“Ada, jangan mikir aneh-aneh.” Ucap Agas memohon dengan raut pucat seperti sehabis muntah, dia menggenggamku.
“Ngga usah pegang-pegang!” Yesa berisyarat tepat di wajah Agas.
“Kita ngebandit hari ini. Kalian nyesel?” godaku dengan kebenaran.
“Enaknya diapain anak ini. Ayo kita sumpalin mulutnya pake kue di rumah kamu, Yes. Kita ke rumah kamu.” Monyet-monyet penjambret ini pucat, kalimat-kalimat kilat tadi semakin membuatnya pucat.
Yesa menatapku bersemangat
“Tapi aku ngambil baju aku dulu.” Bujukku.
"Ae ayo ayo!!Ayo cepetan!"
Kami semua berlari cepat tak peduli. Aku kehabisan kata karena telah diraup oleh lapar. Surya lantas kembali mengingatkanku dengan para anak panahnya yang mencolok menyilau, katanya aku telah mengingkari, sedangkan kawanan mendung kulihat sedang berseru mengepung kecantikannya.
“Ada, Da?”
“Kamu ngga apa-apa?”
“Ngga. Cepet pulang yuk!” Yesa dengan semangat memakaikan helm di kepalaku hati-hati.
"Yes, sure." Tangan kiri Agas memintaku berpegang erat.
“ ‘O'e. ” Manusia gula itu mengiri di belakangku.
~o~
Sesampainya di rumah Gede, aku melihat mobil sedan hitam di halaman depan. Pintu terbuka, waktu pengantar senja melambaikan jari-jemarinya di teras rumah, sinarnya tertutup perlahan karena awan-awan hitam di sana mulai berproklamasi. Setelah anak pendendam itu turun dari motor, tanpa basa-basi berjalan cepat, tak memperdulikanku dan Yesa, membanting tas, dan masuk ke dalam rumah.
Yesa segera memagariku dengan badannya, menggenggam pergelanganku, dan kamipun berjalan hati-hati. Tepat di depan teras tubuh kami berpatung sekaligus sigap mengambil ancang-ancang.
“Udah aku bilang berkali-kali ngga usah dateng lagi ke sini!”
Amarahnya pernah kudengar setinggi itu. Seorang pria berpakaian kemeja biru wajik hanya fokus pada Agas. Kami perlahan-lahan melangkah ke dekat pintu. Terdengar nafas sesak Agas yang merasa terusik rumahnya dimasuki oleh orang yang dianggapnya penjahat, atau semacam debtcollector.
“Ini tanggalnya sama, kan? Ayah memang sudah waktunya ke sini.”
“Itu basa-basi karatan yang ada di tempat sampah rongsokan! Udah aku usir jangan pernah nginjek rumah ini lagi, berkali-kali. Ngga pernah ngerti!”
Gede, tegak di sudut ruang tamu, tampak hanya diam menutupi setengah wajahnya dengan telapak tangan kapalan itu. Bak Sutradara yang fokus memperhatikan akting suatu adegan, mantap menatap mereka bergantian. Namun, tiba-tiba berubah tawar, namun berharap.
“Aku mau jenguk mertua sama anakku.”
“Dia bukan siapa-siapa!”
“Semau kaulah.”
“Itu pintu keluar!”
Apa yang sedang kudengar di sini merupakan cerita-cerita yang belum Gede ceritakan. Aku mendengar umpatan rindu yang direkayasa menjadi hujatan. Hatinya tertutup sedangkan empedunya meletus hingga lava itu mengenai pikirannya. Ledakan mana yang hingga membekukan caian-cairan sisi sayangnya. Ambillah sedikit dari yang kau tampung untukku dan Yesa di sini. Dia Ayahmu. Seburuk apakah hingga kau pandang sebagai bukan.
Hujan turun, Si Surya tak bisa lagi kita jumpai senjanya. Guruh menyampaikan isyarat, bahwa kelak akan lebih lebam yang kudapat.
