Apa yang kira-kira harus kupinta, Tuhan. Mereka aneh, bukan. Dulu, saat SMP aku tidak mengenal lebih jauh anak laki-laki yang di mataku masih dengan raut anak SD. Bermain, belajar, kehadiran masih tepat, dan cara berpikir yang masih patuh pada warna rambu lalu lintas. Berbeda kini, kadar kompleks keduanya tumbuh bersamaku satu semester ini. Kurasakan benar itu. Menyelami perlahan-lahan pikiran anak laki-laki dengan segala tingkah laki-lakinya di sekolah. Tapi kenyataan lain ada yang masih ditutupi.
Dari mereka aku belajar yang namanya, ‘Terus’ dalam bermimpi dan berkehendak. ‘Terus’ ini mereka kenakan untuk giat berproses meraihnya dan melawan yang disebut ‘Tidak’ di tiap aral. Entah itu akan jatuh, tersungkur, terjerembab, dan tenggelam. Untungnya mereka tepat di samping kanan dan kiriku, jadi tidak terlalu malu karena kedua tangan ini bertautan kuat dengan tangan-tangan besar mereka.
Hanya iseng. Pernah kutanyatakan ditengah-tengah lawakan tawa setelah latihan basket, merebahkan tubuh di lantai lapangan yang hangat kami berjejer bersama-sama menjadikan kedua tangan sebagai bantal kepala, "Kalo aku jatuh pas lagi sama kalian, kalian bakal ngapain?"
Seketika tawa dilenyapkan oleh pertanyataan tiba-tibaku. Mendung sore kian mengihitam di langit yang tampak lebih dekat itu. Senyap. Mataku menolehkan tatap pada mereka.
Agas mulai cengengesan memecah deru angin, "Aku mau jatuh sama kamu, asal bukan jatuh mati."
Yesa berisyarat menambahkan, "KITA, Gas." Serentak terbahak-bahak karena kemungkinan-kemungkinan absurd dibubuhi kental lawakan mereka.
Aku menggelengkan tanpa menimpali. Tapi ternyata yang kukira lelucon belaka itu benar-benar terjadi. Kau tau sendiri, kan, Tuhan.
Detik ini, melihat dua sosok itu berlari-lari mengejar, mempertahankan, merebut, hingga menghantarkan tembakan ke ring nyatanya sudah sangat lumrah di lapangan waktuku. Tanpa sengaja mereka berdua membentuk lapangan untukku bermain di minggu pertama hidupku tanpa Tanya. Dan kini rasanya begitu cerah dan hangat, kini, sinarnya pun mulai menyilaukan. Tersiratnya di tiap gerakan yang sedang kusaksikan solidaritas sahabat, pengetahuan, spontanitas, kekuatan, dan kebebasannya. Semua itu mereka tularkan padaku dalam satu semester ini dengan, ‘Terus’.
Untuk cerita ini, milikku ini, sudah sangat pasaran jika dipamerkan. Sementara itu, dibaliknya akulah yang sangat beruntung. Mereka berdua yang sama sekali tak kukenal sudi menolongku yang terlihat seperti kucing dapur, ditendang keras hanya karena ingin meluruskan niat sebagai sahabat yang baik. Apalagi tubuhku berbau busuk karena menyerap olok-olokan dan selalu berakhir terlempar di pembuangan tertawaan orang-orang. Anehnya aku tak pernah memikirkannya. Baru menit-menit ini terlintas. Seperti yang sudah kukatakan, aku terlalu dimabukan diantara keduanya. Jadi rumah adalah tempatku menghabiskan malam dengan tanpa bermimpi karena saking lelahnya.
Masih menonton mereka bertanding bersama sepi tanpa penonton. Malah, semangat mereka mengalahkan riuh pada umumnya. ~o~
Skor! Yesa berhasil melambungkan shooting dari setengah lapangan di sisi kanan pojok. Kadang wajah-wajah sombong layaknya buah kedondong membahagiakan itu adalah wajah-wajah yang paling kunanti. Asam digigit lalu sempurna dengan kombinasi manis dan renyahnya.
Perumpamaan ini konyol terdengar, bukan. Kau bisa tertawa puas, Tuhan.
Mereka sangat pelit mengenai orang tua. Dimana salahnya, Tuhan. Mulai dari Yesa. Dia selalu mengatasnamakan kedua orang tuanya bila berjanji atau pun dalam permainannya, tetapi itulah – ia tak pernah menjawab seperti apa mereka sebenarnya. Jika untuk pribadinya, dia sering berhenti di tengah-tengah kunyahan, jadi cerita apapun itu mengenai dirinya selalu tak pernah ia akhiri layaknya menelan. Ia diamkan begitu saja. Aku sering melihatnya memakai alat bantu pendengaran, saat aku bertanya dia hanya berisyarat, ‘Satu paket’. Setelah itu aku merasa sangat tidak sopan jika mengenai pribadinya yang tak ingin ia bagi denganku. Dia hanya dan tersenyum es tebu.
