Kita & Saling Part 1

Aneke Putri
Chapter #12

Aku Masih Hidup 1

Tuhan. Udara masih bisa kuhirup, membuka dan mengedipkan mata kiriku, merasakan lingkaran perih berdenyut-denyut di mata kanan dan sekujur tubuhku, dan merasakan keasingan yang membenci lewat ruangan dipenuhi poster Iron-Man. Aku masih hidup. Sial. Ternyata hanya membuatku tertidur. Keparat Kau, Tuhan. Aku benci membenci hal dengan iringan tangis. Ditusuki para sakit bersorak-sorai membumbungkan tawa menertawakanku, begitu berisik pusing menggemai. Sejak kapan Kau memberi nyawa pada mereka, Tuhan? Kurasakan mereka semua berpesta dengan semua benda tajam menyerbu menyiksaku.

~o~

“Aku ganti dulu perban-perbannya. Kenapa pula berwudhu pakai air. Tayamum saja coba. Dasar nian bujang itu!” Gumam beliau menambahkan malu dalam kesakitanku.

“Gede bisa nerusin usaha Ada. Tolong, Gede.”

“Kau cerewet ternyata. Diam dulu. Sudahi tangisnya.”

Rengekku haruskah amat sangat memelas, “Gede. Ada mohon mati ke Gede.

Mata beliau berkilat-kilat. “Ini sudah mau siang, nak.”

Kenapa nafasku cepat, sesak memperebutkan, mataku semakin memerih. Sadar nyawaku buntung, dunia hidup-hidup menggulung, dan kini dalam tempurung kesakitan. Berjerit dibimbangi sisi norma. Aku orang asing di sini. Tatapan benci itu layak ujar mata beliau. Ujian apa yang kau tiba-tibakan ini, Tuhan? Ini salahMu. Seolah aku ini umpan untuk karya seni permainanMu yang lain. Masih Kau dorong aku berpikir untuk menulis sendiri alur selanjutnya. Sebaik-baiknya agar tidak mengkiamatkan orang-orang di sekitarku. Matikan aku, Tuhan.

Beginikah artian sengsara dalam kata kerja.

“Kau harus hidup, karena kau masih diberi kesempatan hidup,” Ujar beliau lesu. Lain dengan tangan kanannya yang dalam kehati-hatian mengoleskan obat merah di pelipisku menggunakan cutton bud.

“Ada sudah buntung, Gede.” Aku tak mau balas menatap, tak kubiarkan beliau melihat mata sampah.

Tangan beliau mengangkat wajahku, kedua mata yang persis sama dengan Agas itu tajam menatapku, “Menangislah lagi. Kau butuh saat ini. Tapi jangan sakiti luka-lukamu lagi. Kasihani aku yang tua ini menjagamu. Sesudah dua bujang kurang ajar itu pulang, kau boleh minta mati lagi.” Kata mati tegas beliau sengajakan ucap.

“Ada berharap mereka berdua ngga pulang lagi.”

“Berharap sesukamu.”

Detik ini hanya mulutku yang memiliki kekuatan memohon, “Tolong, Gede. Dua atau sekali tusukan pisau. Seraya menunjukkan tanganku yang tengah merasakan detak jantung najis ini.

“TUA BANGKA AKU INI. MIMPINYA MAU MASUK SURGA.”

Gede, setidaknya beri aku pisaunya.

“Kau pasti mau aku beri pisau, kan? Itu sama saja aku masih jadi perantaramu. Masuk neraka aku!”

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!”

