Semua piring dan peralatan dapur sudah dicuci. Dua cangkir kopi Semendo11 beliau seduh. Mug besar berwarna hitam adalah milik Gede dan punyaku gelas milik Agas berwarna krem yang berukuran sedang. Tanpa gula milik beliau, digulai dua sendok milikku. Ternyata, sosok suami keren milik Ombai Sita adalah penggila kopi, dan lebih gilanya lagi tanpa gula. Menelan makanan dan minuman pahit adalah sesuatu yang aneh yang Kau ciptakan, Tuhan. Kurasa cukuplah obat yang pahit.
"Ayo, ikuti Gede. Langkahmu pelan-pelan saja." Kuacungkan jempol menyetujui
Gede mengajakku memasuki satu ruang yang sebelumnya kami melewati kamar beliau lebih dulu. Seperti ruang rahasia yang ada di film-film, di dalamnya terdapat pintu rahasia dan wahh, ruangan yang seluas kelasku di sekolah, tiga kali lipat dari ruangan-ruangan yang ada di rumah ini, dan tinggi seperti menara. Di dalamnya, aku begitu dibuat terpukau kagum. Kutatap dari atas ke bawah, terdapat tak terhingga seni rupa pahat dan ukir dalam frame yang seluruh bahannya dari kayu menggantung di dinding ditambah karya pahat dan ukir yang berbentuk tiga dimensi yang hampir memenuhi ruangan. Dipenuhi kayu, di mana-mana kayu.
Bentuk-bentuk yang beraneka. Topeng-topeng indah yang kukira dari seluruh negeri mengelilingi dinding yang tingginya, ehhmm, sekitar lebih mungkin dari tujuh meter dengan atap segi tiga kerucut. Mereka si Topeng-topeng mendekam indah di pangkal sisi kerucut menara. Mereka memakan seperempat lebih, mengitari, dan rapi menggantung. Setelah para topeng, sisa empat dinding tinggi ini tergantung padat yang banyak sekali ukiran dalam satu frame berbentuk persegi panjang dan kotak dengan berbagai gaya. Seluruh isi frame-nya ramai terisi ukiran yang mengisahkan cerita.
Patung pahatan tiga dimensi berdiri tegak di lantai seluas kelasku, hanya menyisakan satu lingkaran berdiameter yang kira-kira hampir dua meter.
Mataku memfokuskan tatap pada Dewa-Dewi Hindu yang berdiri di depanku – berpasangan di satu pijakan. Dewa Siwa dan Dewi Parwati, menyentuh mereka seperti terdapat kehangatan kulit manusia yang berpori-pori. Di sebelah kubu para Dewa ada kubu Pewayangan Jawa dan Sunda, makhluk-makhluk mitos yang belum kutahu, aneka jenis pohon, macam-macam bunga, binatang-binatang peliharaan maupun yang buas, namun kebanyakan mereka adalah burung. Bahkan para penari juga berhimpit-himpitan saking banyaknya. Mereka semua berpasang-pasangan. Besar, kecil, tinggi, dan uniknya ukuran mereka bisa kukatakan ada di sini. Contohnya, di pojokan sebelah kiriku, anak kelas dua SD yang kira-kira seratus meter, lebih pendek sepertiku, setinggi Gede, dan masih banyak lagi. Hihi.
Wahhh dan Wouuu, benar sungguh disebut menara seni, kulihat ada dua tangga bambu yang ukuran tingginya sama dengan tinggi menara, yang warnanya sudah kuning pudar. Di dalam lingkaran berdiameter yang mungkin dua meter inilah terdapat satu kursi panjang menghadap satu kursi kecil dan satu lemari bergaya klasik berpintukan kaca bening. Bisa kulihat di dalamnya berisi benda-benda tajam; kapak, parang, macam-macam pisau pahat dan pisau ukir, dilengkapi teman-temannya yang kecil terbingkai rapi layaknya boneka barbie. Beliau menyimpan semua alat-alat itu layaknya harta sejarah. Kurasa kursi kecil tak berpunggung ini adalah tempat bersemayam tenang Gede bersama kesibukannya mengukir, dan kursi panjang yang berumur ini adalah milik Ombai Sita sebagai penonton atau para pembeli yang masih pusing memilih.
