Hampir tiga minggu berlalu sejak hari di mana aku dan Tanya adu ranjau. Dia tidak masuk kelas selama itu berturut-turut, alasannya ada kepentingan keluarga yang tersurat serius. Septian dan Citra seperti biasa, normal, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Aneh sekali, Tuhan. Selain itu, di lingkungan sekolah, khususnya di dalam kelas, atmosfer baru terlahir, gabungan antara aroma ubi bakar gosong dan aroma pahit kehilangan yang kadang menyandung emosi yang tengah kurasakan saat itu. Aku tidak bohong, aku benar-benar menghirupnya di minggu pertama ketiadaan Tanya. Hasilnya hariku tidak sepenuhnya milikku. Diriku yang lain serasa ringkih ditanggungi kail yang menyangkut di dada kecil ini. Dalam. Aku ikan yang berhasil dipancing. Sakit. Ae dah, sulit menceritakan sakit memang.
Aneh Tuhan jenis sakit ini. Bercerita dengan orang tua aku tidak seterbuka itu. Menghubungi Tanya otak ini jawabnya tidak sudi, sebaliknya hati merasa sakit amat sekali ingin memeluknya. Koneksi kedua sopir saat ini sedang kalut saling mengatai. Namun, Kau memutuskan untuk mengakhirinya setelah hampir satu minggu. Pasti Kau merasa terusik oleh protes tak hentiku. Dan Kau menamparku lewat orang-orang-Mu. Atau mungkin Kau sengaja mengguna-gunaku, dan Agas dan Yesa yang menjalankan mantranya. Itu berhasil, kami bertiga bernafas lancar dan semakin terisi. Berawal dari tempat duduk Agas dan Yesa yang sudah berpindah tepat di belakangku. Tentu dengan izin melelahkan dengan Pak Budi dan perdebatan alot dengan penghuni lama Azizah dan Irma.
Detik ini aku amat sangat bersyukur. Hampir setiap hari kami habiskan tiap kesempatan waktu bersama, mulai dari si Surya bangun hingga ia mengantuk. Mereka berdua penggila basket. Karena suka menonton mereka tanpa melakukan apapun, Agas pun menceburkanku untuk resmi bergabung dengan tim PMR dan tarian klasik. Dia berkata bahwa aku harus meresmikan diri jika suka mengangkat-angkat orang pingsan. Jangan jadi ilegal katanya, jangan jadi yang dijewer, atau pun yang panen tatapan jengkol.
Yesa, ia setiap hari membawa kue Brownies. Katanya akan lebih baik melakukan hal kesukaan dengan mulut mengunyah. Kadang aku rewel padanya dengan berujar tidak ada bedanya antara dia dan Mama. Ia pun berisyarat setelah hanya pura-pura tidak peduli, "Kalau mau kamu bisa cicil bayar kue-kueku, jual kuenya. Besok aku bawa banyak." Tepatnya, aku diminta untuk berjualan sekalian untuk menambah lemak untuk tubuh kurusku.
"Beneran, nih?" Ujarku memastikan.
Raut tebunya sangat manis tersenyum menganggukkan jawaban. Kutepuk dengan keras topi di atas kepala itu hingga wajahnya tertutup. Aku sangat suka. Gelak tawa saling kami bagi.
Kecerdasan otak, tingkah masing-masing, dan saling memaklumi. Kami saling berbagi tugas dengan seksama yang rapi lagi tenang. Fisika, Kimia, dan Matematika adalah kecemerlangan dominan otak kiri Agas, sedangkan ilmu yang mengandalkan otak kanan pada ingatan seperti Sejarah, Sosiologi, dan PKN adalah Yesa. Sebenarnya, mereka berdua sama-sama berkecerdasan disipin akan kerajinan dan memiliki rasa lapar ingin tahu yang kuat, namun kekuatan mereka berbeda dalam mengolahnya. Hahaha. Aku juga berdominan sebelah kanan, menggambar. Sering aku dimintai menggambar sketsa wajah mereka berdua sebagai upahnya. Menggelikan, bukan.
Kedua kemudiku akhirnya sejalan untuk menghentikan semua mimpiku tentang bunga dengannya. Dukungan kuat yang tidak sengaja mereka pinta dariku untuk meluaskan cakupan kesukaan ini. Yang menurutku kesukaan, Agas dan Yesa menyebutnya bakat. Yah, susah-susah gampang, tapi lebih pada susah gampang yang menyenangkan. Mengeksplorasi dan mendalami dengan berulang-ulang menggambar sketsa wajah mereka berdua di sela jeda pergantian menunggu guru, istirahat setelah makan, pulang sekolah, menunggu pelatih sebelum dimulainya Eskul dan setelahnya.
Dari gadget yang baru Ayah belikan untukku, aku sengaja merekam dua laki-laki itu tanpa sepengetahuan mereka untuk materi belajar sketsa di rumah. Sedang kucoba pose tangan mereka menembak bola, kaki-kaki jenjang mereka, telinga, dan beragam pose full tubuh mereka dari belakang dan dari samping. Hmm. Kau pasti juga diam-diam tertawa kan, Tuhan, saat mereka betah anteng menontoni sekaligus menahan ledakan tawa dan bisik-bisik dari proses awal menggambar proporsi wajah, sketsa dasar, ke arsiran kasar, hingga tahap terakhir mempertebal spot pada wajah.