~oo~

Aneh, aku merasa sedang berkunjung sebagai tamu akrab kenalan lama. Akrab dengan hawanya, wangi jeruk semerbaknya, suara-suara kerang sedang bermain dengan angin di tirai pintu yang tergantung begitu ramai oleh warna lautnya. Pintu kamar terbuka. Tampak beberapa kursi kayu tanpa sandaran, tinggi kaki penyangganya mungkin sekitar satu meter. Dudukannya disusun berpola. Bundar, kotak, bundar, kotak. Di tengahnya ada meja persegi panjang yang tingginya melebihi para kursi. Di atasnya ada dua jenis kaktus panjang dan bulat. Mungil hidup sejajar nan disusun berpola dengan pot kecil berbentuk balok. Aku penasaran pada tanaman berduri itu. Seperti yang pernah kulihat di rumah Tante. 

Suara gumam terdengar di telinga kiriku, berbisik, “Kamu akan segera menjadi Ibu, perut membuncit, mengeluarkannya bersama siksaaan sakit berkali-kali lipat, mendengarnya menangis, TUMBUH, , ,

“A A A A A A A A A A!” ke telinga kananku, ke telinga kiriku. Bersamaan. Bersahut-sahutan. Semakin keras. Semakin cepat. Semakin banyak. Melengking. Semakin sakit.

Agas, Yesa tolong hentikan suara-suara ini!

Agastian

“ADA!” Ia lawan dekapan Gede dengan menghentakkan tubuhnya hingga menjatuhkan diri. Menjentuskan kepalanya ke lantai berulang-ulang, kedua kakinya berusaha mendorong-dorong tubuh Gede sementara beliau bertahan menahan kedua tangannya.

Yesa mengangkat kepalanya dan berkata, “ A’u ‘ena’a? A! A! A’a. Aa'in ia ai egi. A’ap’in ia?‘”

Sekuat tenaga kutahan air mata sialan ini. Sakit sesakit-sakitnya sakit. Terbungkam telak. Mengatur nafaspun semenyiksa ini. Dia berteriak-teriak dalam dekapan Yesa dan kedua tangannya memukuli punggung manusia sabar itu.

“AAAAAAAAA!”

“Oy bujang! Kau jangan ikut teriak-teriak.”

“Aku marah, De! Remuk melihatnya. Aku pengen datangi Tuhan, De!” Air mata dan erangan kesakitan ini benar-benar egois melandaku.

Kau lihat ini, Tuhan! Dosa apa yang telah kami perbuat hingga Kau kutuk kami dengan takdir ini. Gede mengikat kedua kaki Adania dengan ikat pinggangku, Yesa yang tengah bertahan dengan pukulan-pukulan dan sabar mengusapi punggung Dia di pelukannya.

~o~

Adania

Seketika lenyap. Wajah Yesa yang dipenuhi luka saling berhadapan dengan wajahku. Terengah-engah bercucuran tangis. Hangat kedua tanggannya di pipiku. Kedua ibu jarinya tengah megusapi air tangisku yang pun baru kusadari mengalir. TUHAN. Kuluapkan dan mendekapnya erat.

Nantikan aku!” Bisik kejam itu kembali, di telinga kiriku. Kulepaskan peluk. “Nantikan aku!” di telinga kananku. “HAHAHA HAHAH HAHAHA!

Di depan pintu masuk di sana. Bibirku dibisukan oleh bayangan seorang perempuan. Berbaju putih lusuh, pucat pasi, rambut terurai berantakan, berperut buncit. Mataku terbelalak. Itu persis aku. Menangis. Darah mengalir dari kedua matanya. Kian nyata langkah-langkah mengerikan itu menujuku. Dan sekarang malah tertawa. Terbahak-bahak. “LIAT! DIA MAU MASUK! AGAS TUTUP PINTUNYA, KUNCI! CEPETAN! MATANYA BERDARAAAHH! AKU TAKUT, GAS, YESA! DIA NGETAWAIN AKU! YESSA, TOLONG! AGAS JANGAN DIEM AJA! AAAAAAAA!" Kaki terikatku menendang-nendang Agas memaksanya beranjak. Raut bingungnya membuatku marah, “AGASS!” Dia sigap berlari menutup pintu.