Ya Tuhan, hingga kini mulutku enggan tertutup karena demam kagum. Ini kegilaan yang keren. Tak percaya menyelinap kini membisiku banyak pertanyaan. Wahhh. Memakan waktu berapa lamakah semua ini beliau kerjakan? Itu pertanyaan pertama.
Kudapati frame-frame di sana ada ukiran menggambarkan satu keluarga, taman bermain, bencana alam, perang masa kerajaan dan masa perang dunia ke dua - mungkin, suasana pegunungan, hutan belantara, sawah-sawah, hewan-hewan eksotis, pengembala dan sapi-sapinya di Savana, kuburan, dan masih banyak lagi yang terpajang dengan masing-masing tema natural dan keadaan sosial yang unik memenuhi tiap spasi dinding empat sisi ini. Mereka berwarna cokelat muda, cokelat tua, kuning emas, krem, gelap hingga warna campuran. Mereka semua memanis melarang mataku berkedip. Tepat aku di tengah-tengahnya mengelilingi.
Sepertinya menarik, berjarak mungkin dua meter lebih dari kepalaku. Dari empat dinding itu berisi dua belas frame yang ukurannya sama dan satu dinding ada tiga frame menggantung, lurus membentuk saling mengitari satu arah. Frame pinggirannya juga berseragam, seperti memang itu rumusnya, dan warna ukirannya adalah cokelat muda yang berkilau. Kucermati perlahan. Pada frame yang kulihat kini, ada dua orang, duduk. Dua orang sedang makan, tertawa. Melihat anak-anak berbaris, perempuan membelakangi dengan kedua tangan memimpin. Astaga. Apa itu Ombai Sita. Aku melihat sepeda yang dituntun laki-laki bersama seorang perempuan menepuk jidatnya. Jalanan ramai. Wahh, rantai sepeda itu ternyata lepas, kubidik jelas itu. Aku melihat adegan-adegan pertemuan di frame pertama yang kupilih. Sungguh, banyak senyum yang dibuang ketimbang senyum yang bertemu. Apa artinya semua itu.
Isi gambar frame kedua. Aku melihat hanya seorang laki-laki, dia sedang memahat. Benarkah, Gede memahat dirinya sendiri. Beliau sedang duduk. Terdapat banyak makam, itu berarti lapangan makam. Beliau menghadap dua makam. Ternyata aku salah urutan. Ini mungkin yang, ,
“Ada?”
“Gede luar biasa keren. Ini dijual, kan?” tunjukku mengitari mereka semua. Gede menatapku dengan tatapan bersahaja itu, dan di timpali kedua alisnya yang naik.
“Iya. Hampir semuanya di sini sudah dipesan. Hmm. Jahatnya aku, , waktu yang Gede kasih terlalu lama dari target.” Senyum rasa daun pepaya itu membuatku sulit berpikir.
“Jadi?”
“Ya jadi, , kedaluwarsa.”
“Hah? Aee, demi apa, Gede? Kenapa?”
“Mereka yang pesen itu, agak cerewet, jadi aku berang sama mereka. Gantian Gede yang ngerjain mereka.” Wajah itu seketika ingin mengeluarkan sesuatu, tertahan.
“Gede bohong. Ngga lucu tau, Gede!” Kesalku.
“Ada yang lucu sekali wajahnya pas dibohongi.” Beliau tertawa.
“Ngga lucu, Gede. Berarti ilmu seperti itu dari Gedelah asalnya. Itu selalu sukses bikin Ada dungunya keterlaluan, Gede. Anehnya, Ada ngga pernah belajar dari yang sudah-sudah. Aneh kan, Gede. Canggih memang trik hipnotisnya.” Melihat beliau tertawa kurasakan sekali topeng-topeng, patung-patung, dan gambar ukiran di sini ikut serta menertawakanku.