Apalagi mengenai wanginya, jawabannya selalu sama, ‘Ya karena aku suka melati’. Aku dibuat terbiasa dan selalu mengingat kematian jika di dekatnya. Namun terlepas dari semua itu, dia sempurna. Sempurna karena semangat, nafasnya yang didasari syukur, jemari-jemari hidup menjadi suaranya, dan tanpa malu bernyanyi melalui ketidaksempurnaannya.
Aku sangat terganggu hingga naik pitam jika saat presentasi. Melihat Yesa dengan sangat sigap menjawab pertanyaan dari audiens, yang tak jarang hanya menganggapnya lelucon dan memasang wajah paham lalu tiba-tiba berpura-pura gagal memahami meski ia satu-persatu membentuk kata. Sering, itu aku, yang mengulanginya menjadi jawaban utuh dan menaikkan volume suara. Jika tidak denganku pasti dengan Agas, lalu ujung-ujungnya menjadi cemoohan licik satu kelas dalam sesi tanya jawab dan tidak adilnya itu membuat kami tak pernah lagi satu tim karena keributan yang ditimbulkan. Saat itu Yesa bernafas sama seperti tadi siang, membatu. Namun dia terus, terus berusaha bicara lewat jari-jarinya dan suaranya, seperti sedang mengunyah besi bersamaan menghancurkan lidahnya. Pernah tak kuasa kujatuhkan hujan.
Aku lantas bergantian membatu karena dia enggan menerima uluranku, ditambah melihat si Penanya hanya cengengesan tak menatap Yesa langsung. Waktu itu pelajaan Sosiologi. Seketika Pak Rozak menghentikan sesi tanya jawab dan mengamuk hingga jam pelajaran hangus. Diliputi bayang-bayang ancaman, satu kelas menjadi kuburan. Entah itu berlaku sampai kapan.
Setelah waktu di sekolah usai. Yesa duduk di sebelah bangkuku dan membujuk dengan tak putus senyum padaku sambil menyikut lenganku, sedangkan Agas sendiri terus meracaukan penyesalannya seraya mondar mandir. “Yesa! Aku tahu kamu berusaha jejalin ke Sadam penjelasan yang bener, kamu juga tahu kalo dia cuman mau ngejek kamu, kamu tahu kalo Ada ini paling ngga bisa liat yang nyelekit dikit, kamu tahu dia bakal banjir, kamu tahu itu bakal nyakitin kamu, kamu tahu kalo beliau bakal ngamuk, kamu tahu ka, ,”
“ ‘Au. ’A’u ‘elih. ‘Au ‘a’am. ” Suaranya dingin lalu berisyarat, “Kamu ngga tau rasanya, Gas. Aku bener-bener pengen orang-orang itu nganggep aku, ,”
Aku keluar kelas saat itu juga. Sakit sekali.
Yang dikatakan Tanya ada benarnya kala itu. Aku menemukan yang tidak dapat kujangkau lewat mata telanjang itu di dalam diri seseorang yang paham dan mengerti segala sesuatu tentangku. Saat menyadari dia benar, aku merasa begitu rindu, namun ketika ia menatapku dengan raut cahaya yang tak lagi sama rindu ini tak ubahnya menjadi bahan bakar yang tak lagi memerlukan penyulut kecil seperti halnya percikan puntung rokok.
Tak mampu lagi sakit membaca kesakitan itu, dikaluti bingung bagaimana untuk membuat Yesa menyelesaikan ungkapannya. Akhirnya aku hanya nihil dan kembali mendekat. Mereka berdua juga lantas seperti meja makan restoran yang baru saja dibersihkan piring-piring kotornya.
Aku menyesalinya karena masih belum menjadi sahabat yang baik. Ini tak adil untukku dan serakah untuk Yesa karena ia menjahit kesakitannya bersembunyi. Aku tahu, inilah yang harus kupinta. Maafkan aku Yesa.
Pada pemilik gigi taring, yang kutahu hanya berbuat untuk melihatku tertawa. Semua jenis tawa. Itulah yang merupakan ganja paling mematikan di tiap tatapan jeruk manis jahatnya. Pernah dibuat collaps tertawa dan menangis sekaligus di lengan Yesa. Saat Agas mendapatinya tak kunjung berhenti, ia lekas menutup wajahku dengan jaket masamnya dan memindahkan kepalaku ke lengannya dengan sekali cengkraman kelima jari.