Kami duduk di teras menghadap hujan yang menyamarkan gemuruh Ayah dan anak di ruang tamu. Agas sudah pasti lapar, Gede pun juga pasti. Tuhan, di hujan senjamu kali ini, 15 tahun kulalui dengan menebak-nebak warna–warni indah-Mu, tapi kali ini Kau mengenalkanku pada ‘warna hitam bukan siapa-siapa’ secara mendadak. Seperti detik ini, aku dan Yesa harus mendengar perselisihan sedarah yang salah satu diantaranya mengharamkan dianggap sedarah. Pantaskah kami berdua masuk dan menyelamatkannya agar tak lebih berdosa ia dapat.
“Yes, ini Kita. Kita mau nyelamatin dia ngga?”
Yesa lalu berisyarat, “Biarin dulu aja. Tunggu mereka reda dulu kangennya. Agas kalo dia memang benci sama Ayahnya, dia pasti milih pergi langsung sama kita dari detik pertama dia lihat mobil itu. Ngga perlu repot-repot mau kaya gitu. Percaya, Da. Dia bakal baik-baik aja.”
Aku berbelok menjadi sangat yakin. “Yesa. Surya marah karena ditinggalin, tapi sekarang dia malah diganggu sama hujan. Menurut kamu dia bakal bales dendam, ngga?”
“ ‘A’a, ” tolehnya, lalu berisyarat, ”Kalo dia marah itu hak dia. Dia yang umurnya kebangetan tua masa masih marah, sama setitik debu kaya kita. Ibu pernah ngomong kalo yang tua itu marah, yah tinggal minta maaf. Akuin salahnya kita dan bilang apa usaha kita biar dia ngga diulangin lagi."
“Aneh, Yes. Surya kadang baik tapi dia juga baik yang jahat nurutin kemauan setan. Dia kaya baik untuk setiap makhluk. Dia bisa berubah jadi apapun. Dia ngga ngerasa harus di pihak siapa. Aneh.”
“Kita nanti samperin dia!”
“Ckk, ae, , . Dia bisa jadi malaikat tiba-tiba, jadi iblis yang patuh tiba-tiba, jadi musuh yang peranin Algojo sadis tiba-tiba. Jadi teman deket kaya kamu. Jadi ancaman yang panasnya dia bener-bener bawa dari neraka. Kamu harus tahu. Aku ngalaminnya, jerit-jeritku salah satu penyebabnya itu dia. Dan anehnya aku ngga dendam, tahu-tahu lupa sama kejahatannya. Kadang dia manis nian.”
“Gini deh, Da. Kamu suka sama wujud dia, maksud aku peran dia kalo dia jalani tugas di sore, kan? Gini mungkin, aku coba jawab rasa keanehan kamu. Dia kan baiknya udah kamu bener-bener kenal selama ini, jadi rasa itu udah lekat dan ngga bisa mati, ‘Mungkin’. Kemungkinan lain, dia diciptain untuk ngga pandang makhluk sama Tuhan. Jadi kebaikannya ya memang kebaikan. Cerna pelan-pelan.” Aku hanya mengangguk, dia mengangkat kedua bahu bersamaan dengan jurus andalannya.
Di dalam cekcok belum diusaikan, suara Gede pun tak terdengar kujangkau. Hujan deras semakin memangkas panjang waktu senja dan kami tak kunjung pulang kepada Mama Yesa.
Berbau, tanah basah telak kalah oleh para bunga Gaharu yang muda menjulang tinggi nan lebat, menari-nari dikendalikan angin. Daun-daun secara bersamaan digugurkan. Tak hanya pohon Gaharu, para pohon Akasia dan mangga berjejer berjarak mengelilingi halaman rumah beliau.
“Dingin. Seriusan Gede ngga liat kita di sini?”
Dia langsung berisyarat tiba-tiba, “Kamu ngga keramas, ya?” Yesa kembali tersenyum masam yang manis.
“Jangan liat aku kaya gitu! Ae dahh!”
“Ohh,” wajah itu melilit urat maluku, dia tertawa, “ ‘eoh ‘ah?”
