Kita & Saling Part 1

Aneke Putri
Chapter #3

Apa itu Persahabatan? 3

Senyum tinggi kadar mentimunnya menurunkan tensi darahku, “Bayar. Susah-susah kamu jengkel. Kalo mau tukar aja. Bayar juga punya dia. Kamu selipin nanti diem-diem dalem tasnya. Lain kali, kamu harus coba lebih ngeri ngancemnya kaya Ibu Seruni.” Fokusku pada rambutnya yang keriting ikal, perawakan jangkung, bersuara tegas tanpa jeda, dan wajah tak pedulinya yang padahal peduli itu membuatku seperti anak kecil yang kebingungan pada ketidaksinkronan tata ucapan dan rautnya barusan.

Mahkluk-Mu, Tuhan. Aneh, bermimik wajah orang tak dikenal yang tiba-tiba berbisik bersaran.

Namun iya, aku cepat-cepat sadar dan menanggapinya, “Tunggu di sini.”

"Permisi Ibu. Tadi saya lihat Tanya kasih Ibu Rp. 50.000,-. Sekarang ini saya mau tukar uang dia sama punya saya." Beliau tampak bingung beberapa saat, tak ada respon, "Uangnya mau saya tukar sama uang saya Bu. Boleh, kan?" mohonku memelas.

Beliau geleng-geleng sambil mengorek isi uang dari kaleng bekas kue lebaran Khong Guan yang melegenda se Indonesia, "Aneh-aneh aja budak3 ini. Ya udah, nih. Untung uang birunya baru satu di sini. Hmm, kasih tau dia ya, Ibu ngga enak dikasih lebih terus. Ngga mau nian itu terima kembalian." Ya Tuhan, baru saja kusadari, dungu nian aku tahu-tahu bersikap seperti itu pada orang tua. Akhirnya, kami saling bertukar uang. Beliau lalu memberikanku uang Rp. 20.000,- , "Hhm, ini terima kembalian. Kan sudah pakai uangmu." Ya ampun, kembalian bahkan tidak melintas di otak kecil ini.

"Maafin saya ya Ibu, saya jadi ngerepotin Ibu." Pengakuanku hanya dijawabnya, "He'e." disusul menoel pipiku.

Aku hanya bilang terima kasih dengan lirih, menahan malu di depan-anak-anak yang pasti menganggapku sangat lebay. Apalagi Agas Agas menyambutku dengan tatapan aneh dengan alisnya naik sebelah. “Kamu terlalu ribet. Ngga usah bayar lagi. Kamu pakai aja langsung buat ngembaliinnya. Perempuaan, perempuaan.” Dia malah tersenyum tak karuan seraya kami berlari mengejar detik-detik dimulainya kelas. Kali ini suara itu ada ledakan semangat.

Ahh, mungkin karena berkejar telat.

“Bukan gitu, Agas. Kamu ngga tau gimana rasanya jadi aku. Aku denger kata tukar dari kamu tadi fokusku memang sama uang itu, tapi yang benar-benar aku tukar sama uangku yang harus ada di tangan Bu Lori. Rasanya itu, Gas.” Kata-kataku saling beradu terengah-engah seraya berlari, “Rasa itu ngga afdhol, tau! Mch. Dongkol, Gas. Kelewat dongkol malah.” Wajahnya tak putus tersenyum sekaligus tertawa, tapi tidak sampai membuka mulutnya.

Hmm. Tawanya masih sungkan menertawakanku.

“Iya-iya. Copy. Aku ngerti. Pokoknya pake uang kamu dan uang kamu itu harus ada di tangan Bu Lori. Copy, iya. Hihihi.” Detik ini kusaksikan tawanya dengan gigi taring di sebelah kiri dan lengkap geleng-geleng heran.

Kami pun sama-sama menertawakan sambil terengah-engah setelah naik tangga, diakhiri di depan kelas. Ternyata Pak Ilham sudah masuk kelas. Keringatku bertambah deras mengucur, berlomba jatuh dengan nafas berantakan. Agas mencoba memohon dengan lebih dulu mengetuk pintu kelas yang masih menganga, “Permisi. Mohon maaf sebelumnya, Pak. Kami tadi belum selesai makan.”

Pak Ilham berjalan menghampiri, melotot. Tubuh ini gemetar bersama kedua oleh-oleh berlari dan menaiki tangga.