Kala itu bahan leluconnya tentang banyak kebiasaan perempuan-perempuan di kelas. Salah satunya Niri, menirukan ia berteriak terkejut lalu kencang berlari membekap mulut Nandar dengan tisu. Haha, mulanya karena ia tak sengaja melempar tipp-ex dan meleset ke bibir Nandar hingga berdarah. Agas suka menggelarkan cerita mereka saat diganggu anak-anak lain lewat ekspresi wajah, teriakan, cara aksi mereka membalas, cara-cara marah, hingga cara mereka merengek memohon mengembalikan barang yang direbut. Saat sedang tertawa, aku berpikir untuk apa terus mengganggu perempuan. Apa yang ingin dicari tahu. Hingga aku terduduk dan kepalaku tak kuat rasanya kutopang, lalu hingga air-air asin tak terelak menghujani lengan orang lain. Aku perempuan, perempuan normal.
Agas adalah laki-laki yang suka memberi alasan-alasan, dan dia juga adalah pemaksa – pemangsa alasan. Menagih alasan-alasan yang sebenarnya ia sudah paham meski hanya dari gerak-gerikku dan Yesa, mimik wajahku dan Yesa. Yah, kecerdasan membaca bahasa tubuh baginya tidak cukup. Kedunguanku di sisinya adalah aku tak bisa tahan merasakan serangan-serangan paksaannya, tak bisa kureka maksud itu seperti halnya dia padaku untuk mengungkapkan alasan yang sebenar-benarnya dan seutuh-utuhnya. Hal kecil yang bersifat menipu darinya pertama kali adalah saat hari pertama mengenalnya dan hari pertama menderita bersamanya. Dari situ aku tidak bisa tidak jujur padanya. Dari hal-hal mencurigakan sekalipun, dia akan mencercaku hingga dia mendapatkan alasan yang menurutnya itu tepat yang dia rasakan padaku.
Jika aku mulai bertanya kedominannya antara Ayah atau Ibu. Dia selalu menjawab bukan keduanya. Padahal mereka berdua sangat suka mendengar cerita Mama dan Ayahku. Adikku Sera dan Kakakku Lucy. Semua tentang anggota keluargaku secara mendetail. Padahal aku sudah menggunakan jurus kata-kata, "Kalau kamu gimana? Kaka kamu? Kamu ada adek?" Lalu jika kupikir lebih jauh lagi, dengan tiap kemungkinan yang pasti mereka pertimbangkan sebelum menceritakannya padaku. Tapi kapan?
Ayah Ibuku sendiri tiap harinya selalu mempertanyakan kekurangajaranku selama ini karena selalu ingkar untuk membuat dua laki-laki itu mampir. Meski benar aku jujur pada mereka mengenai keduanya dari awal, tak ada yang kusembunyikan dari hari pertama orientasi di SMA hingga hari ini. Jawab andalanku diantaranya, ‘Mereka berdua sabahat Adaa.’, ‘Baikk niaaan!’, ‘Percayaa deh, Yah.’, ‘Anaak oranglahh, Ma.’, ’Aku capekk.’, ‘Besok ajah.’, ‘Janji, Janji.’ . Mereka berdua hebat, menanamkan kepercayaan padaku meski terdengar hanya dua puluh persen.
Bersyukur aku, Tuhan. Kami bertiga merasa tepat untuk tumbuh di lingkungan yang memang semestinya. Serba saling satu sama lain. Mereka tak ubahnya seperti sarapan, adalah telur mata sapi dan susu, berisi protein dan dapat menjadi kekuatan cadangan dan kalsium yang menguatkan lagi menumbuhkan.
Pertandingan selesai. Mereka kalah. Dan aku kebelet pipis.
“Heyy, kemana?” seru Agas masih di lapangan beristirahat. Berbaring bersama seluruh anggota.
“Toilet!” seruku tanpa suara.
Yesa yang berbaring di sebelah Agas berisyarat padaku, “K A L A H.” nafasnya terengah-engah dengan senyum masam namun tetap gula tebu.
Kubalas isyarat, “Aku bangga. Kalian tetap pemenangnya.” Yesa maupun Agas enggan membalas. Diam saja.