Kerahan tenagaku melepas kekangan malah semakin erat dalam apitan kedua tangan Yesa. Ini jahat, “ U’ah I’uuk. Ea’ang e’ang. A’u i’ii.”

Sosok itu tiba-tiba muncul di depan jendela. Dia sangat menakutkan, “LLIAT ITTUH! Ttu-tup jen-ddelanya, Gas!” Terali itu dibuatnya alat siksaan. Dibenturkan kepalanya. Tersedu-sedu menjijikkan itu mengucurkan darah yang hampir mengubah baju putihnya menjadi warna merah. “A A A A A A A A! Dia di jendela. Itu di jendelaaa.” Kedua tangannya dipaksa ditancapkan pada bagian ujung-ujung besi tajam berbentuk panah. Meronta-ronta menyerui namaku.

“ADANIA!"

"ADANIA!"

"ADANIA!"

"ADANIA!"

"ADANIA!”

“Mana, nak?”

“Dak ada siapa-siapa di depan jendela?”

Aku berlindung di dada Yesa, kedua tangannya erat melindungi. Sebaliknya, keparat itu benar-benar diutus oleh yang tak tertandingi. Memasuki kepalaku. Hidup dalam kepalaku. TUHAN, KAU BERENGSEK. Memekiki sebagai perlawanan panggilannya tak berarti, memejamkan mata untuk menghindar apalagi. Memporak-porandakan kendaliku dalam sekali hadir. Bergentayangan di luar dan dalamku. Menguasaiku.

Aku harus mati. Itulah obat terbaikku. “A A A A A A! !”

Usahaku semakin gila dikekang tiga laki-laki ini untuk terus mengesampingkan ketakutanku dengan tanya dan jawab, “Mana dan tidak ada”. Semakin sakit. Jerit dan merengek berjerit adalah satu-satunya upaya terbaikku untuk mati. “A A A A A A ! ! MUKANYA, BADANNYA DARAH SEMUAAA. DIA BENTURIN TERUS KE TERALI JENDELA. TERIAK-TERIAKIN NAMAKU! LEPASS! TOLONGGG! AKU NGGA TAHAN, YES, GAS. TOLONG BIARIN AKU MATI. KEPALAKU SERASA PECAHH! TOLONG HANCURIIIN!”

“Ada tenang, Da. Udah aku tutup semua jendelanya. Ngga ada apa-apa di sini, Da.”

Perkataan yang sedari tadi semakin menyiksa itu sontak mengundang tawa si Keparat. Kutautkan jari-jariku erat ke jari-jari mereka berdua, sekuat tenaga kupukulkan bersamaan ke kepalaku. “A A A A A A! PERGIII!”

Kedua tangan Agas melepas genggamanku dan memaksa kapalaku tegak, “Adaa. Hey, hey. Ok, Da. Kamu mau lari bareng kami, kan? Ayok sama-sama.” Astaga, Tuhan. Luka-luka di wajahnya. Lebam membiru. Sesak tangisnya ditahan, tapi malah semakin deras.

“MAAFIN AKU. AKU NGGA TAHAN LAGI SAKITNYA. Kita harus balik ke sana. Pastiin aku mati, ya. Ya, Gas?” Ia berubah kuyu, air mata meluncuri pipinya. Jemarinya merenggang. Yesa, membuang muka. “Kalian berdua bilang mau lari kemanapun sama aku. Ha Ha Ha.” Ini menggelikan, bukan. Dicampakkan aku. “A A A A !”

Keparat itu terbahak-bahak. Menertawakanku. Dia girang mendapatiku dicampakkan dalam kesekaratan.

"HAHAHA HAHAHAH HAHAHA."

"HAHAHA HAHAHAH HAHAHA."

"HAHAHA HAHAHAH HAHAHA."

"HAHAHA HAHAHAH HAHAHA."

Agas

Dia merangkak, ringkih namun gigih. TUHAN. “Hey? Kenapa? Kamu nyari apa? Aku bantu, yah?”

Lihat selengkapnya