Beliau menundukkan kepala, tepat beberapa sentimeter di hadapan wajah kami berdua, dan, “Apa - pesan - Bapak - saat - pertama - kali - masuk - kelas?” Satu persatu kata beliau sampaikan dengan lirih. Kami serasa dikutuk, membatu.

“JAWAB!” teriak beliau.

Sempat masih kutelan ludah.

Bersama-sama kami berdua bilang, “Jika telat setelah saya mas,,” Braaakk. beliau lantas membanting pintu tanpa menyelesaikan mendengar kalimat kami.

Jantungku serasa dilambungkan tinggi. Dihempaskan. Sakitnya sakit sekali. Seketika kami berdua kosong. Beberapa anak kelas sepuluh dua di sebelah mengintip lewat jendela dan Ibu Sabna yang mengajar hanya menengok dari ambang pintu, memastikan kami tidak roboh. “Pelajaran untuk hari ini.” Bisik beliau berkata. Kami mengangguk.

“Adania, kamu nangis?” tanya Agas cepat.

Tak sanggup bibirku menjawab. Kata-kata pun serasa sudah tewas oleh rahwana beliau.

Hoyy. Sadar, Adania. Ngomong apa, kek?” Agas masih berusaha memaksaku berkata bersamaan dengan telapak tangan kanannya menyentuh keningku yang berkeringat, sedangkan aku kewalahan mengusapi dua sumber air asin yang derasnya sama. “Ae, Adania. Kamu keringet dingin? Berenti dulu nangisnya. Ae dem, aku harus gimana? Adania?”

Secara mengejutkan lagi Pak Ilham membuka pintu. Kami diam. Kami masih diam. Aku masih berbendung hancur berkeping-keping namun berusaha diam tegak dan bersikap siap.

Beliau menatap kami. Kami menunduk dan tertunduk. Isakan-isakanku tak bisa terbunuh. “BERISSIK!” braakk, beliau membanting pintu lagi pada kami.

Tuhan, Tuhan, Tuhaan! Ini karena aku menangis dan menyebabkan Agas menjadi panik sibuk menyadarkanku. Ini semakin gila, aku tak bisa merasakan nyawaku bersatu tegak di raga yang lumpuh ini. Sudah mati, mungkin. Aku sedang bersama-Mu kan, Tuhan.

~o~

Agas kembali berusaha menghidupkanku dengan terus menyenggol tanganku lewat sikut tajamnya. Aku masih digenangi tangis dan meratap.

Pak Ilham adalah guru PKN yang ditakuti. Amat sangat. Tiap kata-katanya berisikan udara yang sewaktu-waktu bisa menjadi segar atau malah racun yang seperti saat ini kami hirup. Beliau mengaku bahwa sangat tidak suka dikhianati. Bayangkan saja, pribadi tempramental itu terbilang sangat beku dan tidak kenal barang bila sudah termakan umpan. Sisi yang menggenggam erat jiwa yang biasa disebut watak itu membuat beliau semakin menjadi, tebal, dan lapisannya tak tertembus. Dan pun, kami tak luput dari jeratan si watak beliau.

Saat beliau pertama kali memasuki kelas, pompaan jantungku begitu mengebutkan diri mendengar tiap pengakuan dan pesan-pesannya yang bernuansa horor dan mengintimidasi, seperti tadi. Kala itu, mata telanjangku hanya dapat melihat sayang yang dikecewakan dari mata bertopeng beliau. Suara yang diprakarsai oleh watak itu mengancam pada kami melalui mata bertopengnya yang menyala, rasa garam yang menyelimuti tatapnya tanpa tertetes berperih.

Di waktu semuanya berlangsung, saat itu juga aku membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang menjadi akar mula pembentuk wataknya. Hingga menjadi bagian terpenting dari jalan hidup yang diambilnya selama ini. Menatapnya alih-alih memperhatikan dan berusaha menjangkau di kedalaman tatapnya. Apa-apa saja yang telah beliau lalui selama ini? Lahirnya getir-getir kecewa yang sudah menjadi lautan dan menenggelamkan seluruh bagian diri beliau.

Kudengar dari berbagai rumor dan beberapa kali menyaksikan secara langsung, sekolah adalah panggung beliau, bisa didatanginya kapan pun sesuai jadwalnya di dua belas kelas, lapangan sekolah, dan lorong-lorongnya. Itu terjadi jika beliau melihat ketidakbenaran siswa-siswa. Mereka itu mutlak menjadi penonton sekaligus objek dari sang Algojo.

