Upacara selesai.
“Hey? Tadi kenapa?” tanyaku bersama uluran tangan kanan meminta ikat rambutku kembali.
“ ‘a’ek? ” isyaratnya membentuk kata, ‘Sakit’.
“Ngga. Aku mudah keringetan orangnya.” Jawabku membuatnya menjawab, ‘O’.
“Heey.” Tanya memelukku dari belakang seraya kedua tangannya menutup mataku. Hhh. Sepasang lengannya semakin menahanku berbalik padanya.
“Tanya, ngga lucu.” Dia masih diam, tetapi dia masih dalam ketidaksungkanannya memeluk tubuh berkeringat ini.
“Nahh. Ini kuncir kamu. Dia udah duluan tapi, aku usir.” Ucapnya santai.
“Demi apa, Tanya. Kamu kenapa, sih?” Kesalku. Yesa kulihat telah jauh untuk kuseru.
“Yah, kan aku baik-baik nyuruh dia duluan. Bukan ngusir kok, lebih nyuruh dia duluan aja. Sensi nian1, sih.” Ia lalu mencubit perutku. Raut itu masih saja bisa bercanda.
“Sakit, Tanya! Iya bukan gitu lah kamu harusnya ngomong. Jantungin aku tau ngga!? Ehh, aku belum bales teriakan kamu tadi.” Dia lantas tersadar, dan kabur lagi.
Dia juga adalah perempuan yang tidak mau kalah. Kemanjaannya membuatku malas membalas karena pasti akan berakhir menangis yang tak berkesudahan. Hari itu pernah terjadi kamis lalu, dan itu karena aku sangat sakit dibuatnya mandi hujan lengkap dengan becekannya di hari ulang tahunku yang ke 15. Kurasa Kau di saat itu hanya pura-pura sibuk, Tuhan. Tidak mau bertanggung jawab atas makhluk titipan-Mu.
Ceritanya pagi itu berangkat sekolah, cuaca sedang menggila digulung hujan, dan tahu-tahu dia menjemputku tanpa memberitahu. Saat tepat memasuki lorong menuju sekolah, tiba-tiba mobil terhenti dan dia memaksaku turun dengan mendorongku paksa hingga terjatuh dari mobil, berpegangku yang memohon pada tangannya yang kuat serasa bercandaan yang sangat haus ia tertawakan.
Tempatku terjatuh adalah ditengah jalan berlubang, tepat terjatuh di lubang itu. Hujan dengan riap-riap tajamnya menyerbu mengucapkan umur pendek untukku, tawa terencana Tanya juga berhasil diredam oleh pasukan ucapan itu. Tentu saja, aku menangis sekaligus disayati sedih sakit paksaan yang dibuatnya. Setelah tawa itu terpuaskan, Tanya mengulurkan tangan, aku tentu tanpa pikir menariknya paksa pula untuk sama merasakan sepertiku. Dia menangis sejadi-jadinya. Dan aku, aku malah disemprot oleh supirnya dengan kata-kata mutiara yang membuatku menangis tertahan karena tidak ingin terlihat sama raut dengan majikan mudanya.
Ae, ini hanya membuat semakin panas. Seperti biasa mereka-mereka yang berjalan berlalu selalu menolehkan mata jengkol padaku dari atas ke bawah. Aku tahu mereka membicarakan baju basahku. Ahh terserah.
Yup, jadi benar-benar tak salah aku membawa dua baju putih. Tambahan sepuluh menit untuk beristirahat cepat-cepat harus aku gunakan. Aku juga sempat bercerita ini pada Tanya dan dia merepson dengan mantra Aku adalah anak yang sehat. Senin-senin lalu aku diminta lupa membawanya, kebetulan melegakannya si surya cukup bersahabat hingga tidak memicu keringat ini terlalu banyak muncul.
Dimulai pada waktu aku SMP kadar keringat di tubuhku sendiri meningkat. Saat itu Mama dan aku memeriksakan kondisi ini ke Dokter. Disebut Hiperhidrosis Primer2, penyebabnya adalah sistem sarafku terlalu aktif dalam merangsang kelenjar keringat. Juga, ini keturunan, sih. Tapi, sumpah ini tidak berbahaya. Sejak saat itu, aku harus mandi 3 kali sehari dan mengganti baju untuk situasi yang seperti sekarang kualami.
“Tan, temenin ke toilet. Aku mau ganti.”
“Ngga usah lah. Kamu itu harusnya kaya kemarin-kemarin, PD aja sambil ngucapin kata-kata mantra dari aku. Kamu kan pake deodorant dari rumah?” Jawabnya ketus sembari fokus mewarnai.
“Iya, tapi ini baju aku, Tan. Basah dari keringat punggung. Deodorant ya kamu ngga usah tanya kali. Kalo dibiarin terus ngga enak, Tanya. Bau nantinya. Lagian hari ini itu panasnya emang nyeremin, ngga pernah-pernahnya. Ayolah, Tan. M a l u aku.” Aku menatap seisi kelas, tapi untungnya banyak yang acuh.
“Ae kamu tuh repot sih, cuek aja kali. Minggu-minggu lalu kamu adem-adem aja. Mereka juga ngga akan nyinggung kamu, apalagi ngelemparin kamu kaya Pak Ilham kemarin, cuma karena kamu bau badan.” Ia kicaukan keluhannya. Perempuan ini amat berenggan memahamiku. Ini membuang waktuku.
“Mau apa ngga nemenin?” Skakku.
“Kok kamu kaya gitu sih liat aku. Iya-iya! Ngga usah ngajak adu omongan nusuk!” mulut granat meledak itu langsung keluar seraya menuju pintu lebih dulu.
Apa aku salah, Tuhan. Aku malu pada mereka semua. Mereka menontonku, dengan tatap kosong dan sengaja berpura-pura seperti kerupuk basah. Seharusnya penonton di sini aktif, seperti mercon setidaknya atau balon meletus paling tidak. Apa mungkin sedikit celaan atau kata-kata pembangkit untukku. Layaknya teater bagi mereka mungkin. Atau jangan beribarat itu, ini pemandangan kemanusiaan, bukan. Ini masalah yang seharusnya, mchh, tidak memerlukan tangan-tangan penghalau atau, , ahh. Lupakan.
Apa salahnya hanya menemani dan menungguku berganti. Bukankah itu wajar, bukankah permintaan itu adalah bentuk jahitan untuk membuatku merasa lebih aman. Suara langkah-langkah angkuhnya di depanku itu memberontak mengacungkan ujaran tempeleng yang akan dilangsungkan hingga berkali-kali. Ya Tuhan, aku lah si penakut di sini. Sikap tadi mungkin tanda untuk menutupi alasannya yang sebenarnya. Ya ampun, dia pasti terlalu letih setelah upacara tadi. Ckk.
“K,”
“Cepetan!” Raut cemberutnya menungguku seraya menyilangkan kedua tangannya.
Aku harus apa, Tuhan. Dia memintaku agar cepat, tidak mungkin aku mengecewakannya lagi dengan memintanya untuk kembali saja. Dia pasti akan mengumpatku akan sia-sia saja turun tangga. Itu artinya aku mengerjainya. Aku pasti akan tertanam jahat di ladang otaknya. Astaga, kenapa menjadi benang kusut.
~o~
“Kamu marah?” Tanyaku menyesal sesudah berganti.
“Nggalah. Lagian kamu tuh yang ribet.” Sumringahnya tiba-tiba melegakanku, rona itu cerah.