“Jalan keluarnya, Yes! Jalan keluar, jalan keluar! Dia ngga mau makan udah dua hari, terus ini udah pagi lagi, dan terus ini udah jumat, Yesa! Dia selalu ngingetin muka orang-orang itu! Siksa aneh. Makhluk aneh.”
“Ngga usah diulang-ulang! Aku lagi mikirin semua itu. Trauma ini bakal beekepanjangan, Gas. Kita harus persiapin semuanya.”
"Kamar aku harus dikosongin."
"Iya, bujang. Ini PTSD1. Trauma pasca kejadian itu adalah fokus kita sekarang. Briefing perlu kita lakukan untuk tiap hari untuk report keadaannya gimana. Kalian boleh dampingi dia saat keadaan apapun setelah pulang sekolah. Tapi jangan sekalipun kalian berkata yang menyinggung tentang kejadian itu. Yang dia butuh sekarang kehadiran kalian saat dia merasa sadar lagi. Kata-kata pengertian yang membuat dia merasa lebih baik. Kita dan rumah inilah tempat teramannya. Halau apapun yang dia lakuin untuk nyakitin diri sendiri. Gede pelan-pelan edukasi selagi kalian sekolah."
"Kita siap apapun itu, Gede."
"Hal yang pasti bakal terjadi. PTSD ini lumrah terjadi pada orang yang sudah pernah mengalami kejadian kecelakaan dan kejahatan seksual. Bahkan, perang."
"Paham aku, De. Banyak sumber sudah kita baca. Kenapa harus dia, Yes? Gede? Kenapa perempuan kaya dia? Kenapa perempuan pelaku dibaliknya? Kenapa perempuan kaya kaya Tanya jadi pelakunya? Kenapa dia tega sama temennya sendiri? Kenapa coba, Yes?"
“Ini belum waktunya bahas itu, Gas.”
Dibalik sumpah serapahnya menantang Tuhan. Kebenarannya adalah akhir keputusasaan memohon pada-Nya. Diperparah ketakutan telah berhari-hari membuat Agas terus menanyakan lembar halaman suratan yang sudah dijalankan oleh-Nya. Yang menjelma tanya penyesalan yang jawabannya haruslah ia cari secepatnya sebelum Dia - Yang Maha Mulia ikut mengubahnya lagi, ketakutan yang ingin ia pacu agar Dia melihat usahanya memperbaiki kesalahannya, ketakutan yang mewajibkannya melenyapkan orang-orang biadap yang telah melancarkan pembiadapan, ketakutan yang ditakutkan akan menjadi dendam yang harus terbalaskan, ketakutan akan harus adanya keseimbangan yang nantinya akan ia jadikan pertahanan jika tak tertutupi layaknya kini, ketakutan yang akan membuatnya menjadi makhluk jahat penghuni jahanam yang tak berkesempatan menjadi malaikat penyelamat Dia jika balas dendam akan dikunjungkan. Segala ketakutannyalah yang mewakiliku berbicara. Dan sama, ketakutan-ketakutan itu juga bersarang sama denganku.
Kami berdua mencintainya. Kami di sini ikut berjuang bersamanya. Ikut merasakan semua lukanya. Menangis bersama dalam pelukannya. Menggenggam erat pada ketakutannya. Menjadi penahan sekuat baja di pelampiasannya. Menjawab semua kalimat ketakutannya dengan memperkokoh alasan kita. Meredakan semua bisikan kelelahannya sepulang kepergiannya bergelut dengan dirinya sendiri. Menghalau semua percobaannya untuk menyakiti diri sendiri dan hingga memastikan dia tertidur dalam lelah.
Ibu berkata bahwa, luka yang ditimpakan pada Dia akan memakan waktu yang panjang. Yang datangnya berupa kejutan dari Tuhan. Hal itu serupa maut yang sesuka kehendak Tuhan mengaturnya dalam takdir seseorang. Dia bisa mati sejenak dalam dunia kami namun hidup dalam dunianya yang lain. Luka kejutan itu mengajak Dia berlahir dan tumbuh di sana. Benar-benar hidup yang Dia awali dari keterlukaannya. Di sana Tuhan mengujinya lewat ketahanan dan bermohon dalam keterlindasan yang Tuhan sebut kasih sayang-Nya. Itu adalah salah satu keistimewaan takdir untuk perempuan. Apa sesungguhnya Kehendak-Nya Ibu tidak tahu, namun hikmah di baliknya pasti akan memeluknya bahagia di suatu saat nanti. Berupa apapun. Itu yang Ibu percaya.
Sejujurnya aku terus mengharapkan hal itu cepat terlaksana, Bu. Aku juga sama sengsaranya dengan Agas. Aku tidak mogok percaya akan hal itu saat menghadapinya bersama kita. Benciku, sisi logika ini malah sebaliknya, Bu. Aku berusaha percaya akan semua itu, tetapi dari sudut manapun memikirkannya, semua itu kusebut kesalahan Tuhan yang paling kejam. Sementara di sisi lainnya, yang kulihat dari Gede, beliau begitu berbeda ketika bertuah pada kami dengan sesalnya melihat kami menangis bersama Dia. Laki-laki haruslah kuat katanya, bagaimana menjaga perempuannya jika kami juga larut dalam traumanya. Itu terbukti lewat pengalihannya pada Dia. Beliaulah, aku dan sahabatku haruslah menjadi layaknya beliau. Bukan seperti, namun layak. Layak yang beliau lakukan membuatku kembali bertangis semangat.