 Kalau tidak salah beliau masih berumur 30 tahun. Kata Mama, tahun-tahun emas seseorang itu dimulai dari awal umur 27 tahunan, menurutnya di umur itu manusia sudah mengenal dirinya sendiri dengan amat sangat baik. Mengemudikan pikiran dan akalnya dengan matang atau bisa disebut dewasa. Sudah dalam perjalanan menuju titik utama dalam hidup. Dan kulihat beliau saat ini sudah menetap, akarnya pun sedang dalam perjalanan merayap-rayap memperkuat pertahanannya. Hubungannya dengan kami adalah beliau sedang melempari kami dengan buah-buahnya dan itu terasa tajam menembus. Durian.

 Beliau datang dengan menanam bibit, lalu kini kami lupa menyiramnya. Ae, kacau. Tapi untungnya aku bersama Agas. Dia sangat baik rupanya. Aku sangat beruntung dia tahu-tahu mengguyurku dengan hujan yang ia ciptakan sendiri mendungnya di tengah asap debu manusia, Tanya salah satunya. Tapi, jika aku tidak memintanya menunggu ini tidak akan terjadi. Ehh, tapi — aku bahkan tidak melihatnya di kantin Ibu Lori, dia juga saat jam istirahat sedang belajar menghafal abjad besama Yesa. Ae, tapi kami tadi keluar sekolah mencari Siomay lebih dulu. Ahh.

“Adania, jangan nangis teruus. Cup-cup.” Ejeknya berisik berbisik yang mengajakku bicara berbisik-bisik. 

“Mmaap, Gas. Aku minta maaf. Ini salahku.” Aku ingin membalasnya pura-pura tertawa, namun berat, sakit tangis ini mencekat.

“Santai, Adania. Berenti dulu nangisnya tapi. Ngga bagus lagi tau. Hidung kamu udah kaya tomat, terus lubang hidung kamu meler-meler, terus mata kamu bengkak merah, muka kamu jadi kembung. Jelek.” Saat pada kata jelek dia tolehkan ke wajahku. Aku jadi semakin menyedihkan. “Ae, salah ya, Adania? Ae, kenapa kamu malah nangis teruus. Maaf, ,” Kata-katanya malah terdengar aneh karena terus berbisik. Ini karena salahku. Salahku yang tadinya dia berpura-pura tak peduli menjadi sengaja buang topeng dan berpeduli.

“Aku yang maaf, gilaa! Udahlah, anteng-anteng aja kita. Aku gila nunggu jam, tau ngga.” Suara parauku jelek sekali pasti didengarnya. Aku tambah menyesal membuka mulut.

Khawatirnya terbaca, "Alright, tapi berhenti dulu nangisnya. Ini hampir satu jam kamu nangis. Aku stress kalo sampe jam pelajaran habis. Nanti semua ngira aku yang ngajak kamu telat. Belum lagi kalo dilihat Pak Ilham kalo beliau keluar, terus belum lagi kalo beliau marah-marah lagi, terus banting pintu lagi, terus bisa juga nanti bawa penggaris papan tulis. Yah, Adania. Ada? Yah? Yah? Copy? Adania?” Dia sangat berisik.

“Diem, Gas!”

 Ia menjawab tanpa suara, “Okeh,” dan mengangguk. Kembali ia menatap ke depan.

Agastian, satu lagi pribadi telah melangkahkan kaki ke tangga pertama pertemanan. Awalnya sama seperti Yesa, hanya nama dan berlalu-lalang, dan pula sudi naik tangga karena Tanya. Entah, bukan nama-nama perempuan yang melangkah, mereka-mereka malah masih di posisi start. Hanya bermangkuk ramah, pinjam ini dan itu, dan hey yang berlalu. Aku ingin mencoba berjalan santai melewati posisi startku pada mereka, tapi mereka tampak lebih suka asik dengan teman yang sudah ada dan Gadget masing-masing. Sebaliknya, aku agak merabunkan diri untuk Gadget.

Hanya Tanya, lagi-lagi Tanya. Masih terlunta-lunta aku memahami perempuan itu, Tuhan. Mereka-mereka yang hahahihi menyapa padanya hanya ia tepis dengan menoleh padaku. Tampak mengacuhkan dan mengoper asam jawanya ke wajahku. Mereka pasti berpikir bahwa Tuan Puteri tidak mau asal bicara dengan orang asing jika belum melalui dayangnya lebih dulu. Jika ia marah padaku, tentu saja dia akan sibuk mengadu pada Gadgetnya. Kira-kira apa yang di pikirkannya ketika melihatku dan Agas tadi, dan kelas tanpaku. Dia duduk sendirian.

