Kita & Saling Part 1

Aneke Putri
Chapter #4

Apa itu Persahabatan? 4

Adik senin lahir. Agas benar. Semuanya pegal.

“Heyy!?” Sapa itu dilakukan bersamaan menyentil telinga kiriku.

Ae dah. Aku ngga mood.

“Dasar lemah! Wahh yang make koyo di kaki di depan di belakang. Ada empat.” Itu akhirnya berhasil. Kami tertawa kecil.

“Ada delapan.” Seringaiku seraya menggulung kaus kakiku.

“Woahh. Somboong.” Kami tertawa untuk awal selasa yang pegal.

Jam 6:33 pagi. Biasanya aku sudah berdiri mengamati mereka-mereka, tapi saat ini aku masih melangkah dengan laki-laki baik ini menuju kelas. Seingatku dia biasanya datang sekitar pukul 6:40 ke atas, dan tidak sok asik seperti ini. Ckk.

Di dalam kelas sudah ada Yesa duduk di bangkunya. Bahagia melihatnya melambaikan tangan pada kami berdua. Dia langsung berisyarat pada Agas, dan kucoba mengartikannya, “Apa .... terjadi .... ...... dua .... kemarin?” dia terlalu cepat. Aku banyak terlewat. Tapi aku tahu maksud pertanyaan itu.

“Itu tuh kar,” Agas memencetkan telunjuknya di hidungku untuk memintaku diam. Dia lalu pelan-pelan mengisyaratkan kata-kata untuk tidak bersuara. Yesa tersenyum mengangguk ala Pak Rohim dan mengiyakan. Berarti hari ini adalah puasa bicara, lebih pada tes kelancaran untuk Agas. Kurasa ini sudah disepakati kemarin.

Agas duduk dan aku lantas bergabung dengan duduk di kursi di depan meja mereka. Ini pasti menyenangkan. Pelan-pelan Agas bercerita dari huruf demi huruf menjadi kata, sementara Yesa yang tadinya antusias kini berubah kurang fokus memperhatikan karena mimik wajah Agas kini berpikir keras. Jari-jari milik manusia gigi taring itu tampak ragu-ragu dalam merangkai kata yang tepat. Dia tersenyum, kesal, terlihat mulut itu menahan keras ribuan kata yang serasa ingin sekali mengambil alih, lalu menjadi tawa tertekan. Yesa melirikku, mengangkat alis kirinya, mengangkat kedua bahunya. Agas tiba-tiba menepuk keras bahu kiri teman sebangkunya itu. Mereka berdua menahan tawa, tidak sanggup, diledakkanlah. Terbahak-bahak. Begitu pun aku, seperti tertarik magnet tawa mereka.

Ya Tuhan, hiburan terbaik dari teman-teman baruku.

“Ada.” Itu Tanya. Aku mengisyaratkan mengajaknya bergabung. Alisnya berkerut, kedua matanya tajam. Cepat-cepat ia menarikku keluar. “Kamu kenapa kemaren? Ada apa sih?”

“Kemarin kamu ninggalin aku. Aku diinjak-injak seisi kantin, terus Agas iba dan nolongin aku. Kita lari ngejar waktu masuk kelas. Ternyata beliau udah masuk duluan. Kita telat, dibantingin pintu dua kali, kita nyembah maaf, disuruh lari lapangan sampe bell pulang. Aku capek, dongkol. Beruntungnya aku ditolong sama Agas dan dia jadi ikut-ikutan salah. Udah.” Dia diam, menangis, memelukku.

Mereka-mereka yang melihat hanya, tak ubahnya kemarin. Entah apa arti yang kuutarakan baginya, dia masih menangis, anehnya aku tak tersentuh balas memeluknya. Rasanya masih enggan yang aneh menyakiti di sekujurku. Aku ingin dia meminta maaf dan bersedia menerima keputusanku untuk dua bulan ke depan.

“Tanya, kamu tersinggung?”

Bell berbunyi. Anak-anak memasuki kelasnya masing-masing. Atmosfer berbau gosong mulai merebak di hari yang cerah ini. Apalagi perasaanku didominasi kalut. Jantung kencang berdetak.

~o~

Bell istirahat tiba

Aku dan dia belum beranjak dari kursi masing-masing. Berbanding terbalik dengan yang kuharapkan. Pertanyaanku belum digubris. Dia justru diam saja, diperparah tidak mau menoleh padaku, terkunci oleh sisa tangisnya. Mau bagaimana lagi ini, Tuhan. Haruskah aku lagi. Kurasa tidak. Aku berhak marah padanya. Hanya sekali dan untuk pertama kali. Harus, harus kutunggu. Kuharap dengan begini dia memiliki waktu lebih mencerna keputusanku. Ini juga adalah upaya untuknya mencari selain aku. Tetapi sisi lainku juga belum menyerah padanya, Tuhan. Aku ingin Kau menitipkannya juga pada yang lain, izinkan mereka mencicipi. Aku hanya sedang berbaterai lemah, butuh sedikit waktu untuk mengisi ulang kesabaranku khusus untuknya.

