Kita & Saling Part 1

Aneke Putri
Chapter #1

Apa itu Persahabatan ? 1

Dari Perempuan untuk Perempuan

Dua bulan pertamaku di dunia sekolah tingkat akhir. Layaknya hari-hari yang sudah berlalu. Rekorku sebagai orang pertama tiba di sekolah belum ada yang menggeser. Dan iya, setiap pagi yang tidak lagi buta pada pukul 06:07, aku sudah tiba di kelasku X. 3, anak-anak serta para guru mulai berdatangan sekitar pukul 06.23.

Tepat di lantai dua yang bertetangga dengan kelas X. 2. Tick tock tick tock, kebiasaanku membunyikan denting detik lewat gerakan lidah. Hahaha, tegak sembari memangkukan kedua tangan di balkon, menonton satu lingkungan sekolah berbentuk empat persegi panjang hingga bell masuk.

Melakukan segala hal berdasarkan kesukaan memang menyenangkan. Banyak yang kusuka dari menit-menit pergantian shift bulan pada matahari. Salah satunya, pemandangan embun sejuk yang serupa kabut. Yah, adalah seni Tuhan akan alam. Aku pun, yang salah satu ciptaan-Nya bisa memproduksi seni kepulan asap, dari mulutku karena respon tubuhku akan cuaca dingin ciptaan-Nya.

Diciptakan untuk menciptakan.

Makhluk berpikir-Nya bernama Adania ini suka memanen bahasa tubuh makhluk-mahkluk cerdas lainnya yang baru datang ke sekolah berjalan menuju kelasnya. Bagiku, perilakuku mengobervasi ekspresi wajah adalah definisi kesukaan yang membahagian, yang sebagian orang menyalahartikan. Terserah, sih.

Oke, kembali ke cerita. Tiap gerakan otot wajah bekerja bersamaan langsung dengan mata, naik turun si sepasang alis, kening-kening yang kadang berlipat-lipat, dan embusan nafas panjang kala senyum-senyum itu diungkapkan bersama gerak tubuh yang merupakan maksud dari bahasa wajah mengeroyok dalam satu waktu tadi. Semua itu adalah bentuk-bentuk perintah yang dikemudikan oleh dua sopir, hati, dan otak mereka.

“Ya Tuhan, Kau canggih.”

Ilmu Psikologi pun melintas menjadi tambahan list di masa depanku.

Sering, saat sedang memanen, tersugestilah, kurasakan bibir ini tersenyum olehnya. Kenyataannya, kebanyakan mereka yang mendapatiku sedang memperhatikan mereka meresponku dengan senyum ramah, pun melambaikan tangannya, meski pun ada juga yang menyambarku dengan tatapan terganggu, tapi hanya beberapa. Yah, mereka yang mengaplikasikan bahasa elok itu mengungkapkan kebahagiaan, rindu, sayang, pamer, enggan, sungkan, pura-pura, bahkan tidak jadi menjadi berarti. Setelah melengkungkannya, hampir selalu berakhir seperti dengan pelukan sapa, teriakan-teriakan kecil dan besar, jingkrak-jingkrak tertawa, dan sebagai pembuka kata-kata yang rasanya sehangat selimut di saat subuh.

Senin terik ini adalah senin ke sepuluh. Aku melaluinya dengan usaha yang keras. Melakukan kebiasaan kesukaan dan memanen senyum mereka sebagai sarapan penutup adalah awalnya.

“Hey, Da!? Seneng terus kayanya ketemu Senin.” Seru sapa Tanya bersama tangan kiri gemuk panjangnya memeluk leherku. Itu adalah salah satu afeksinya yang sebenarnya agak menyakiti. Saat ini, ia menatapku dengan seringai mengganggu dan kedua alis berjungkat-jungkit.

Merangkulnya dengan anggukan memberi tahu, “Ae, iya lah. Manusia-manusia yang udah dihibur sama minggu pasti udah pasti full recharged lagi semangatnya. Tuh liat mereka, senengnya bahagia.”

“Ngga semuaaa. Sok tau.” Lanjut alis itu menantang jawaban dengan rona rasa jeruk nipis. “Iya dari luar. Kamu kan ngga tau di dalemnya. Di mana-mana, orang-orang itu benci senin.”

“Seengganya mataku liat yang baik-baik, liat bentuk perasaan yang mereka keluarin. Dan, untuk yang kamu maksud itu bukan objek pagi-pagiku. Positive vibes itu sehatnya nyata, Tan.” Sambil usaha melepas rangkulan kuatnya.

Lihat selengkapnya