Kita & Saling Part 1

Aneke Putri
Chapter #14

Dia

“Kita semua mana ada yang bisa!”

“Tapi obat bius bisa.”

GEDE! Gede udah keterlaluan sintingnya! Kenapa ngga Gede bunuh dia sekalian!”

”Itu satu-satunya cara, Jang! Kau tahan lihat dia gila seperti tadi malam, subuh kemarin, tengah malam kemarin, setiap hari? Kau berdua dak butuh sekolah? Hah? Hari ini tiga kali sudah dia kumat. Sudah hampir satu jam dia begitu. Dadaku, bujang! Dadaku ini sakit dia pukul-pukul terus! Lagi pula, itu aku gunain cuma tiga kali. Yang lain murni Dia Collapsed.”

“Itu bakal bunuh dia, GEDE! Lama-lama dia mati.”

“Ya AllahuRabbi. Pening aku! Kalau kau berdua sudah bisa pawangi dia, silahkan. Tapi belum ada buktinya, kan! Jangan siksa Gede terus. Kalau dak mau beli dak apa-apa. Berpikirlah! Jalan keluar lain! Kau tangani sendiri.

Di dapur tepatnya. Aku hanya terdiam, tidak mampu menjawab obrolan menyiksa ini. Memperhatikan mereka yang berusaha berjibaku dengan urat suara beremosi. Kami tidak bisa jauh dari pintu kamar Agas. Memang, hampir semua bagian pada hampir dua jam menggilanya Dia beliaulah penenangnya, pemenangnya menenangkan Dia, hingga Dia menutupkan mata lelahnya. Beliaulah yang harus kami turuti. Aku sama tidak teganya dengan Agas.

Ini karena obat bius Gede terjatuh saat akan mengeksekusi menenangkan Dia subuh tadi. Kepanikanlah penyebabnya. Kami bertiga diselubungi panik oleh ketiba-tibaan Dia pada saat salam terakhir menyelesaikan ibadah. Obat bius itu memang milik Gede. Beliau menyimpannya di saku celananya. Tidak melalui sapu tangan ataupun tisu, beliau langsung saja membasahi tangannya dengan beberapa tetes dan mengusap-usapkannya pada baju Gede di dadanya. Jadi beliau membiarkan Dia berpeluk di dadanya. Aku baru menyadarinya, ternyata sama seperti kemarin sore kali pertamanya. Cara itu adalah hal baru yang mematikan yang pernah kusaksikan. Aku tidak kuat.

Adaniaku. Tidak bisa kutuliskan lagi bagaimana puisi hidupmu. Semua kata hanya sakit yang kutulis. Tidak ada indahnya sama sekali tersisa. Masih saja aku sesalkan sore itu. Jingga-jingga berjelaga dan merah muda yang biasa kita nikmati di menit-menit kita menuju pulang, berpelangi luas seperti yang biasa kau elukan dalam gambaranmu, sedang berpesona lewat indah-indahnya di barat sana kala itu. Kutangisi itu dilajuan ketika mencarimu. Dan merekalah gantinya yang bertanya-tanya padaku, ‘Di mana Dia?’.

Lihat selengkapnya