“Guys! Jadi kita main ke rumah siapa nih?”. Tanya Eva saat jam pelajaran terakhir selesai.
“Rumah Diya aja yuk. Mau makan seblak lagiiii”. Jawab Via si penggemar sejati ‘Seblak Nenek’ yang berjualan tepat di samping rumah Diya.
Kami setuju begitu saja. Tidak ada yang menentang karena memang rumah Diya yang paling dekat dengan Sekolah. Bisa dibilang, rumah Diya adalah base camp kami. Selain lumayan dekat Sekolah, banyak juga jajanan enak di sana. Ada Seblak Nenek, Sotang Pak Totong, sampai Cimin gang turunan juga enak.
/Rumah Diya – 16.00 WIB
“Eh kalian pada nonton Cinta dan Rahasia ga sih?”. Ana bertanya sambil sibuk mengaduk seblak.
“Nontonn!!” sahut Eva dan Aca serentak.
“Itu tuh ceritanya tentang cinta segitiga gitu ya? Gue baru liat iklannya doang”. Tanya Ana menatap Eva dan Aca secara bergantian.
“Iya begitu dah pokoknya”. Jawab Eva sambil menggerogoti es batu. Dia suka sekali es batu. Bahkan terkadang, dia tidak peduli air digelasnya. Dia hanya fokus pada es batunya.
“Kok bisa sih ya suka sama orang yang disukain temennya sendiri?”. Ucap Diya sambil menggelengkan kepala.
“Uhuk uhuk”. Via tiba-tiba tersedak. Tapi dari sudut pandangku, batuknya memang disengaja.
“Kita nggak ada yang gitu kan ya guyss?”. Tanya Diya sambil menatapku.
Aku yang sedang sibuk mengunyah cimin, hanya menggelengkan kepala. Tapi anehnya, kenapa mereka menatapku?. Bukankah ini lebih seperti meginterogasiku dibanding bertanya?.
Setelah itu kita lanjut makan, menonton film, dan bercerita tentang banyak hal yang lucu. Aku hanya mendengarkan sambil menanggapi dengan suara tawa. Tapi sejujurnya, aku masih bertanya-tanya. Mengapa mereka seperti menuduhku?. Entah apa bisa kusebut tuduhan jika memang ada sebagian fakta didalam tuduhan mereka. Aku memang menyukai Ka Rifqi. Tapi perasaan itu jelas ingin kuakhiri sesegera mungkin. Tidak ada niatan untuk merusak persahabatan hanya karena cinta. Apa bisa disebut cinta? Entahlah.
Aku selalu beranggapan bahwa perasaan, memang tidak bisa diatur. Kita tidak bisa merencanakan untuk menyukai seseorang. Aku tidak mengada-ada. Aku mengalaminya sendiri. Saat ditahun awalku di SMK ini, Aku sempat menyukai seseorang. Tapi kemudian Aku baru mengetahui bahwa dia sedang dekat dengan teman sekelasnnya. Saat sedang latihan ekskul (Ekstrakurikuler) Karate di lapangan Sekolah, Aku menyaksikan sendiri dia sedang duduk berdua di Koridor. Terlihat sangat dekat dan serasi. Sejak hari itu juga, Aku berusaha melupakannya. Dan ternyata, berhasil. Aku melupakannya. Aku memang tidak bisa mengatur perasaanku untuk menyukai siapa. Tapi Aku bisa memaksa hatiku untuk berhenti menyukainya. Walau dengan proses yang juga cukup.. merepotkan. Bahkan saat kudengar dia sudah resmi menjalin hubungan pun, Aku bisa baik-baik saja.
Kupikir masalahku selesai sampai disitu. Ternyata tidak. Setelah melupakan perasaan itu, Aku benar-benar tidak memiliki perasaan untuk siapapun. Tidak ada seseorang yang spesial, tidak ada yang kunantikan saat di Sekolah, bahkan tidak ada nama yang terlintas saat Aku mendengarkan lagu tentang cinta. Tadinya Aku pikir tidak apa-apa begini. Seharusnya memang tidak apa. Tapi sejujurnya, Aku justru merasa hampa. Aku tidak bersemangat. Bahkan disaat Fouland sibuk menceritakan crush mereka masing-masing, Aku hanya bisa mendengarkan dan sedikit memberi saran. Aku tidak bisa menceritakan apapun karena memang tidak ada yang kusukai. Perasaanku kosong.
Setelah merasakan kekosongan itu, Aku memutuskan untuk mulai menyukai seseorang, lagi. Sejujurnya, Aku belum pernah memiliki kekasih. Iya, selama 16 tahun Aku menyandang status ‘Jomblo dari lahir’. Kisah cintaku selalu berakhir bahkan sebelum sempat dimulai. Lucu ya?. Saat ada seseorang yang menyukaiku, Aku tidak suka. Saat Aku suka, Dia tidak. Terus begitu. Aku sampai terheran-heran bagaimana bisa secara kebetulan, ada orang yang Kau sukai lalu ternyata Dia juga diam-diam menyukaimu. Itu hampir terdengar mustahil untukku sampai suatu ketika, Aku menyaksikan sendiri dari kisah cinta sahabatku. Barulah aku tersadar bahwa memang Aku saja yang belum bertemu dengan orang yang tepat.
