Kita; Cita; Asa

min seyu
Chapter #2

BAB I - Masa Indah? [Part 1]

/BAB I – Masa Indah? [Part 1]


“Cari yang lain.” Ucap seorang lelaki yang sedang menikmati kopi di teras rumahnya.

“Kira enggak pacaran.” Sahutku sambil masuk ke kamar.

“Masa? Jangan bohong. Jangan kira Ayah gatau ya Kira!”.


Aku tidak menjawab lagi. Aku memilih memakai earphone dan menaikkan volumenya hingga full. Aku tahu ini tidak baik. Tapi inilah salah satu caraku untuk meredam kebisingan disekitarku. Mereka tidak mengerti. Tidak akan.


*Ting* - Satu pesan masuk.

‘KIRA!! LO SERIUS?! SAMA KA UTA??!’ – Aca, si heboh yang selalu bicara apa adanya, bahkan terkadang terlalu.. tidak disaring.

‘Kenapa sih emang?’ Balasku niat tak niat.

‘Yakin lo? Dia kan.. duh gimana jelasinnya ya..’.

Aneh. Padahal biasanya Aca bicara semaunya. Tapi kali ini dia seperti menahan diri dan mencari kata yang pas untuk menjelaskan.

‘Hm intinya, lo bisa dapet yang lebih baik dari dia Ra! Serius deh lo tuh baik, manis, pinter, kreatif, banyak deh nilai plusnya. Harusnya lo dapet yang.. lebih baik pokoknya!’.

‘Jadi menurut lu Ka Uta nggak baik buat gua Ca? Lu kenal dia emang? Tahu sifatnya? Atau udah pernah ngobrol sama dia emang Ca? Hm?’. Jawabku dengan nada mengintimidasi.

‘Ya.. belum pernah sih. Tapi dari luar aja udah kebaca ga sih? Ga jelas. Dia pasti Cuma mau main-main Ra. Langganan masuk ruang BK (Bimbingan Konseling). Dia juga baru aja putus ga sih? Sama adek kelas itu loh, tau kan lo Ra?? Ya walaupun dia keren sih anak ekskul band sekolah kita. Tapi tetep aja mending lo pikirin lagi deh pleaseee’.


Aku tidak membalas lagi. Sengaja mematikan obrolan chat yang bagiku.. memang sudah tidak perlu lagi dibalas.




/Senin, 7.30 WIB

Aku terlambat. Lagi.

“Naahh ini dia nih ratu telat kitaa.” Teriak Pak Aji, guru komputerku.

“Maaf Pak. Macet banget Pak..”.

Iya, itu hanya alasanku. Padahal, memang bangunku saja yang terlalu siang.

“Alasan klasik. Copot sepatu kamu. Habis itu berdiri tuh disitu. Dibarisan murid-murid yang hobinya melanggar aturan”.

Aku tidak membantah. Memang aku yang salah. Aku turuti saja dan langsung berdiri dibarisan kiri paling belakang. Dibarisan itu ada yang tidak membawa topi, ada yang tidak pakai dasi, ada yang terlambat sepertiku, ada juga yang pakai baju olahraga. Hah? Baju olahraga?? Dia ngigo atau gimana sih? Upacara pakai baju olahraga?!.




Sejujurnya bisa dibilang aku sangat jarang sekali bisa berada dibarisan murid-murid yang.. normal. Tidak tahu kapan terakhir kali Aku bisa baris bersama teman-temanku. Tapi sungguh, Aku tidak merencanakan untuk terlambat. Tidak tahu juga kenapa harus selalu hari Senin? Ah tidak juga sih, hari lainnya juga Aku terlambat. Hehe.




Satu jam berlalu dan upacara selesai. Kupikir Aku hanya tinggal masuk ke kelas. Ternyata tidak. Hari ini Pak Aji punya ide baru.

“Untuk kalian yang dibarisan ini nih, lari dulu 5 putaran. Kalau sudah, masuk ke ruang BK sampai jam pelajaran pertama selesai. Lari sekarang!”.

Suaranya lantang sekali. Kalau tidak lihat wajah Pak Aji, mungkin kupikir itu suara seorang komandan yang sedang memberi instruksi pada prajuritnya.


Aku berlari dengan.. tidak semangat.



“Woii!! Telat lagi Cil?! Hadeehh” – Teriak Ka Rifqi dari depan kelasnya yang berada tepat di samping lapangan.

Aku hanya tertawa. Tidak tahu apa yang lucu. Tapi dengan tertawa, kurasa sudah cukup merespon? Hehe. FYI, Aku suka dia. Iya, Ka Rifqi. Selain baik, dia juga lucu. Sebagai pria, dia terhitung sangat gentle. Dia juga cukup berkarakter. Dia Ketua OSIS. Lalu Aku, babunya. Eh bukan, maksudku anggotanya. Tapi Aku memilih menghindarinya. Melupakannya, sebisaku. Setiap dia mengirim pesan, Aku juga memilih merespon seadanya. Bahkan terkesan.. sangat dingin dan cuek. Dia sering menyapa. Bahkan sering dengan sengaja mengacak-acak rambutku setiap kami berpas-pasan di kantin atau di koridor. Tapi reaksiku, tetap sama. Cuek, dingin, dan menghindar. Alasannya?..


Aku memilih sahabatku. Dia sangat menyukai Ka Rifqi. Aku tidak tahu kalau Aku akan bersahabat dengan Eva. Awalnya Aku tidak suka Eva. Dia terlalu berisik. Hobinya suka berfoto disetiap sudut tempat. Membawa tongsis, tongkat narsisnya setiap hari, setiap waktu, setap moment. Tapi tiba-tiba dan tidak disengaja, kami jadi dekat, lalu berahabat. Lalu terjadilah begitu saja, realita bahwa ternyata kami menyukai orang yang sama. Cinta segitiga? Ah sial. Aku tidak mau. Jadi kupilih untuk melupakan perasaanku. Bagiku, persahabatan jauh lebih berharga.




Lihat selengkapnya