Waktu senggangku tidak sama sekali kumanfaatkan untuk men-support pelajaran jeblokku. Yah, hampir semua pelajaran otak kanan kiriku mengerahkan seluruh kemampuannya ke pelajaran, menghasilkan nilai rata-rata dan untungnya mereka berdua juga baik-baik saja, meski kadang membuatku merasa diacuhkan karena mereka sibuk berpikir. Tentu saja aku harus menonton memperhatikan mereka yang sangat keras mengayuh otak, karena jika tidak aku akan dikira tidak ada partisipasinya. Seperti bertukar pendapat dan menggali keberanian berbicara di depan umum. Itu sukar.
Setiap hari padahal, dari ketidakapaapaannya mereka, ada selalu bujukan untuk belajar menghitung, memecahkan soal, dan membaca bersama, namun semua itu hanya kuacuhkan dengan bertampang malas yang memelas. Memang aku malas sejujurnya. Haha. Agas selalu geram dengan celoteh-celoteh mengatai bersamaan dengan mencabut bulu rambut halusku di tangan saat menggambar. Hingga jari-jari cowok jeruk itu sangat lihai mencuri-curi kesempatan. Pernah, sekali cabut dua bulu sekaligus. Jangan ditanyakan rasa sakitnya. Ekspresi yang kupanen tentu saja, wajah kemenangan seorang atlit bercampur aduk dengan rasa dendam terselubung pada lawannya.
Sesaat setelah itu, dengan gentle dia meminta maaf dan menyerahkan tubuhnya untuk kubalas. "Maafin aku, Adania. Kuserahin diri bersalah ini untuk nerima balesan." Selalu sesudahnya dengan menyembunyikan bibirnya. Datar dan fokus menatapku.
Kadang aku terkekeh dengan kebiasaan menyenangkannya, "Sini!" Pembalasan yang kubisa hanya mencubit. Cubitan kecil dan besar.
"Kecil ato besar?"
"Besar aja yah." Dengan gaya gigi taring yang semakin ganteng itu.
Lain pula dengan Yesa, dia suka tiba-tiba mengutak-atik rambutku. Es Tebu itu tidak suka kekerasan. Mengepang rambut sebahuku. Jenis-jenis kepang sudah ia jajali, dari yang paling mudah seperti Kepang Klasik, Kepang Poni, French Braids, hingga Fishtail Braids. Dia berisyarat, "Kamu bisanya gambar muluk. Bakat lain yang belum kamu ceritain apa?"
"Ih kamu kan tahu sendiri aku orangnya tanggap untuk bantu orang yang lagi sakit. Itu kecerdasan naluri yang masuk ke insting kemanusiaan." Isyaratku langsung menyelanya.
Agas cepat menyambar, "Berarti selain jadi seniman kamu senggangnya mau jadi anggota kaya PMI atau Tim Sar?"
"Mungkin." Celetukku mantap. Mereka berdua menganggukkan kepala seraya memikirkan pertanyaan lain.
Yesa lalu membalas dengan berisyarat, "Seengganya untuk pengetahuan umum kamu juga buat seimbang, Da. Apa yah nyebutnya, melek ilmu, iya tuh. Kita tahu kapasitas otak pasti beda-beda tapi ngga ada salahnya kan untuk ilmu sekolah. Apalagi kamu punya kita, kita yang ngejar-ngejar kamu buat belajar malah. "
Agas lalu mengisyaratkan kalimat pamungkasnya, "Kan kalo temenan harus ada timbal balik yang sama-sama dapet pelajaran, giliran pelajaran yang kaya gini kamu ngga mau." Dan bodohnya aku, hanya untuk menghindari semua itu, kadang malah bermimik ingin menangis. Dan, mereka mengalihkannya pada hal-hal lain. Haha, itu adalah kekuranganku yang sulit kuubah.
Bicara mengenai mereka tak akan ada habisnya. Agas yang sangat suka berantakan di mejanya sendiri. Catatan atau latihan semuanya coret-coretan, menyalinnya pun aku juga harus memeras otak dan sering memancing tangan panjangnya mengacak-acak rambutku jika aku terus bertanya bersama wajah dungu yang bingung. Hal tersebut juga bersama ungkapan-ungkapan lawakan mengejek yang berbisik dan menggertak gigi-giginya, dan juga tak jarang membuatnya menyebut nama-nama lain dari Tuhan - Asmaul Khusna. Sangat menyenangkan.
Untuk Yesa, dia terus-terusan membuka jawaban dengan berisyarat aneh berakar nasehat saat setelah aku bertanya. Menjelaskan jawaban lebih lebar dari pada yang harus kutulis, memberitahu yang terdengar seperti berdakwah, bertampang datar menakutkan seperti Ibu Nana. Aku berubah payah menjangkau inti jawaban, belum lagi selagi menulis dia selalu memercikkan pesan-pesan milik orang tua yang panjangnya melebihi yang orang tuaku katakan.
