“Saya bakal nunggu nyampe 13:30, Pak.”
Beliau menoleh, “Kau juga, Adania. Kenapa kau bonyok kaya gitu? Mana mata sebelah hitam. Ditonjok siapa kau, hah? Baju sudah dak karuan kotor, guling-guling trotoar kau?" Beliau mencurigai dua laki-laki ini, "Nah, inilah! Jangan-jangan, ,” mengamatiku dari atas hingga ke bawah, “Kau bonyok karena dua bujang ini, yah? Heh, Ada, kau tuh perempuan, kau itu gadis! Bergaulnya ya sama-sama dengan gadis. Ini nih akhirnya!” Telunjuk menunjuk-nunjuk itu menghakimi mencaci maki mereka berdua. “Hey-ey! Hey? Belom ss,,”
Sesuatu menempelengku berkali-kali. Yesa dan Agas menarikku menjauh. Pagar penghalang begitu kuat dan tinggi, menutupi sekolahku dengan sangat kejam. Meniliknya dari sini, di luar sini pada jam pelajaran berlangsung. Tuhan. Apa yang telah merasukiku. Apa yang membuatku tidur selama itu. Kenapa mereka sama sekali tidak membangunkanku.
Si Surya melirikku berheran, Agas dan Yesa hanya saling tangkap kalimat-kalimat tidak berguna bergantian. Mereka tidak paham. Sial, dunia tahu-tahu mati ditelan malam. Aku ingin menebusnya. Akan kunyalakan untuk kalian semua. Obor. Bukan korek api. Tak punya. Gelap. Agas, Yesa. Kalian berjanji, kan. Genggam erat aku. Mulut ini tak mampu berucap, lumpur mengendapi pita suaraku. Sekarang sesak. Udara. Kenapa udara hilang. Ke mana perginya. Apakah malam juga melenyapkannya. Apakah Tuhan menciptakan ilusi udara saat umatnya tertidur pulas. Berarti benar, aku berada saat mereka-mereka tidak hidup. Ini mengerikan. Sakitnya seperti ini saat merebutkan, merebutkan udara di ruang sempit. Kenapa aku tidak kunjung tidur. Seperti mereka. Apa aku akan mati. Seperti inikah.
“Ada? Da?” Satu tamparan keras baru saja membunuh malam.
“Kamu gila!” Bentak Agas, memerahlah mata itu padaku.
Yesa mendorong tubuh Agas hingga terhempas. Tangan mengepal itu lalu menjotos kuat ke hidung paruh elang.
Apa maksudnya? Mulutku masih terkunci oleh adegan menyakiti.
Darah pun keluar, tak dihiraukannya. Seraya menghela nafas panjang, “Sadar sekarang?” Kata lain dari pertanyaan itu adalah ada apa denganmu. Kedua pelupuk yang sudah dibendung air mata itu tak terjatuh.
“KAMU YANG GILA?” Yesa berisyarat. Mereka saling berhadapan. Urat-urat tertekan itu bermunculan, tidak berkedip. Saling meninju perut. Bergantian menggampar wajah. Berkali-kali. Tarik menarik kerah.
Menyaksikan mereka saling menyakiti, yang nyata di depanku merupakan sakit di level tak terjelaskan. Mual, remang meruah, sakit di kepala yang hebatnya bukan main, suara-suara saling menyalahkan mereka yang seketika terdengar seperti di-loudspeaker.
“Kenapa? Kalian kenapa, sih? Heh, berhenti dulu! AGAS! YESA!” Teriakan beliau mencoba melerai dua laki-laki ini, “Ae, BERHENTI, Ya Tuhan! Kalian hilang akal! BERHENTI!" Hingga beliau berada di tengah-tengah mereka pun tidak berhasil.
Beginikah, Tuhan? Aku harus menutup erat kedua telingaku. Kegilaan pasti akan kembali sesaat lagi. Aku harus berlari sejauh mungkin.
"Ada?"
"A'a?"
“Maafin aku, Da." Agas berlinangan air mata menghadangku. Darah segar menyeruak di hidung, pelipis, bibirnya. Aku tetap tidak ingin mendengar apapun. "Aku harus sengaja lakuin itu. Kamu bikin aku hilang kendali karena kamu nyebut kata-kata yang kamu janjiin ngga bakal kamu ucapin. Maafin aku.”
Dengan luka-luka yang hampir sama didapat Yesa berkata, “Ak uah aya iu." Ia lepas kedua tanganku dari telinga. Dia berisyarat padaku, "Tenang, Ada. Maafin, Agas, yah." Ia lanjutkan pada Agas dengan berisyarat, "Ngga kaya gitu caranya. Seharusnya kamu harus tetep sadar sama situasi. Inget kata Gede. Kamu jangan mentingin yang seharusnya kamu nomor duain untuk sekarang ini. Kamu ngelewatin batas, Gas!”