“Iya. Maafin, Gede. Tempat ini sudah 5 tahun dak Gede buka. Sambil diminum kopinya.” Santai beliau meraih kepalaku. Ya ampun, aku dimanja belaian tangan itu, dikecupnya kepalaku. Ya Tuhan, aku sedang dimanja oleh Gede baruku. ~
“Jadi Gede dapet nafkah dari mana? Kerja terus tapi ngga pernah lagi di jajakin?” Matanya bersedih, kami berdua duduk di kursi panjang. Kedua tangannya hangat memeluk cangkir kopi. Kurasa Gede harus absen hari ini.
“Gede ini sudah tua, Ada. Pengennya, tapi bukannya Gede dak bersyukur Agas sudah disisakan. Dia dak pernah disentuh oleh tangan seorang Ibu atau perempuan manapun dari keluarga kami. Bujang itu adalah hasil pahatanku. Cerminku. Dak heran setelah dia bertemu kau, dia jadi tertumbuhkan naluri memiliki. Kamu melengkapi dia, nak. Andai saja, ckk. Sajaa - Saja.” Kami berdua lantas menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Di tengah-tengah ukiran-ukiran dan pahatan-pahatan yang kini mereka sedang memusatkan perhatian pada kami, ikut menyimak.
“Gede ngga apa-apa, kan?” Aku tidak akan melanjutkan tanya lagi.
“Hmm. Kau itu!” Sikutnya menyenggol kulit membiruku, sedikit pedih.
“Auh!”
Beliau menunjukkan refleks dengan segera menjamahku. “Maafin, Gede, ya. Tunggu.” Beliau berubah mengancam, “Gede nanti ke sini lagi.” Beliau berlalu tergesa-gesa.
Sang Surya sudah mulai menengok ke bawah, mengucapkan selamat tinggal perlahan diantara awan-awan yang terus bergerak. Ia sedang menyapaku lewat sinarnya dari jendela-jendela kaca.
“Hey.” Gede tiba dengan handuk kecil, kotak P3K, dan baskom kecil berisi air yang menguap-uap.
“Ada sudah sembuh, Gede.”
“Sekarang, ini tindakan sebagai teman sekaligus Gede baru.” Tanganku diraihnya. Sepasang mata bersahaja itu kembali membuatku terpana. Luka-luka ini pun kembali disamarkan sakitnya oleh tangan-tangan sihir ala Dumbledore.
Aku kembali diingatkan oleh pelajaran yang Gede tanamkan. Aku merasa perlu disirami lagi olehnya, karena mereka-mereka yang baru kemarin malam merasukiku ini terlalu ganas, rentan, liar, dan menakutiku akan nantinya menyebar layaknya virus-virus batuk. Memainkan lewat kendali seenaknya, hadirnya, dan keributannya merusak detik-detik hidupku yang seharusnya kuisi dengan kalimat-kalimat Yang Maha Adil lewat bimbingan yang seperti beliau lakukan tadi. Namun dari semua itu, di bagian paaling dalam aku terus bertanya pada-Mu, “Apa Kau tak salah memberikan cerita ini padaku?”, “Sudah pantaskah aku menerimanya?”, “Apa Kau benar-benar sudah mengukurnya dengan kekuatanku?” Selalu ada di tengah-tengah detik itu. Detik ini pun.
“Nah, lihat! Waktu Saja masih kecil, ini sering terdengar jika sedang mengobatinya. Dia menangis sambil menghitungi luka-lukanya. Waktu itu dia, , yang paling banyak lukanya itu, , waktu dia jatuh dari belajar bersepeda. Umurnya sekitar hampir tujuh tahun, sekolah dasar. Katanya ‘Ayah, liat! Ada 1,2,3,4,5,5,7. Nah ini tergores, masuk hitungan?’ Gede terus jawab, ‘Itu setengah lah!’ dengan gaya menawar di pasar. Nahhh dia malah tambah seperti kucing ngamuk, tambah besar teriakannya. Diludahinya yang sedikit tergores itu. Sebenarnya tidak berdarah, hanya tergores merah, tapi perih nian katanya. Gede jawab kalau itu luka tidak jadi.” Selera humor beliau juga sama persis dengan Agas. Di mana Dia dan Yesa?