Pemilik rambut lurus mudah diatur itu juga seseorang yang pandai melihat kepribadian. Mulai dari segi fisik seperti telapak tangan, tatapan mata, bentuk wajah, bentuk bibir, bentuk dagu, bentuk rambut, bentuk kuku, bahkan bentuk jemari. Ada lagi cara makan, cara duduk, cara bersisir, cara menulis, cara mencuci piring, cara menyapu, cara memeras pakaian, Ae.
Dan yang paling aneh kuingat, cara mengupas bawang. Saat itu sedang ada di Laboratorium Biologi. Dia fokus menonton kami satu-persatu mengupasnya. Agas katanya seorang yang pelit dan perhitungan, karena caranya mengupas tak ada pangkal dan ujung bawang yang dipotong. Hanya benar-benar kupas, sedangkan aku orang yang boros karena berbanding terbalik, ujung dan pangkalnya kupotong sangat mengurangi ukuran bawang. Alhasil itu berakibat sedikit sensitif.
“Ae ngga mungkin lah. Apa hubungannya, coba? Aneh-aneh aja kamu, Yes!” selaku tak percaya.
“ ‘Ia ‘enel. ‘Olos!’ ” seraya menggelengkan kepala berekspresi mata sipit.
”Ae memang bener. Sadar diri aja, Adania.” Ejek Agas ditambah lidah pelitnya menjulur.
“Aku bukan termasuk orang atau perempuan yang suka kaya gitu. Nih, yah, denger, kata boros yang aku tahu itu digunain untuk orang-orang yang lebih . . . Gini, mama-mama kamu pasti gitu juga, sama semua malah. Kalo jumlahnya udah terlalu banyak beli kebutuhan, itu namanya bukan boros tapi manfaatin peluang, kaya diskon misalnya. Ah ada lagi sebutannya, jaga-jaga, antisipasi, langkah pertahanan. Ngga ada hubungannya sama ngupas bawang.” Mereka membla-blakan bibir dan sama-sama melempar lirikan mengejek yang tak ditujukan padaku.
“Terserah!” Ini benar-benar pembulian karakter. Kutinggalkan untuk membiarkan mereka merayakan kepuasan batin atas penafsiran mengenai kebenaran alami perempuan. Tapi, mereka malahan sumringah berlebih dan ingin terus mendengar alasan mengelakku. Bahwa Ibu Yesa lah yang membagi ilmu kurang masuk akal menurut otakku itu. Ketidakpercayaan membungkamku, untuk membuat mereka berhenti.
Entah kenapa rambutku selalu jadi objek ekperimen, selain bulu halus Agas menjadi pencuri dengan cara mencuri-curi rambutku yang tebal saat guru menjelaskan, dan itu terjadi hanya saat mata pelajaran berlangsung.
Laki-laki jangkung itu kadang sampai mengumpulkannya di secarik kertas dan menunjukkannya padaku dengan pura-pura meminjam tipp-ex lalu berbisik, "Adania, dapet lima. Semua pendek tebel. See, akar yang warna putih-putih keangkat." Katanya itu berarti cabutan sempurna dan tidak akan lagi membuatnya tumbuh. Jelas semua itu kurasakan. Kamarin saja, dia berhasil banyak mengumpulkan hingga bisa membentuk huruf-huruf namaku. Tak pernah gagal membuatku tertawa diam-diam, dan semakin membubuhkan penyedap setelah melihatku berhasil dibuatnya.
Belum lagi setelah kelas selesai, di sela-sela anteng menontonku menggambar kadang senyum-senyum saja dirasa bosan Yesa tiba-tiba menyumpali telingaku dengan gulungan kertas, memasukkan pensil lewat kerah di leher belakangku, menali mati antara sisi tali sepatuku dan sepatu mereka berdua, mengejek wajahku yang seperti mangga, mengejek caraku bernyanyi, menirukan ekspresiku melongo, tiba-tiba mengungkit kebodohanku saat memecahkan soal matematika, dan kemudian menjadi tawa sebagai hasil akhir.
Kecil-besar tawanya tergantung padaku menerimanya. Jika hingga aku terjatuh itu bisa bernilai 10, 8 untuk hasil marah, 15 untuk hasil terkejut, 20 untuk yang langsung kubalas – itu yang paling sukses karena pasti aku juga harus menggunakan ketiga anggota tadi dengan volume paling tinggi dan merupakan doorprize yang sangat sehat. Tertawa, berlarian saling kejar mengelilingi kelas hingga kelas sebelah, mengumpat, dan menganyam anggota tubuh mereka yang dapat kuraih.
Mereka paham akan saling, herarki yang pernah mengganjal tidak pernah lagi kurasakan, Rata dan sama-sama adalah kata-kata ajaibku untuk memperingati mereka. "Eh sini deh. Ngga kena mulu, Agas. Sama-sama!"
"Bentar-bentar. Aku narik nafas dulu. Capek ketawa. Request bagian kuping aja yah, bahu aku biru semua udah."