Setelah sadar hal itu, Aku memaksa. Mencoba membuka hati, tidak ingin mati rasa begini. Aku mau merasakan senyum karena melihat seseorang yang spesial, lagi. Tapi percuma. Kupaksakan bagaimanapun juga, perasaanku tetap kosong. Itulah mengapa Aku bisa berkesimpulan bahwa kita, tidak bisa mengatur perasaan. Tapi sebagai penggantinya, kita bisa mengatur sikap dan pikiran kita. Itulah mengapa Aku sedikit kesal saat mereka menyudutkanku tentang Ka Rifqi. Karena Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjauh, bersikap dingin, dan melupakan perasaan itu sesegera mungkin. Bukan mauku juga memiliki perasaan untuknya.
/di Kelas XI Administrasi Perkantoran – 12.00 WIB
“KIRAAA!”. Teriak Aca sambil berlari ke mejaku.
“Kenapa sih? Kok muka lu panik gitu??”. Tanyaku sambil mengangkat kepala dari atas meja dan melepas earphoneku.
“Ka Uta!. Ketauan guru BK!”
“Yaudah biarin ajalah. Ketauan ngerokok mah..”
“MINUM!”. Teriak Aca sambil memukul lenganku.
“Hah?? Minum apaan?”. Tanyaku heran.
“Ya apalagii kalo bukan alkohol?? Lo jangan polos-polos banget kenapa sih Raa!”. Jawab Aca sambil menghela nafas.
“Bohong”. Sahutku singkat. Aca memang sering bercanda usil. Aku berharap kali ini dia juga hanya bercanda.
Ternyata tidak. Ka Uta sedang diinterogasi di ruang BK. Sependengaranku, Ka Uta terlihat sedang minum-minum dengan teman tongkrongannya di belakang Sekolah kemarin sore. Kalau Aku ingat-ingat kembali, kemarin sore Ka Uta memang sempat mengabari kalau Ia sedang bersama teman-temannya.
Inilah yang membuat Ayah melarangku dekat dengannya. Bahkan sampai menyuruhku mencari orang lain saja. Padahal Aku belum memiliki hubungan apapun dengan Ka Uta. Walaupun memang terhitung sudah lima bulan kami dekat dan saling mengenal lebih jelas. Ayah tahu Ka Uta salah satu anggota band Sekolah kami. Wajar saja Ayah tahu. Ka Uta dan Ka Rifqi pernah mampir ke rumahku. Dari situlah Ayah mendengar perbincangan kami dan mengetahui fakta itu. Menurut Ayah, anak band itu sangat rawan tergelincir dalam hal menyimpang. Seperti minum-minum, tato, dan obat-obatan terlarang. Berapakalipun kuyakinkan bahwa tidak semua anak band seperti itu, jawaban Ayah tetap tidak.
Aku memang kecewa. Tapi sebenarnya, aku lebih sibuk menerka-nerka.
Kenapa dia melakukan itu ya?
Apa dia sedang ada masalah?
Masalah sebesar apa sampai dia mendatangkan masalah lain?
Kenapa dia tidak cerita apapun ya?
Apa alasan yang sebenarnya?
Aku merasa tidak berhak untuk marah karena Aku bukan siapa-siapanya. Aku tidak atau belum memiliki hubungan apapun dengannya. Perasaanku hanya terombang-ambing selama lima bulan lamanya. Entah Aku sudah menyukainya atau belum, tapi Aku merasa memiliki hak untuk sekedar bertanya padanya tentang alasannya melakukan ini.
Tapi rasanya, Aku memang cukup kesal. Karena hal ini, sahabatku akan semakin lantang untuk tidak merestuiku dengan Ka Uta. Apalagi jika kabar ini sampai ketelinga Ayah, ah jangan sampai!. Jangan sampai Ayah tahu kalau salah satu terkaannya benar terjadi pada Ka Uta.
“Bener kata Ayah lu sih Ra. Mending..” Aca belum selesai bicara. Tapi Aku memilih memakai kembali earphoneku dan kembali memanfaatkan jam istirahat untuk tidur di mejaku.
Sebenarnya, tidak semua sahabatku tidak merestui kedekatanku dengan Ka Uta. Via dan Ana, mereka setuju. Menurut mereka, terlepas dari masalah-masalah di ruang BK itu, Ka Uta orang yang baik, dewasa, dan menyenangkan. Karena itu Aku hanya sering bercerita tentang Ka Uta ke mereka berdua. Walaupun ujung-ujungnya, semua sahabatku juga tahu semua ceritaku.
/Lapangan Sekolah – 17.00 WIB
Aku, Eva dan Aca baru saja selesai latihan ekskul Karate. Kami mengambil tas dan segera berjalan ke luar menuju gerbang Sekolah. Tiba-tiba, ada motor yang membunyikan klakson dari arah parkiran.
Tiiinnn.
Ternyata itu Ka Rifqi. Lalu dibelakangnya, ada Ka Uta yang sedang memarkir motornya dan berjalan ke arahku.
“Baru selesai latihan Ra?”. Tanya Ka Uta sambil melepas helmnya.
“Widii anterin lah breee”. Teriak Ka Rifqi dari motornya. Akhir-akhir ini dia memang sering sekali menjodoh-jodohkanku dengan Ka Uta. Aku tidak tahu apa yang ada dikepala dan hati Ka Rifqi. Kenapa dia bersikap seolah dekat denganku, namun pada akhirnya menjodoh-jodohkanku dengan sahabatnya sendiri?.