Tawa-tawa kecil merindunya tercurah setelah cerita-cerita kesayangan barusan. Tuhan, Gede membuka lebar bukunya dan aku diizinkan untuk membacanya dengan baik. Kau ke manakan mereka semua? Meninggalkan orang tua yang penuh sayang ini dengan rindu-rindu yang membuatnya terlihat seperti manusia yang disembunyikan diri muka bumi. Beliau masih belum mau menurunkan senyumnya yang juga masih berbicara dengan luka-lukaku.
“Di mana aja lukanya Saja, Gede?”
“Ohh,, ahh. Itu awalnya karena tersungkur, kurang bisa kakinya seimbang, cara menggenggam rem sepeda. Di pelipis kanan, di hidung, sikut kanan-kiri, di jari-jari, di kaki dan di mata kakinya. Terus Gede bilang yang luka tidak jadi itu di kulit telapak tangannya. Kuku kakinya itu sedikit terkoyak. Behh, itu dak mau berhenti menangis. Aku posisinya juga panik tapi waktu dia menghitungi luka, aku malah tertawa.” Aku membalasnya dengan ringisan, merasakan Gede begitu nyata menceritakannya. Itu adalah cerita kasih sayang yang manis. “Kalau kau ini, , , satt, dua, tiga , , , delapan belas. Ada delapan belas lebam. Di kepala, masih pusing? Aku kira kau ini, ,” kedua mata itu menatapku bernanap serius.
“Ada dibius sama sapu tangan yang tadinya ada di dalem kotak kado. Liat, Gede. Kira-kira Ada ditendangi apa dipukuli? Huhh, dua-duanya pasti. Memar-memarnya banyak yang masih biru, sudah jadi item beberapa. Pipi Ada kayanya ditamparin, perihnya perih nian waktu buka mulut. Mata sebelah kanan Ada juga udah ngga terlalu sakit buat ngedip. Beruntung Ada ngga dibikin buta, ya Gede.”
“Kemari.” Gede berhujan memelukku, “Do’akan Gede panjang umur, ya. Kamu tinggal di sini saja. Nanti aku sama Agas yang ke rumah kau untuk ambil baju-baju kau.” Aku seperti menangkap hadiah Teddy Bear raksasa yang kurus, kupeluknya lebih erat.
Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, Gede. Terima kasih, Agas dan Yesa. Kalian semualah yang aku butuhkan saat ini. Tolong jangan pernah pergi, selalu lah di sini.
“Gede, dua laki-laki itu ke mana?”
“Mereka? Dak tau. Dak pamit sama aku. Biar. Mereka sudah besar. Dengar baik-baik.” Gede kembali mengangkat kepalaku, kedua tangan itu di kedua pipiku, “Mereka juga labil seperti kau, tapi bisa Gede pastikan mereka. Selalu erat jaga kau. Mereka sayang kau, dengan susah payah katanya. Sekejap kau hilang dari pandangan mereka karena kau nunggu di gerbang sekolah. Semalam bujang cerita. Gede gusar bukan main karena dia. Anak gadis babak belur bukannya dibawa ke rumah sakit. Malah, tau dak? Sebelumnya, mereka langsung pamit ke pelatih karena kau sudah duluan. Kau dikira marah. Itu bohong langkah pertama mereka. Saat itu jam setengah enam lewat , , ,” Ya Tuhan, saat ini, di hadapanku, seorang kakek menangisi cerita teman barunya. Teman yang dikenalnya lewat cara pengenalan tak biasa. Aku malu, Tuhan.
“Mereka berdua baru temukan kau jam tujuh lebih. Itu pun dapat informasi dari kawan-kawan basketnya yang peka mereka berdua bohong. Di rumah kecil usang dua kilo meter dari sekolah itu. Panik bukan main, gusar kesetanan, nangis terisak. Awalnya ragu periksa rumah itu, pokoknya kau harus dapat. Katanya begini, ‘gasnya, mobil, cepat sekali, Gede. Langsung panik, Ada, ngga ada lagi. Ketawa-ketawa untungnya, ketawa-ketawa, suasana di sana lagi ketawa-ketawa. Padahal, kepekaannya, kupingku lebih dari baik, tapi itulah Gede. Aku di situ, bodohnya!’ itu dia sembari pukul-pukuli kepalanya nangis-nangis. Mereka berdua juga gontok-gontokan karena kau dak ketemu-ketemu sebelumnya. Terus, ‘Menghadap ke tim, aku, mbelakangin dia. Lupain itu, ngga bisa aku. Ngga bisa bener. Pager-pager selanjutnya itu tembok yang tinggi, cuman suara mobilnya aneh melaju!’ ” Seolah tak ingin membiarkanku ke mana-mana, beliau menggenggam erat kedua tanganku.