Dia tahu persis bagaimana harus memalukanku. Wangi melati tubuhnya menambah semerbak maluku, aneh, meski seharian kami berkotor-kotor. Senyum-senyum tebu dan tawa tertahannya membuatku selalu terbenam dalam tatapnya. Gigi rapinya dan hidung mancungnya bersama-sama menciptakan rasa manis laki-laki yang anak-anak. Mata cokelat itu mengatakan hal-hal indah yang semakin memperindah bola matanya. Dia tampak lebih kurus. Tentu. Aku penyebabnya. Kudengar tiap nadinya, pelan. Dia lalu menangkapku, yang sedang memperhatikannya. Ia menurunkan bahu kuat itu, hanya sedikit. Masih kuperhatikan, aku penasaran, dia tersenyum, lalu meletakkan kepalaku di bahunya. Terima kasih banyak.
~o~
Gerimis dan tetesan dari genting rumah ini masih sangat ceria bermain. Sementara sunyi masih bergumul dengan marah di dalam rumah. Kami yang diantaranya hanya dititipi acuh. Lumpuh.
Jemarinya tepat ia tujukan pada wajahku, berisyarat, “Hujan udah mulai capek. Itu senja. Waktunya dia pulang, ucapin da-da aja. Liat, dia ngintip kamu.” Telunjuk itu membimbing mataku.
Para awan hitam berbaik hati membuka celah, hanya beberapa lubang kecil, membiarkan senar sinar jingga surya terakhir berlambai.
~o~
Chh. Aku ingin bicara dengannya.
Tangan kirinya sontak tak mengizinkan kepalaku beranjak.
Dia kembali berisyarat, “Udah, biarin. Dia lagi lepasin rindu sama Ayahnya. Coba denger, ngga kedengeran, kan? Mungkin mereka lagi telepati.”
“Ngga usah aneh-aneh, ah.” Jawabku berisyarat
“Ada gimana kalo aku, ,” akhir-akhir ini dia memiliki kebiasaan menjeda kalimatnya.
“Apa? Gimana?”
Dia tersenyum, “Gimana?” dia masih bermangkuk gula. Jedanya beberapa saat, “Ngga jadi!”
“Kamu ngeselin, ah.”
“Lahh, kenapa dak pada masuk? Sini, sini!”
Kami cepat bangun seraya melihat Gede yang hendak menutup pintu.
“Untung saja. Kamu tuh ya, kaya orang baru kenal kemarin.”
“Memang baru kenal kemarin kan Gede?”
“Kemarin sama kemarinnya sama kemarin malamnya lagi!” Gede mendapati kepalaku dengan kedua tangannya, diguncang-guncangnya. Ekspresi itu seperti rasa sayur terong dicampur dengan cempokak. Rasanya aneh. Aku kurang menyukainya.
Agas masih menatap dingin Ayahnya. Ingin kuhentikan dengan membubarkannya seperti yang barusan Gede lakukan padaku, namun Gede melarang, begitu pula Yesa. Mereka duduk berhadapan dengan tanpa menatap satu sama lain. Mereka tak lain seperti pasien yang berada di ruang tunggu pemeriksaan rumah sakit. Menunggu dengan raut-raut aneh yang kaku. Aneh. Betah nian.
Hujan sepenuhnya tamat, sisa-sisanya pun tak lagi terdengar. Sementara di sini, gersang tandus masih betah menginvasi rumah ini. Gede berubah bak anak remaja seperti kami, sedang duduk bersila di meja makan, memandangi makanan dingin dan memeluk kucing hitam gemuk. Kucing jantan rumahan itu bernama Hulu. Beliau bercerita, dia adalah anak dari kucing-kucing Sita sejak kuliah, keluarga Gede diwarnai oleh lahir dan matinya kucing-kucing peliharaannya. Nama-nama mereka juga turun-temurun berasal dari nama arah. Bulu-bulu hitam bertotol putihnya lebat, mata besar yang penurut, berkumis panjang, ekor yang juga panjang dengan warna putih di ujung ekor, dan sedang mengantuk sayu kini. Terus dielusi kepalanya. Anteng seperti Ayahnya. Tak kubayangkan, telah menjadi satu hati direntetan masa. Membuat Yesa dan aku sama sekali tidak berkutik.