Itu artinya aku tidak jadi meminta, kan. Namun perlu kucoba untuk menawarnya lewat singgungan. Tapi apa yang ingin dibuktikannya hingga permintaan menjadi syarat atas akhir permainan. Berbagi rasa bangga atau pengakuankah. Sebelumnya keraguan sempat merundungiku, namun saling dan terus yang mereka tanamkan kini mengakar kuat yang kami sebut bersama. Dulu, satu wujud indah dikirimkan Tuhan dan ternyata tidak berjodoh. Tak disangka-sangka, sekarang aku punya dua wujud yang tidak kalah indah, yang seperti layaknya kaka, dan teman belajar yang memang kubutuhkan. Tuhan memang ajaib. Syukurku tertulis pada ribuan memo menuju-Mu, Tuhan. Tolong Kau terima ya.
~o~
Mungkin aku harus menunggunya di gerbang sekolah saja. Acara bersalam-salamannya pasti akan terlihat membosankan karena mereka kalah, aku malas melihat tampang sok menguatkan diri mereka, yang sebenarnya itu adalah salam solidaritas. Ini sudah pukul 17:18. Biasanya aku sudah di rumah dan berguling di lantai kamarku. Ae, pasti mereka lelah.
“Tunggu bentar!” Agas berseru lagi. Kuanggukkan dengan berjalan menuju gerbang sekolah.
Dia kembali berunding pasti. Kira-kira apa yang mereka bahas.
Sekolah ini berjarak kira-kira hampir empat kilo meter dari sudut kota, jadi wajar jalanan tampak sepi karena sinar senja semakin memudar. Tepatnya, kami melalui lorong yang berisikan kawasan yang tidak padat penduduk. Sisi menyenangkannya, di sini tampak indah dengan banyaknya pohon-pohon rindang tinggi berbaris menjulang di sisi kanan kiri jalan.
Seseorang berpenampilan mirip kurir lengkap bertopi cokelat pekat dan memakai masker keluar dari sebuah mobil yang terparkir di samping gerbang, sempat kukira adalah mobil milik penduduk di sebelah sekolah, berjalan kearahku bersama kedua tangan memegang sebuah bungkusan kado. Hawa yang laki-laki tegap itu bawa membuatku serasa di dalam acara iklan jasa antar paket. Aku kah orang yang dituju, atau dia hanya sekedar bertanya alamat. “Adania?” sapanya, dia tersenyum lewat matanya.
“Iya. Ada titipan, yah?” tanyaku gugup. Kulihat kanan-kiri jalan, tak ada seorang pun.
“Iya. Dari Agas sama Yesa. Mereka masih di sana, kan?” tanyanya sopan.
Kuanggukkan kepalaku, “Masih, Kak. Jadi ini hadiahnya. Lebay. Make paket segala. Padahal mereka hari ini kalah, Kak.” Ia menyodorkan kotak itu, tetapi langsung dibuka, dan membekapku.
Ini bukan dari Agas dan Yesa, Tuhan.
~oo~
-Sementara Agas dan Yesa bertarung dengan waktu untuk mengejar Adania-
~oo~
“'A'A!”
“ADA!”
“A’a! A’ 'angun! A’, ‘a, ‘angun! ‘angun! ‘Ah,” Seruan Yesa kudengar samar. Dapat kurasakan aku sedang dalam dekapannya, tangisnya membasahi wajahku. Bising umpatan Agas yang juga samar, suara langkah kakinya menghentak-hentak, namun kenapa samar. Aku tak salah dengar, mereka berdua menangisiku. Dan kini semakin menjadi dengan teriakan kata-kata kotor, sumpah serapah berulang-ulang.
Semua ini terjadi setelah aku dibekap oleh pengirim paket palsu dengan sapu tangan. Aku dibius, Tuhan. Dua laki-laki ini sedang kesulitan membangunkanku. Tidak memiliki daya menggerakkan tubuhku, mereka semua kaku bak lumpuh, mataku pun rasanya seperti dipenjara oleh lem perekat. Pendengaranku berfungsi dan sentuhan mereka dapat kurasakan. Aku lumpuh, kah? Ae, Tuhan. Ini tidak lucu!
~o~
Sepertinya aku tak bisa pulang ke rumah. Dekapan Agas dan Yesa semakin hangat. Nafas-nafas itu berhembus panas di telingaku, terengah-engah dicampuri deras air mata, dan dekapan-dekapan ini bergetar dengan bisikan-bisikan, ‘Maaf’, terus digemakan, sedangkan tubuhku belum dapat kugerakkan sedikitpun. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Aku belum mati, kan? Aku sedang sekarat? Tuhan? Kau sedang bercanda, kan? Mama, Ayah? Ada belum bisa pulang.
~o~
Tuhan. Bius ini mematikanku, menghidupkanku lagi.