Kita & Saling Part 1

Aneke Putri
Chapter #15

Apa itu Persahabatan? 7

Satu malam berlalu setelah momen memakan brownies bersama. Aku bersama Yesa. Merasa aneh saat Gede dan Agas hilang. Kepalaku kesakitan hebat, makhluk-makhluk sampah bermunculan sedang membangun banyak rumah. Aku merasa ada sebuah kampung di dalam diriku. Teramat kotor oleh teriakan makhluk-makhluk sampah najis itu. Mereka tinggi besar, bertampang mayat, berbau busuk, penuh nanah, dan darah. Mereka begitu membabi butakan terang hingga aku tidak bisa merasakan nyawaku sendiri. Bisaku hanya meraba-raba seraya menangisinya sekeras mungkin.

Sisi baru langsung merebut kendali nyawaku. Benar, aku tidak bohong. Selama ini aku hidup dengan satu nahkoda, tahu-tahu dia hadir memaksa berbagi, namun berbagi itu merupakan rampasan, merampasnya begitu bengis.

"HA HA HA HA! Kau tidak pantas! Mencekikmu tidak semenyenangkan kemarin. Memotongnya dengan gergaji akan membuatnya merasakan sakit baru."

"SAKIT. TERIAK SAKITT! SIAPA YANG SUDI? SIAPA YANG MAMPU MEMBEBASKANMU, NAJIS?!"

"TIDAK AKAN PERNAH ADA YANG BISA, BUKAN?! KAU MEMANG PANTAS HIDUP DI WAHANA INI SELAMANYA. HA HA HA HA HA."

Disesaki makhluk-makhluk sampah. Perlakuan semena-menanya memutilasi menggergaji tubuhku, dimainkannya layaknya pin bowling dengan kepalaku sebagai bola, berakhir di kubangan sampah, dan ribuan kali diulang dengan kejamnya. Tidak bisa melawan dan tidak diberi kesempatan melawan. Kegilaan dalam kegilaan itu adalah aku tidak bisa mati. Jelas. Kau tak merestuinya, Tuhan.

Membuatku jauh lebih sinting dengan menjeriti.

Kuakui Kau kreatif, Tuhan. Bahwa aku memiliki dua nyawa dalam tubuh menjijikkan ini. Dialah yang berbisik aku akan berperut buncit, dengan jelas sekali itu adalah suaraku tapi itu sama sekali bukan aku. Hah. Dia dan aku Kau jadikan satu dalam koin. Kebangsatan-Mu sangat Agung bukan main.

~oo~

“Sakit tenggorokan.” Langit-langit kamar Agas kembali kulihat dengan jelas.

“Kamu petang kemarin ngamuk, sampe maghrib habis. Ini sudah jam 3 subuh. Mau minum dulu?” Rautnya sukar kubaca seraya menyodorkanku segelas air, meski begitu dia tetap jeruk manisku.

“Yesa sama Gede?” Ia mengisyaratkan matanya ke sampingku. Pulasnya Gede tidur di kasur tipis membuat dadaku sakit ingin menangis.

Saat tanganku mau meraih gelas, ia jauhkan, "Buka aja mulutmu. Minum."

“Sekarang makan, yah.” Aku pun tak kuat menahan. "Kenapa nangis lagi?" Bisiknya. Matanya panik dan berkaca-kaca. Kedua tangan berperbannya pada pipiku, kedua ibu jarinya mengusapi air mata sialan ini.

Keparat Kau, Tuhan.

Laki-laki paling sok tahu segalanya ini pun memelukku. Tubuh kurusnya yang selama ini kukira kurang makan di rumah semakin kusadari kebenarannya.

~oo~

Pagi ini pukul 5:37. Duduk di meja makan, sebelah Yesa aku berada. Gede dan Agas menghadap kami berdua. Semua mata di sini kulihat begitu segar, aku sungguh ingin demikian, tetapi pikiranku masih mengajak berperang. Di sini Yesa sudah sampai setelah subuh. Ini benar-benar mengganggu. Memalukanku.

“Kamu ngga apa-apa? Kamu sesak nafas?” Tegas Agas bertanya.

Yesa tanggap langsung menoleh ke wajahku, kedua mata itu berkata sama.

“Aku ngga bisa.”

Mereka semua bangun dari kursi, “Dak usah ke sekolah dulu.”

“A'o 'e um'a'u.”

“Kamu harus istirahat.”

“Kenapa, sih? Aku ngga apa-apa! Aku cuma ngga bisa liat Yesa bolak-balik ke rumah ini sementara dia harus bantu Ibunya di rumah.”

“Ckk.”

Mereka berdua bertatap lemas pada Yesa. Dia berisyarat, “Aku ngga apa-apa. Ngga usah kaya gitu, Da. Udah kemauan aku sendiri. Gede dan Agas udah nasehatin aku, Ibu juga ngga keberatan asal aku hati-hati. Ngga apa-apa. Malahan Ibu ngarep terus kalo aku pulang bawa kamu sekalian.”

“Apasih?” Tanya Gede.

“Kamu ngga usah ke sekolah dulu, lah. Luka-luka kamu itu belum sembuh, terus mata kamu juga belum sembuh. Pokoknya ngga hari ini.” Agas berkehendak, dan Yesa mengaminkan.

“AKU HARUS SEKOLAH! Mau jadi apa aku kalo ngga sekolah?”

Aneh, tidak seorangpun yang menjawab. Senyum mereka rasa pahit obat. Aku tahu mereka tahu segalanya. Semalam aku menggosok baju sekolah, kudengar uring-uringan dengan tanpa berisik. Pikiranku sangat terganggu ketika mereka mengikutiku ke kamar kecil dan mandi. Sangat kekanak-kanakan. Kuhidupkan keran agar suara cengengku tak terdengar. Belum lama berlalu, mereka memanggil-manggil dan mengetuki pintu. Sudah kusadari, mereka takut, hanya takut.

