Oskar menghampiri kami, meja kantin yang panjang membuatnya sok akrab dengan teman-temannya. Sialan. Mangkuk mi ayam yang sedang kami santap tiba-tiba digeserkan tepat padanya, “Dia ke mana? Udah selasa lagi. Wow. Dia ngga ada selama itu!” Semua orang menatap kami.
Yesa dan aku saling membuang muka sebagai kode. “Dia belum sembuh.” Malasku menjawab tukang bacot ini.
“Jauhin dia, deh.” Dia menantang adu tinju? Tukang bacot yang selalu membanggakan seringai berkuasa itu kurang puas ternyata bermain api.
Demi Tuhan. Sekolah adalah tempat menghemat tenaga paling penting saat ini, “Belom selesai mi ayamku.”
“Jaadi, ," Satu kata menggantung itu meninggi. Tidak terima ternyata. "Udah disangka bakal kaya gini. Ada malang.”
Dasar hama.
Yesa lebih dulu tersulut amarah. Tinju telah menyapa hidung sok-sok'an itu, “ ‘Oks.”
Ini semakin runyam, Tuhan. Brengsek! “Biar aku, Yes.”
"Aku kangen sama Dia, loh! Boleh juga, Yes. Seengganya gagunya ngga terlalu ikut campur. Hahaha. Jijik dengernya." Oskar mulai menimpali tinju.
Tidakkah Kau paham, Tuhan? Kasihani tenaga kami.
Para CS-nya ikut campur, lagi!
Seisi kantin kami gaduhkan. Lebih meriah lebih tepatnya.
~oo~
Bedebah brengsek! Waktu pulang, Tuhan. Aku sedang tidak ingin mengeluh padahal.
“HHttt, , penasaran ini makin gede.” Tantangnya. Lagi.
“Tolong, Os. Jangan mulai lagi! Dua pelajaran udah kelewat. Mual bersihin semua toilet!”
“Wusshh! Karena ngga ada yang securiga aku. Ralat. Mungkin securiga aku, tapi ngga ada yang seatraktif aku. Separah apa, sih?”
“Ketagihan tinjuku?”
“Wahhh, inget-inget, deh. Ngga aneh terngiang-ngiang sampe sekarang. Dia seneng nian sore itu, meski babak belur ngga buat cantiknya berkurang." Matanya menelisik sekaligus curiga, "Matanya kena tonjok siapa?” tahu-tahu dia tertawa, menikmati mengenang selasa sore itu.
Yesa diam dalam bencinya. Ia tahan.
“Taik. Ngga ada kerjaan lain, ya?” Tegasku muak.
“Suka liat Ada. Ngga suka sejak dia mau-mau aja dimanfaatin kamu. Pengen umumin ke semua kalo kalian itu memperbudak dia. Atau pelampiasan karena minggu lalu kalah? Jadi dia trauma berkepanjangan sama laki-laki!”
TAHAN!! Bedebah ini tampak begitu menyanyangkan. Psikopat.
Kami harus pulang. “Minggir.”
“Well done. Biar kuperjelas! Bedebah kaya kalian yang brainwash dia tentang cara pandang laki-laki. Taik. Penjahat perempuan tepatnya!”
~oo~
“PTSD1 itu serius.”
“Kan udah jelas surat Psikoterapinya. Apalagi, bu?”
“Ini sudah tiga minggu, nak. Dia perempuan! Orang tuanya bahkan ngga ada nemenin dia di sana. Karena orang tuanya mati khawatir di rumahnya sendiri. Belum lagi kalian bohong soal trauma yang pertama, jelas-jelas itu dibantah sama orang tuanya langsung di minggu kedua. Tolong, bukan cuma kepala sekolah yang berhak. Kita juga mau jenguk, ntah seberapa gilanya trauma itu.”
“Ibu, , tolong nian. Kami juga sakit, Bu. Semuanya! Ibu bisa biarin kita belajar tenang? Seengganya, ,”
“Kamu mau biarin semua pihak yang merasa janggal bakal gila karena ngga nemu-nemu jawaban? Kasihani orang tuanya, nak. Entah seberapa buruk hal yang menimpa Ada orang tuanya berhak tahu karena mereka orang tuanya! Yang lahirin dia, yang besarin dia!”
“Gimana kalo merekalah yang bener-bener Ada mau tutupin dari semua ini? Gimana kalo ketakutan terbesarnya adalah orang tuanya tahu?”
Agas mewakiliku. Tubuhku beku di kursi dingin ini. Tangisan melemahkan teguhku. Hari-hari berat semakin akrab. Indah menjauhi kita. Berputar-putar kini adalah gandrung yang bekerja menghibur Agas. Hahh.
Bagaimana cara kerjanya, Tuhan? Pikiran-pikiran jahat serta baik ini seenaknya bertengkar. Timbangan keduanya tidak stabil pada kami berdua. Pelajaran-pelajaran hanya konsentrasi sesaat yang juga tiba-tiba menghadirkan bayang Dia yang rasanya menyiksa. Perih dan Pedih. Hahh. Dua kata itu nyaris sama bukan? Artinya sama. Dan itu adalah kami berdua.
“Nanti, Bu. Nanti.”
“Karena kami semua sayang sama kamu semua.”
“Ibu, , percaya sama kita. Kami mohon.”