Ya Tuhan, beginikah ceritanya jika bertambah usia. Alur aneh yang aku sendiri membuatnya acak-acakan, yang padahal itu adalah takdir yang telah lama Kau tulis jauuh sebelumnya. Baru 15 tahun aku. Kesulitan dan lelahnya belum bisa kukendalikan. Belum lagi kesabaranku yang lebih dulu Kau rodikan pada seseorang yang seperti dia. Kau menakutiku akan apa yang akan terjadi, akan apa yang akan kutuai karena hari kamarin yang kutanam, yang padahal Kau hanya akan ongkang-ongkang menonton mengataiku tak becus mengubah nasib.

Ini adalah hal sepele yang harusnya tidak harus berkusut-kusut aku menjalaninya. AAAAAAAAAAAA

~oo~

Satu bulan berlalu. Benar adanya semua itu. Aku dan Tanya menuai hasil. Aku banyak tersenyum dan jarang bicara karena bersama Yesa dan Agas, kami mengaplikasikan bahasa baru yang kemarin-kemarin hari hanya Yesa yang menggunakannya. Aku masih berusaha untuk menyapa, namun ia sendiri yang sengaja merenggangkannya dengan sangat jarang mau berbicara padaku, apalagi acara menggambar bersama, tidak ada lagi 'obrolan' galeri sebagai duo, bunga dan jenis-jenisnya, tidak ada lagi mimpi-mimpi membuat kebun bunga suatu hari nanti, tidak ada mimpi memiliki toko bunga yang megah dan markasnya ada di mana-mana, tidak ada mengunjungi tempat asal bunga di seluruh dunia, tidak ada obrolan sepanjang hari mengenai bunga abadi di bromo sana, tidak ada lagi kata soulmate, tidak ada. Semua itu lenyap. Sakit kehilangan semua itu, Tuhan.

Kenyataannya bahkan sia-sia menunjukkan emosiku yang sebenarnya satu bulan kemarin tidak sama sekali membuat sisi persahabatannya denganku terengkuh.

Ajakan berbaikku dengan mengajaknya ke rumahku ditolaknya dengan alasan logisnya bahwa orang tuanya tidak memperbolehkan lagi bermain ke rumahku, itu jelas dinding tebal ia teruntukkan padaku. Meminta penjelasan dan meminta waktunya untuk mendengarkan penjelasanku pun tidak lagi sudi ia toreh. Dan kabar baiknya dia sudah membebaskan diri dari kantungku, sudah ada dua orang yang setiap harinya sama. Setia mengekor padanya. Septian si Penyindir dengan topeng manisnya dan Citra yang selalu mengawali bicara dengan kata ‘aduh’. Mereka bertiga cocok, tapi sebelumnya terlalu mencolok usaha mencocokkannya. Pada akhirnya hal itu melebur oleh waktu.

Yesa dan Agas ikut mendukungku untuk bertahan menunggu atas kepercayaan diriku memberlakukan pendirian pada si Tuan Puteri itu. Yesa bahkan yang selama ini membuatku berhasil mencicil uang Tanya dengan cara menyelipkan ke dalam tasnya saat dia dan teman-temannya keluar ke kantin. Yang kusesalkan adalah Tanya sama sekali tidak berubah dalam cara memperlakukan teman, yahh, suka sekali menjajani dua perempuan itu. Selalu aku ingin meledakkan ranjau tiap harinya saat Septian dan Citra seperti merampok kantin. Tak jarang bila makanan-makanan itu mereka bawa ke dalam kelas dan lalu si Dua ekor berpura-pura basa-basi padaku. Setiap harinya juga mereka menjadi semakin kompak dan matang empuk di bangku layaknya ubi bakar. Sejujurnya, di sisi lain, hanya seujung kuku, aku khawatir akan betapa racunnya hubungan mereka ke depannya.

Tidak aku merasa cemburu atau pun dendam, salahnya ini benar-benar mengganggu. Tiap kali aku ingin membuka pembicaraan, Tanya sengaja diingatkan untuk menghindar, Septian dan Citra sergap segera menyelimutinya jika dia mulai menukar kata denganku. Lalu Agas, saat melihat adegan itu dia cepat menarik lengan bajuku. Saat itu terjadi, mereka bertiga seketika merapat dan berbisik.

Hari ini MID semester hari ke tiga. Wali kelas kami Pak Budi mengacak tempat duduk. Aku duduk bersama Robi, Tanya dengan Yesa, Agas dan Ririn. Ujar beliau agar ada suasana-suasana berdegup, yang mendorong tiap otak berkonsentrasi dengan rasa asing mendampingi. Meski tak seluruhnya laki-laki dan perempuan satu meja. Beliau mengaku bahwa ia dapat membaca pikiran. Itu adalah akhir kalimat yang horor.

Lihat selengkapnya