Setelah membaringkan Dia ke ranjang Agas dan memakaikan selimut, Gede keluar bersama langkah tenang. Aku dan Agas saling bertatapan, kosong, tanpa mampu bertukar kata. Pikirku keruh. Kulihat kedua tangan Agas tremor mengusap wajah memarnya. Ia berjalan cepat dan aku mengikutinya ke ruang tamu. Gede sedang duduk melamun di kursi tanpa sandaran. Tangan kirinya tengah menyalakan korek api untuk membakar rokok kretek yang diapit ke dua bibirnya.
“G-Gede ttaruh appa ddi sappu tangan?” tanya Agas terbata-bata. Bibirnya memucat dan mata mulai berkaca-kaca.
Beliau menggelengkan kepala seraya mengembuskan isapan rokok, “Mchh.” Lalu tangan kanan beliau memijat kening, kedua matanya tertutup, “Gedemu terpaksa.” Kudengar nada sesal, beliau membenamkan wajah dalam tundukkan.
Mulut Agas ternganga tak percaya, kedua tangannya terangkat tanda menyerah, bicara marah lewat tangisnya padaku, “Gede udah sinting?” bisiknya membentak.
Asap rokok mengepul memenuhi ruang tamu. Hening. Tangis Agas tertahan dan surya perlahan hadir menembuskan sinarnya lewat jendela kaca bening tepat membelakangi beliau, “Ini darurat, Jang. Sudahlah cengengnya! Ini keadaan kritisnya. Dia patut ditenangkan dengan cara ini.” Tegas beliau seraya mengembuskan isapan rokoknya.
Aku tak habis pikir. Tega nian beliau, “Hehh, Yesa! Jangan tatap Gede seperti itu.” Sisa rokok beliau hunuskan pada asbak kayu berbentuk mangkuk kecil. Isinya dipenuhi abu dan puntung rokok yang belum dibuang.
Melihatnya seolah maha tahu seperti ini, ada niatan berlaku kurang ajar di dalam diriku.
Gede merogoh sesuatu di dalam saku celana pendeknya, “Nahh. Ambil! Ini obat bius.” Sigap tanganku dan tangan Agas bersama-sama merebut satu botol kecil dari genggaman beliau.
Obat bius Chloroform7. Agas membuka tutup dengan kasar, ia gemetar menuangkan satu tetes di telapak tanganku. Bergantian kami membaca kandungan racun yang sedang mematikan hidup Dia untuk beberapa jam. Cairan bening yang ternyata sama sekali tidak berbau ini membuatku berprasangka buruk pada Gede.
“Gede emang sinting. Kita berdua baru aja lapang bernafas, De. Sekarang Gede bekap lagi nyawanya dengan bius! Aku dan Yesa hampir mau mati bersama karena dia ngga bangun-bangun dari biusnya, De! Racun ini ngga akan nada bangkainya lagi. Kalau sampai , , ” ternyata Agas memiliki pemikiran yang sama denganku. Dia menjerit sejadi-jadinya. Kepalan tinjunya keras menghantam tembok. Sementara aku duduk lemas di lantai, nafas menyesak, dada sakit yang tak bisa kujelaskan betapa sangat sakitnya.
“Maafkan Gede.”
“ E’e ‘a’u’an. I’a ‘u’a ‘iung. I’a ‘ama ‘ian’a ‘alang. A’a ‘o’on ‘E’e.” Mohon kedua tanganku pada beliau.
“Kita juga mati, De. Kita mati setelah Dia mati.”
“Seperti inilah yang dak tahan aku. Sudah tua aku ini. Ayolah! Gila aku.”
~o~
Dia
Dia mati di kematiannya
Berdua, kami mati melihat kematiannya
Kata mengerikan itu hampir tak pernah tersebut dalam rentetan hidup kami
Kini, dalam satu malam, sudah mampu memberikan satu kata pada satu hari selama hidup kami lima belas tahun
Dan dia perempuanku, perempuan kami
Mati mematikan kematiannya