Cucuran dari mata indah Gede membuatku tak berdaya. “Orang menangis sambil cerita, entah itu jelaskan keadaan atau perasaan, belepotan sembari tersedu-sedu. Itu pasti Agas. Lalu, waktu kau sudah ditemukan, berdua itu dak sanggup kalo akhirnya kau yang terbujur dak sadarkan diri di sana dak ada nafasnya. Nangis ketakutan. Meraung-raung. Nyesal semenyesal-menyesalnya, nundukin kepala belakangin kau, dak sanggup liat kau. Jadi mereka nendang, banting, mengumpat.”
“Sudah puas lampiasi. Yesa dulu yang periksa kau. Ketakutan itu dak berkurang secuil pun kata bujang. Baju kau koyak, badan kau biru-biru lecet-lecet. Saat dengar kau panggil mereka karena usaha Yesa yang terus banguni kau, didekapnya kau kuat-kuat. Sesudah habis-habisan dengar cerita dan melihat mereka berkelahi nyakiti badan sendiri lagi, Gede mikir keras. Ya dak bisa idak, coba! Mereka berdua sama kau itu masih bayi merah. Kau bisa ambil kesimpulannya?”
Aku terdiam. Momen-momen semenjijikkan itu aku merasakan semuanya bersama dua bayi laki-laki merah. Mereka diserbu ketakutan dan diinjak-injak oleh bimbang. Kini rasa salah kembali menggertakku. Ya Tuhan, peluk aku. Redakan semua ini. Aku sudah berjanji pada beliau di hadapan-Mu.
”Jangan ngomong kau bersalah lagi?”
“Gede? Ada salah.” Gertakan itu cambukku, Gede.
“Nahh. Ae dem. Oy bayi merah ini. Allahu Rabbi.” Belainya untuk kesekian-sekian-sekian kalinya. Ini semakin mencambuk-cambukku sebagai rasa tak bertanggung jawab.
Ini terjadi semalam, semua sakit perih yang ditinggalkan oleh mereka masih rapi di tempatnya masing-masing. Kugambarkan, kurasakan saat ini, semuanya bersamaan dengan cup-cup belaian. Aku tidak tahu benar harus bagaimana. Aku menyerah, Tuhan. Terserah. Aku milik-Mu sepenuhnya, boneka-Mu. Di sini semua yang terpahat dan terukir duduk tenang menonton adegan-adegan cengeng bayi merah ditimangan si Kakek Pungut. Ae. Semua yang kutampilkan hanyalah simbol, yang entah mereka lukiskan bagaimana. Malahan, saat ini Kau sedang memutar film berawal dari sore kemarin, menuju malam, malam, tengah malam, dini hari, hampir subuh, subuh, pagi, siang dan sore ini. Semuanya diputar cepat agar aku terus merentangkannya pada bentuk mentah hingga pada bentuk batu yang mustahil dihancurkan. Di pikiran, dan di dadaku. Seolah Kau menginginkannya menjadi bagian dari jati diriku, yang lekat selamanya di kedua tempat itu sebagai identitas, sebagai alarm, dan sebagai mimpi dalam mimpi. Ini berhasil Kau buat begitu menjijikkan.
“Gede, makasih udah mau nerima bayi merah kaya Ada. Ada ngga bakalan selebih baik ini kalo Gede ngga ngulurin tangan.” Beliau menoel kepalaku.
“Yang sudah ya sudah. Sudah, sudah, dak apa-apa.” Masih berada di pelukannya, erat. “Ckkk. Aku jadi terus ngulang-ngulang kata, kan. Kau ini.”
Terima kasih, Gede. “Ngga tahu pokoknya Ada harus berterima kasih sama Gede biar Gede terus selalu inget ngasihani Ada.”