Hahhh. Ini kiamat yang disebabkan oleh ketiadaan perempuan. Di mana perempuan-perempuan itu Kau sembunyikan, Tuhan. Kenapa mereka begitu mudah tesulut dan begitu mudah beku. Gede seperti membutuhkan pelukan. Mengingat yang sudah diutarakan, beliau pasti sangat butuh mengadu di sisi Sita. Rambut putihnya begitu berwujud agung dan ditumbuhkan oleh setia yang terselubungi rindu. Lalu garis-garis horizontal yang rapi berbaris di kening dan matamu begitu lelah, tak bisa benar-benar kau sembunyikan dengan rahasia.
Diammu, senyummu kala menceritakannya, mata berbinarmu yang selalu mengarah pada benda-benda tertentu di tiap letak begitu membenarkan segalanya mengenai rindu. Raut bersalah, mungkin bukan. Namun yang sangat kuyakini kau begitu kuat mempondasikan hidupmu untuk mengenang cintamu yang berada di level kehidupan lain di atas sana. Sisa yang disisakan oleh kedua perempuan itu ialah seorang anak laki-laki tangguh yang sedang tumbuh, yang sekaligus teman, mainan yang perlu dikembangkan, dan seorang penerus.
Ampun, beliau beku. Pandangan sihir ini sia-sia, tidak mempan.
“Gede?” gugahku.
“Apa?” Mata beliau terangkat pada Yesa. Ini tanda bahwa beliau memang sedang kacau.
“Kapan telurnya dipecahin?” tanya Yesa menulisnya di secarik kertas.
Gede menunduk, “Mereka sama-sama merebus batu. Dak akan pecah. Makan sajalah. Tinggal saja mereka. Bilang rindu saja harus bunuh-bunuhan dulu.”
Jahat sekali bukan, Tuhan. Dialah yang paling parah di antara kita bertiga dalam kejujuran. Kadang dia sangat menyayang yang hangat, kadang sedingin es di mulutku dan membuatku ngilu, kadang puasa bicara dengan tangan-tangan jahilnya, kadang tiba-tiba berkata aneh yang memaksa kami berkata se-iya. Semua kadang-kadang itu benar-benar mengingatkanku pada bunglon. Kamuflase itu selalu menjadi hantu yang sewaktu-waktu benar-benar ingin aku akhiri. Namun, dia pernah berkata padaku bahwa dia senang mendengarku bercerita kehangatan keluargaku. Aku belum paham saat itu. Dan ternyata, , .
Terdengar suara klakson dua kali.
“Ngga usah balik lagi!” pekik Agas.
“Tuhh, bisa kalian nilai sendiri. Kasih tuh skor!” beliau menunjukku. Aku berubah dungu. ~
“Ahh, ,” beliau melotot, “5/5.” Bimbangku.
“Kamu, Yesa?”
Yesa berisyarat, “0/0.”
“Nahh! Yesa bener, 100 buat kamu.” Gede menyanjung mengiyakan.
Agas datang dan duduk, beliau menunjuk-nunjuknya, “Anak kecil yang dak bisa merengek di depan orang tuanya, kerasnya mintak alem. Ayahnya yang tinggi besar tadi, dak bisa kalo dak ada perempuan ngurusin dia. Jadi dia nyari istri lain. Si anaknya ini jadi benci setengah mati karena dak, , pokoknya dak semuanya.”
“Aku laper.” tampang kesal itu tiba-tiba muram.
Saat-saat seperti ini Agas terguncang, diguncang lagi oleh Gede. Entah itu benar salah. Guncangannya turut mengacau pikiranku, sedangkan Yesa hanya berkomat-kamit sewot seperti yang selalu selama ini. Belum ada yang memulai, kami berdua tentu sungkan. Dadaku ini, isi dadaku bersorak-sorak ingin dibentak sapa, setidaknya candaan. Ini seperti menunggu kentut yang dipastikan akan menjadi adu mulut tak berujung.
“ ‘Ami ‘u’a aus ‘uang. ‘Ene ‘ama ’amu. ‘emein!”