~oo~
Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, empat minggu, dan lima minggu. Kelimanya kuisi bersama Gede dan Hulu selama dua laki-laki itu pergi. Tujuh jam dalam enam hari mereka berdua belajar tanpaku, dan di minggu ke lima ini akan segera berakhir. Ini hari minggu, besok adalah senin. Lagi. Haruskah. Pentingkah. Lima minggu ini aku selalu dimanjakan oleh macam-macam nina bobo. Supaya Tuhan mengakhiri dunia, atau tahu-tahu menjemputku atau tahu-tahu aku terbunuh oleh obat bius atau tahu-tahu keracunan atau tidur selama mungkin tanpa mimpi dan tanpa bisa dibangunkan. Yang kudapat, hanya tidurku yang kadang tidak sama sekali karena siksa sisi baru tidak mengizinkan. Dia takut, akan tetapi dia juga mengancam. Disebut agen ganda, bukan, Tuhan.
Setan dan banyak sekali setan. Setan-setan yang tiba-tiba datang berusaha menghancurkan gerbang. Mereka ternyata rekrutan sisi baru langsung dari neraka. Mereka gila bekerja - gemar lembur memperluas arena siksaku. Tidak pernah main-main dalam menciptakan banyak skenario permainan. Hasilnya, setiap hari mereka selalu berhasil menculikku, dipaksa hidup di dunia baruku ini dengan benar-benar berepisode. Huh, Kau puas menontoni teaterku, bukan, Tuhan. Dan semua itu terlaksana selama ini bersama mega-mega-Mu.
Nyata oleh Gede, Agas, dan Yesa. sisi baru dan mereka bermain curang dengan orang-orangku. Setelah permainan berakhir, mereka berpesta bersuka-cita atas keberhasilan. Adalah tepuk tangan seraya menampariku sebagai salam, satu persatu mulut mereka tepat memekakkan telingaku, tari-tarian - mengelilingi meludahiku, dan kadang bahkan lebih buruk bersama memperburuk rasa sakitku yang tidak pernah mati.
Setiap saat, pada dimensi lain yang sisi baru ciptakan, ia hadir dengan perut buncit itu. Menyeru dengan nyanyian-nyanyian tenang melirih. "Kau itu najis. Najis, najis, najis."
Kosakatanya menyeramkan, "Anjing pesakitan yang najis sepertimu harus disayati kulitnya untuk meregenerasi."
"Mencabiki isi otak tak bergunamu itu cukup menyenangkan."
"Meremas luka-luka tembak sangat menyegarkan."
"Memarut jari-jarimu itu lucu."
"Apalagi kepalamu jadi bola basket."
"MATI-MATI!"
Kerap kali mengenang sore penghancuranku hari itu,
"Anjing! Najis! Kau tidak becus menjaga perawanmu! Kau JAHAT! JAHAT! BEDEBAH BUSUK."
Sering kali menghakimi penilaian ketiga laki-laki itu, "Siapa? Agas? Yesa? Mereka hanya menambah siksa! Sabar? Mana yang bisa kau tahan? TIDAK BISA! HANYA MATI YANG MENYELESAIKAN! KAU HANYA BISA BERMAIN DENGANKU."
Membekap wajahku dengan bantal basah akan darah, "Tak usah! Bernafas hanya untuk orang hidup. Kau hanya anjing najis yang dipaksa bermain siksa! Kau hanya anjing. ANJING. LUPAKAN NAFAS!"
Mengajakku kedua kakiku yang kesakitan oleh cambuk, tembak, dan sayatan menari-nari di benderangnya malam tanpa membuka mata bulan. "Kau suka puisi Yesa, bukan? Ayo rayakan dengan menari. Tari pendet yang kau pelajari di sekolah. AYO! SEBELUM KAKIMU KUGERGAJI!"
Memaksaku menjadi serigala di siang hari, "KAU HARUS BISA BERTAHAN DI ARENA INI! SEBERINGAS SERIGALA! Kau tahu serigala tidak suka kebun binatang, kan. KAU BUAS! JADI BUAS!"
Menyeret-nyeret tubuhku lewat rambutku jika aku terus menolak bermain di lapangan, "Ayolah, anjing najis! Rambutmu licin karena darah di kepala! OH KUJADIKAN TALI UNTUK MENYERETMU, YAH! IDE BRILIAN! MATI, MATI, MATI!. HA HA HA HA HA HA."
Membenamkan kepalaku di lautan sampah, "INI KARENA KAU SELALU TIDAK MENURUTI MAUKU! BENAM, BENAM, BENAM KAU!"
Mencoblosi telingaku dengan anting-anting yang sudah dipanaskan dan memakaikan dan menyiksaku sebagai ungkapan tak mau ditinggalkan. "AKU SUKA MELIHAT ANTING-ANTING, TAPI KAU TIDAAKK!"
Gede mengajarkan memakukan pada pelampiasan. Alhasil, selama ini aku dibiarkan menggila di ruang Agas sendirian. Tidak terkendali saat itu mengitari. Melukai, diriku terutama dengan atau tanpa benda tumpul yang bisa kutemukan, meskipun itu sudah dikosongkan tanpa satu bendapun, namun nyatanya kadang dua laki-lakikulah malah menjadi penanggung sebagian besar. Ahh, sering. Mungkin, hampir selalu. Itu yang benar.
"BAYANGIN ORANG TUA KITA TAHU! MATI, NJING!"
"AIB, NAJIS, ANJING GILAAA! HA AHA AHAAAA! AAAAAAAAAAAAAA!"
"SAKIITT! BRENGSEK! AKU TAHU AKU INI ANJING NAJISSS."