Aneh, jika dipikir dia sangat membutakan diri pada mereka, termasuk Yesa. Tuhan membuat secuil masalah ini semakin acak-acakan. Aku perlu memeriksa perempuan ini besok.

~oo~

Kelas berakhir

Beliau membuka pintu. Menatap kami tajam.

“Maafkan kami, Pak.” Pintaku seraya menyodorkan kedua tangan menyambut tangan kanan beliau untuk kucium, Agas turut menyusul mengulangi, “Maafkan kami, Pak.”

Beliau membisu.

Beliau melangkah pergi.

Kami berdua saling menatap. “Kejar!” Agas mengajakku kembali berlari. Langsung saja. ~

Agas menghadang dan berkata, “Pak Ilham. Pak. Permisi, Pak.” Kami berdua tepat dihadapkan dengan menatap mata dingin beliau.

Keringatku menghujam lagi dan berkaca-kaca. Perih di tenggorokan ini kembali menyayat-nyayatku menahan ledakan tangisan cengeng.

Aku perempuan, perempuan normal.

“Maafkan kami, Pak? Kita minta ampun. Apa hukuman yang pantas buat kami berdua?” mohon laki-laki baik ini.

 “LARI.” Telunjuk beliau mengisyaratkan lingkaran ke tengah lapangan yang mana tempat si Surya kini sedang berdiri tegak.

Tanpa basa-basi untuk berapa putaran beliau berjalan cepat menuju kantor tanpa melirik kami. Bergegaslah aku dan Agas menuju lapangan. Kulihat tak ada segumpal pun awan menemani si Surya. Akan basah lagi dan aku akan malu lagi, namun beruntungnya hanya pada Agas. Ujian bersama orang yang baru kukenal. Bagus sekali Tuhan takdirku. Di hari pertama kesoakraban ini aku langsung memperlihatkan aib padanya. Maluuuu.

“Adania, kita lagi lari sekarang.” Tegurnya memecah senyap berpanas ini.

“Kamu kira apa lagi? Iyalah, lari.” Dia menyeringai aneh, tawanya berlari-lari mengejekku dengan tampilan gigi taring agak ngerinya. “Agas, sampe berapa kali, nih? Ngga mungkin sampe jam Ibu Lela habis. Kelewatan dua pelajaran kita. Gimana, Gas?” Imbuhku.

“Yah, ngga bisa ngga. Cuma satu kata terus sama satu isyarat. Cuma ada satu cara, Adania. Satu keajaiban. Doain aja guru lain yang nyuruh kita berenti, kalo ngga, yah Pak Ilham - itu pun kalo beliau sudi isyaratin berenti pas keluar dari kantor. Ehh, beliau kan ada jam di kelas X.5, tapi belum juga keluar.”

Agas benar, ”Bener, ini udah jalan dua putaran. Panas! Pelan-pelan, Gas.” Aku mengejarnya tergopoh-gopoh, padahal hanya dititipi badan kerempeng dengan bawaan keringat yang memalukan.

“Mana peduli beliau mau berapa put, ,”

Beliau keluar, menoleh pada kami - berisyarat lagi, “O”.

Jackpot!” Ucapan itu yang biasa dikumandangkan saat kuis. Agas benar, tapi menurutku ini adalah ujian essay dari beliau.

“Selamat, Gas.” Putaran ke tiga telah kami lalui.

“Santai aja, Adania.” Ejeknya.

“Kamu yang kecepetan! Aku ini perempuan. Kalo kamu gigi satu, aku berarti gigi tiga.” Sebuah fakta perbandingan antar gender.

Jawabnya dengan tawa kecil. Semakin menyebalkan tawa gigi taringnya itu.

Ada sesuatu di wajah lonjongnya saat semua otot itu bekerja, namun belum bisa kuterjemahkan buah apa yang cocok untuknya. Tapi yang pasti dia keras di luar. Jambu? Mch. Kurus yang terlihat kurus jangkung, rambut berantakan - ikal, hidungnya yang mirip paruh elang, dan gigi taring yang membuatnya sedikit judes bila mulai membuka mulut. Kepalaku sejajar pada lehernya, tepat di pangkal lehernya.

Lihat selengkapnya