Pak Hurip menghampiri kami lagi yang sebenarnya cukup jauh dari lingkungan sekolah, ”Kurang ajar kau semua! Sana! Jauh-jauh dari sekolah. Jadi bandit sana! Sekolah dak akan nerima kalian semua lagi!”
Berdua ini kini kembali menggenggamku.
Beliau memaksa melepas genggaman kami, dua laki-laki bebal ini malah menolak. Mereka semakin erat di sela-sela jariku, “Lepasin anak orang! Ada, kau jangan mau di kayak gituin.”
"Kami bukan penculik, Pak! Jaga omongan, Bapak! Bapak ngga ada hak untuk ngomong gitu, Pak. Kita lagi sama-sama saling ngelindungin." Agas ini lagi-lagi marah menjawab beliau.
“Adania. Sadar, nak! Kau disakitin begitu kok mau, sih! Lepasin genggam-genggamnya!” Beliau bersikeras berusaha melepaskan kami. Mengancam mereka berdua dengan tongkat satpam seperti mengusir anjing-anjing yang sedang menggeram sebelum menggonggong. Dua laki-laki ini malah terus mundur berbisik-bisik mempengaruhiku. Sakit genggaman mereka seolah-olah tali tampar yang mengendalikanku, menggeretiku seperti penggembala.
“Kita ngga akan jauh-jauh dari sekolah, Pak. Mereka cuma emosi aja. Saya minta maaf, Pak, kami minta maaf. Kami ngga akan ribut lagi.”
“Udah kaya orang linglung saja dari tadi. Disakitin mau saja. Kalian semua sama! Jadi enek liat kau semua.” Beliau pergi dengan tak habis pikir yang kecewa dibubuhi pedas cabai.
Kami kaku dalam genggaman. Aku tidak mau membuka kata pada mereka. Aku tidak mau menatap mereka. Aku masih takut, jika tiba-tiba mereka kembali bertikai karenaku. Aku tidak mau membicarakan waktu. Aku tidak mau semuanya.
"Ada, maafin aku. Aku nyesel udah biarin kamu jadi ketakutan." Isyarat Yesa, melepaskan genggaman Agas di tangan kiriku dan kedua tangannya mengambil alih kedua tanganku. Energi dari kecemasannya mengalir, kuat dalam kelemahannya melihatku mencoba untuk tetap hidup.
"Aku sayang sama kamu, Da. Aku ngga seharusnya kelewat batas ke kamu. Maafin aku." Seraya tertunduk dengan helaan nafas panjang sesenggukannya.
Aku benci keselaluan luluh pada mereka.
"Sini, duduk. Kita tunggu sampe jam pulang." Kami dengan kekakuan duduk bertiga menyender di sisi gerbang.
Huh, Tuhan. Kau lihat kami dengan jelas, bukan. Saat seketika gelap itu hidup melahapku bulat-bulat, akalku rusak. Masuk ke dunia yang dipenuhi permainan menyiksa. Para sakit itu merusak hidupku yang sesungguhnya di duniaku yang kutinggali dengan dua laki-laki ini. Diakhiri tangan penggenggam seorang Agas membebaskan.
Hari ini, di detik ini kita kehilangan satu sama lain. Ini bermula karena pendatang-pendatang yang kusebut para pencuri dan sudah jauh berlari. Masih di sini diri-diri menapak dengan tegar, masih setelah hilangnya pencuri yang berhasil meludahi. Maafkan aku yang sejauh ini melempar diri-dirimu semauku. Aku tahu kalian tidak pernah ingin, tapi kenapa kalian tidak relakan. Kalian berhak kembali berjalan pulang pada rumah-rumahmu. Di sana kalian aman, aku paham itu.
Kau tahu. Duniaku yang bisa tiba-tiba mengganda, diriku yang tiba-tiba direnggut oleh diriku yang lain, tidak bisa membedakan yang mana nyata dan tidak, hingga aku lupa jalan melangkah dari sekian banyak pintu. Jiwa diombang-ambingkan, diguncangkan, lemparkan ke sana - ke mari dengan penggenggam-penggenggam kuat seperti diri-dirimu kuikut sertakan. Kusimpulkan bukan hanya dosa, berdosa, dan pendosa di dalam diriku. Sangat kotor, bau, licin, busuk dengan segala makhluk penghancur lainnya, digerogotinya, bisa kurasakan sakit berlubangnya perlahan-lahan menikmati tubuhku hingga detik ini.
Aku tak bisa terus di dalam dekapan persembunyian atau kehancuran akan benar-benar bersatu memusnahkan kita. Yang sebenarnya seharusnya bersama peristiwa-peristiwa wajar di sekolah seperti biasa, yang membantu kita tumbuh, sehat di kedua rumah yang aman, bersama manis-manisnya kue yang kala ditelan pun tak menyisakan bekas pahit.
Mungkin Kau masih diam saja menonton dengan cengar-cengiran, Tuhan. Bangsat.
~oo~
Bell Pulang
~oo~
Semua penghuni di sekolah berangsur-angsur meninggalkan gerbang dengan suara-suara kendaraan yang digunakan.
