Tak tak tak tak
Jari itu bergerak, seirama suara jarum jam di dinding kamar yang tampak bising.
Buliran bening lolos dari kedua matanya, bahunya bergetar masih melakukan hal konyol, menggerakkan jari telunjuknya, mengikuti arah jarum jam panjang didepannya
volume musik disetel sekeras mungkin. Earphone yang sedikit melonggar kembali ia perbaiki Menyumpal telinganya erat.
2 jam berlalu. Jarum pendek tepat berada di angka pukul 8 pagi. Gerakan tangannya berhenti, turun secara perlahan. Isak tangisnya pun reda, mata itu memicing, melihat note kecil berwarna merah muda yang sengaja ditempel di meja belajarnya.
' jam 08.00 pagi di hari libur waktunya family time'
Tulisannya sudah pudar. Kertasnya sudah sedikit retak. Tangan itu menyapu di ujung kiri atas note, melihat tanggal yang tertera disana. Otaknya berpikir cepat. Ah iya 6 tahun yang lalu.
Kriiingggg!
Alasya Leara melempar bantal guling yang sedari tadi dipeluknya ke arah jam beker yang kian menit semakin memekakkan telinganya.
Bukannya beranjak bangun lalu mematikannya, tangan mungilnya justru meraih headset disebelah jam beker. Memasang di kedua telinganya. Entah musik apa yang berhasil meredam bunyi nyaring itu.
Namun, dengkuran halus kini terdengar. Jam bekernya masih berdering, membuat langkah kaki diluar sana menjadi pemandunya.
Suara decitan pintu terdengar, langkah kaki tergesa gesa memenuhi ruangan dengan nuansa pink. Tangan besarnya meraih sumber kebisingan di pagi hari, mengambil baterainya lalu membuangnya ketempat sampah.
" Dasar kebo" Omelnya melepaskan kaos kaki yang sedikit menghitam. Tersenyum sinis menaiki ranjang kecil, menarik selimut yang sedari tadi menutupi tubuh Alasya.
Senyumnya semakin mengembang
" Mampus lo" gumamnya seraya memasukkan kaos kaki itu di mulut Alasya yang sedikit terbuka.
Alasya melotot merasakan sesuatu yang menyumpal mulutnya disertai rasa yang tidak bisa diekspresikannya.suara tawa menggema seiring dengan suara kaki berlarian beradu menuruni tangga.
" Eh eh kenapa sih. Abang kenapa lari lari" ucap wanita setengah paruh baya yang menatap bingung ke arah kedua anaknya.
" Mama, abang masukin kaos kaki jamuran kemulut Asya" jerit gadis berambut sepinggang yang kini hidungnya sudah merah, menahan tangis akibat perbuatan kakaknya.
" Bodoamat. Kejar ayo kejar. Cengeng wlee"
Bram yang baru keluar dari kamar tertawa pelan melihat tingkah putranya yang sedang meledek si bungsu. Dia menghampiri istrinya, mencium kening wanita itu lembut lalu duduk menyaksikan sumber tawanya dipagi hari.
Alasya tertawa sumbang. Indah sekali. Dulu rumahnya tidak pernah sepi, selalu ada tawa, tingkah jahil dan kebersamaan di ruang keluarga. Tapi sekarang, rumahnya memang bising. Bising karena barang berjatuhan, bentakan yang menggema, tangis yang pecah juga teriakan tentang gadis haram yang berhasil membuat keluarga utuh ini hancur.
Gadis dengan hodie abu abu itu mengusap air matanya, tangan bergetarnya meraih earphone, menambah volume musik yang mengalun memekkan telinganya tapi setidaknya bisa meredam suara dengan topik yang sama setiap harinya. Alasya.
Anak dari kesalahan dimasa lalu ayahnya. Kata orang, dia anak haram, anak yang berhasil memudarkan banyak senyum, menghilangkan rasa kepercayaan di keluarga mereka.
Ibunya meninggal satu jam setelah Alasya lahir, hal yang paling disayangkannya. Kenapa dia tidak ikut mati saja. Kenapa dia harus hidup menanggung sesuatu yang bahkan tidak diharapkannya sama sekali.