Tentang orang-orang di rumahku. Gede bercerita awalnya sangat terbuka dan hangat bersuguh teh dan kue kering buatan Mama dan Rada. Berintikan kecurigaan, kedua orang tuaku memaksa menjenguk. Akhirnya Gede menceritakan kebenaran yang sesungguhnya yang tentunya bohong belaka, namun entah bagaimana bentuk kebohongan yang berwujud kebenaran itu di pahat sangat megah oleh Gede. Agas bilang Ibuku menangis dan Ayahku hanya diam saja. Itu berarti, , . Gede menyimpulkan bahwa aku harus segera sembuh dan pulang untuk kembali berbohong yang ber-raut kebenaran dan memupuk untuk meyakinkan mereka. Sisa selanjutnya beliau serahkan padaku.

Gede benar, waktuku untuk sembuh haruslah segera. Aku masih milik kedua orang tuaku dan hidupku masih dipaku di rumah dan masih dibutuhkan. Kata Gede, aku masihlah anak ayam yang kini tersesat di kandang ayam lain. Ya Tuhan, aku masih punya mereka sebagai orang tua hebatku.

~oo~

Jalanan begitu ramai, jauh lebih ramai dari sebelumnya. Ini pukul 6:01. Hari ini aku membawa sisi baru. Masih baru, bernafas, dan sedang tumbuh. Hari ini hari pertamaku dengan rasa obat sakit kepala dan jeruk nipis. Hari ini aku lahir sebagai manusia acak-acakan di luar kandang persembunyian Gede, dan lepas dari gendongannya. Semakin jauh. Aku dan dua laki-laki ini benar-benar meninggalkan Gede sendirian. Yesa absen mengantar kue-kue seperti biasanya dan Agas tepat di belakangku mengendarai motor tanpa melepas tatapannya untukku yang berada satu motor dengan Yesa.

Ya ampun, hari ini aku akan langsung bertemu dengan Surya. Dia akan meledekku dan kemudian pasti akan mengundang banyak sorot lampu aneh bergelembung untuk bergabung menjadi kawanan pem-bully yang pasti akan membakarku. Tuhan, Sang Proses mengerikan yang Gede maksud sedang kutapaki. Jangan-jangan si Surya juga akan kembali mengundang seluruh setan di kampung ini. Atau mungkin Ayah dan Ibu. Orang-orang itu. Ini tidak benar, aku belum siap, mereka pasti datang, akan panas dibakarnya hingga tulang-tulangku.

Aku akan malu, dunia apa lagi, ae! Mereka pasti sudah tahu, Tanya dan teman-temannya yang membenci kami pasti yang telah berbisik-bisik, ke seluruh sekolah. Astaga Tuhan. Mereka akan langsung menindasku. Aku tidak akan sekuat itu, ini sampah, ini berat, ini memalukanku. Waktuku sudah habis. Aku terlalu bodoh membuangnya di jalanan. Aku harus pergi, masih ada waktu. Aku pasti bisa.

“Ada! ADA! Kenapa kamu lompat?”

“Ey-eh. A’a? Amu ak a’a?” Mereka tidak peduli merobohkan motor masing-masing. Aku harus cepat bangun dan berlari.

“Ngga apa-apa. Aku bakal ke tempat Ombaiku di Pagar Alam. Tinggalin aku.” ini kesempatan baik untukku. Ayo, aku bisa.

“Ada! Ada! Tunggu! Kami ikut! Tunggu! Heyy?”

Aku harus terus, teerus lurus. Ke mana. Di mana. Jalan seberang. Benar. Aku bisa, ini mudah. Aku sudah sarapan. Aku pernah berlari selama dua jam pelajaran. Aku pasti bisa. Mereka juga harus sekolah. Dan aku punya dua nahkoda, dia menyemangatiku, dia berjanji akan bergantian mengganti tenaga.

“Ya Tuhan, Ya Rosul, A d a a a !”

Yesa berhasil. Digenggamnya aku, dipaksa, mataku tidak mau menatapnya. Perlawanan ini sia-sia, dia laki-laki, ini belum apa-apa. Aku tidak siap melihat dunia yang sedang tertawa, menertawaiku. Aku tertangkap dan sekarang ini Agas erat menahan pergelanganku. Semua ramai-ramai memanggilku, meneriakiku, masih dalam usahaku melepaskan tangan-tangan mereka.

“Lepas.”

“Ada, ini aku. Liat aku, liat Yesa! Kamu harus sekolah, kan? Kita harus ke sekolah, kan? Ini Selasa! Ada!" Sekuat apapun usaha melepas genggaman mereka, gagal.

"AAAAAAAAA!"

"Hey, hey! Atur nafas, dulu. Ok ok kita ikut. Ayo kita pergi. A Y O !”

“LEPASIN! LEPASIN DULU! LEPAS, GAK!” Sekuatku. Secekat yang kutahan, sesakit yang aku usahakan, sekuat yang mereka tutupi. Berhasil. Cepat, harus cepat. Aku, , aku berhasil. Aku harus terus, terus, terus, pasti bisa!

Mereka, mengikutiku, sengaja melambat untukku. Jangan, jangan goyah, jangan, jangan menengok mereka. Tetap pada tujuan. Aku bisa.

“B U S S ! BUSS! STOP! S T O P P !”

Sialan. Mereka berdua pun masuk.

“Minum.” Agas mengulurkan botol air minum dengan mata berkaca-kaca.

“ Amu as’i aus.” Yesa tersenyum sambil terengah-engah, lengan itu mengusapi pipi basahnya.

Lihat selengkapnya