirik rumah yang berjejer di bawah. Aku menggenggam tangannya erat.

"Kau ..." Prajurit itu menunjukku. "Berhenti membawanya pergi. Akan kami pulangkan pada ayahnya."

Tidak akan.

Aku berbalik badan dan melompat. Menggenggam tangan Seruni dengan erat. Ia menjerit tertahan. Aku tidak akan melepaskan Seruni. Dia belum melakukan apa pun untuk membantuku. Selama kutukanku masih bersarang Seruni akan terus bersamaku. Dan selama itu pula aku akan terus melindunginya.

Seruni masih menggenggam tanganku erat. Seolah nyawanya tergantung padaku. Kakiku gemetar saat menjejak papan kayu. Seruni menatapku sambil mencoba mengatur napasnya. Dia pasti terkejut. Aku tersenyum lega melihatnya. Lalu kembali menarik tangannya. Prajurit yang berada di atas berteriak. Marah karena aku tak mau menyerahkan Seruni. Sibuk memerintah sana-sini. Aku tersenyum penuh kemenangan.

Papan kayu di bawah kami berderak. Seirama dengan langkah kaki. Genteng rumah terlihat di bawah. Beberapa dicat supaya berwarna-warni. Di depan sana ada rel besi yang lebih tinggi dari papan kayu yang kami pijak.

Hari sudah hampir gelap. Cahaya yang tersisa semakin berkurang. Dibantu oleh remang lampu teplok milik rumah warga di bawah. Aku membantu Seruni naik ke atas rel yang lebih tinggi. Gerbong yang digandeng oleh kereta terlihat di ujung. Aku kembali melangkahkan kaki. Mencoba melangkah lebih cepat untuk mengejar kereta tersebut. Gerbong mereka kosong.

Ketika kami sudah dekat, aku segera mengangkat tubuh Seruni. Membantunya naik ke gerbong yang lebih mirip keranjang kayu. Pengemudi kereta menoleh ke arah kami. Merasakan adanya guncangan pada gerbongnya. Aku segera menunduk. Menyembunyikan diri dengan sisi tubuh gerbong kayu.

Jujur saja ini seperti kereta yang menarik keranjang raksasa. Pengemudi di depan sibuk mengisi ulang tenaga keretanya dengan membakar batu bara. Uap hitamnya membumbung cukup tinggi. Suara roda yang mencicit di atas sambungan besi seolah akan melemparkan kami ke bawah.

Aku kembali memunculkan kepalaku saat kereta berhenti. Ada apa? Kita bahkan belum sampai di lokasi tambang. Beberapa prajurit menghadang di depan. Aku langsung kembali menyembunyikan wajahku.

"Ada apa?" Seruni bertanya dengan gerakan tangannya.

Aku tak menjawabnya. Aku sedang mendengarkan percakapan antara prajurit dan pengemudi kereta kami. Sepertinya mereka tak menyerah untuk mendapatkan Seruni. Entah si prajurit ini telah melihat kami berada di dalam gerbong. Atau hanya mengira-ngira bahwa kami akan menumpang di kereta.

"Kenapa kau berhenti di depanku, heh? Otakmu telah hilang saat ditabrak kereta kah?" Pengemudi kereta marah. Menyindir. Merasa pekerjaannya terhambat.

"Tak perlu marah, Tuan. Izinkan kami melihat gerbongmu. Seorang buronan telah lari ke sini."

"Benarkah? Kalau dia masuk ke sini bahaya sekali." Si pengemudi yang tadinya marah kembali tenang. Menerima niat baik prajurit.

Aku segera memberitahu Seruni sebelum prajurit itu sampai di sini. Kali ini mulutku terkatup saat menggunakan bahasa isyarat. "Prajurit telah sampai ke sini. Mereka ingin melihat gerbong." Seruni terbelalak. Aku memegangi bahu Seruni untuk menenangkannya.

"Lihat aku, Seruni." Aku menilik matanya. "Aku akan memukul prajurit itu dengan benda ini." Aku menunjuk sekop besar di samping kami. "Saat dia jatuh, pergilah ke rel di samping sana. Kamu mengerti?"

Lihat selengkapnya