~o~
“Aya i’i ih?” Yesa memecah tanya sekaligus menggoyangkan genggaman tanganku dengannya.
“Iya. Kita bakal terus gini,” ujar Agas datar. Ia naikkan genggaman tanganku dengannya.
Aku akan menangis keras jika membalas obrolan pembukaan ini. Seperti biasa, mereka memaksaku keluar dari persembunyian tundukan kepala dengan membuka kedua tirai rambutku yang menutupi wajah selama waktu menunggu ini, mereka sisipkan di belakang telingaku. Bersama-sama kepala mereka menunduk dan menangkapku. Ini menyedihkan.
Yesa mengambil wajahku menolehnya. Berlagak tidak melihat wajah penuh luka ini tetap saja menyulut air asin ini berjatuhan. Sial. “Topi kamu rusak. Lepas, yah.” Dia menjawabku dengan memusatkan tatap ke topinya. Aku lalu membaliknya dengan sekaligus membenarkan rambut mudah diaturnya.
“Liat. Udah ngga ada lagi. Yuk.” Agas mengajak tangan kiriku beranjak. Aku belum mau karena masih merapikan Yesa.
“Ckk. Aku juga mau digituin!” Seru suara itu mengganggu.
“ Ak uah a’ak i’u, As!”
“Iya, kamu kenapa sih? Ya udah, sini.”
“Ae udah. Lupain! Ayok jalan!” Ia mengelak seperti bocah.
“ Ua’a a’a? Engel ak? ” Agas menjawab tidak, membuang muka.
“Itu perut aku.” Perutku berbunyi barusan.
Mereka tertawa mengejek.
Kembali menggandengku, kali ini serius. Aku di tuntun bersama pandangan kosong masing-masing. Tawa lenyap. Langkah-langkah mereka seperti mataku yang kini remang, lambat yang takut.
“Pak? Kami masuk, yah?” singgung Agas.
“Terserah!”
“Kami mohon maaf, Pak.” Yesa satu persatu pelan mengisyaratkan ejakan huruf pada beliau.
“Pak, ini salah Ada. Tadi Ada masih demam, anemia, terus masih bonyok, tuh.” Aku menunjuk-nunjuk seluruhnya yang dapat terlihat. “Mereka inilah yang bawaan pengen ngelindungin saya karena saya minggu kemaren kena jambret terus saya ngelawan. Jadinya gini, Pak. Kami mohon maaf ya, Pak. Kita masuk ya.”
“Tuhh, makan tuh sekolah!” Beliau berhidung besar itu seperti mengenyahkan kawanan bebek.
“Biasa aja, Pak.”
“NAHHH!” gertak beliau.
Kami berlari.
~o~
“Mi Ayamnya 3, Bu.” Beliau ternganga melihat kami.
Beliau tergugah dan, "Sini, duduk - duduk."
"Kami bolos hari ini, Bu. Ada kecelakaan. Kita tadi nolongin dia." Agas cepat-cepat memberitahu beliau.
"Hati-hati lain kali. Jangan ugal-ugalan naik motor." Aku hanya tersenyum dan mengiyakan nasehat beliau.
“Ke toilet!” mereka mengelak mentah-mentah, membelakangiku. ~o~
Seperti meminta balita kembar untuk masuk ke dalam rumah karena hujan-hujanan dengan tingkah balitanya. Mereka kotor, memar darah dan pucat. Inikah yang akan kuandalkan, yang berjanji ini itu, yang pura-pura seperti orang tua bijak.
“Sini!”
“Ehh, tunggu! Dapet dari mana obat pedih itu?” Elak Agas mentah-mentah. Matanya mengernyit.
“Kamu tuh cerewet, sih! Sini!” kekerasan hanya akan terdengar seperti ajakan manis.
“Ohh. N’a ih ia ulu?” suara merajuk Yesa menginterupsi pelan.
“Terus kamu mau apa kalo dia mau aku duluan diobatin? Hah?” mereka tarik tambang umpatan. Menyela-nyela sikut.
“U D A H ! !” kudahulukan Yesa. Sedangkan Agas tak peduli menjauh.
Tiba-tiba dia kembali muncul dengan menampar kepala Yesa yang sedang kuobati. Yesa menjadi tersulut hingga aku terhuyung terjatuh.
“Ae dem. Ini tempat makan. Bukan tempat gulat! Perempuan jadi korbannya emosi ngga karuan kalian.” Beliau heran menatap mereka dan membantuku duduk, “Ngga pernah-pernahnya saling sikut! Sekarang mau sok-sok’an. Ngga malu sama Ada.”
“Maafin Ada sama mereka, ya, Bu. Kami tadi pagi ngga,, ckk!” mereka tersadar dan memohon maaf.
~o~
“Kami tadi ngebolos, Bu. Huhh, sekali-kali kan boleh, ya kan, Bu?” tutur alasan Agas cepat, mengindahkannya bersama senyum berpoles luka-luka perampok. Tampang itu dipanjatkan lagi padaku.