Malam ini seperti malam yang sudah-sudah. Riley menatap kosong pemandangan kota –yang sama saja beberapa tahun belakangan ini– lewat kaca jendela mobil. Billboard raksasa menampilkan perilisan album miliknya. Poster wawancara tadi pagi juga sudah terpajang di semua sudut kota. Di dalam mobil pun tetap sama. Radio kerap menyiarkan alunan lagunya. Pak sopir bersenandung asal sambil memainkan klakson mengikuti irama. Serta Bob, manajernya, seperti biasa sibuk mengoceh gosip artis terbaru. Dan nona-nona cantik asyik terkikik di sampingnya, berusaha mencuri perhatian Riley.
“Hey Riley! Kau dengerin gak?”
“Saya capek.” Riley hanya menatap Bob datar.
Bob yang tadinya, Riley yakin, hendak mengajak bergosip ria, memilih diam. Mengedikkan bahu, tahu Riley enggak ingin diganggu. Mobil ini bising sekali. Tapi kenapa ia merasa kosong dalam diri. Kosong yang bukan senang atau sedih, tapi seperti bingung, ya bingung. Terlebih-lebih Riley merasa muak dengan semua hal. Dia enggak lagi merasa gembira karena mobil mewahnya, lantunan lagunya yang bisa didengar di mana saja, gosip Bob, senandung pak sopir atau bahkan nona-nona seksi.
Tangan Bob mendadak menepak kepalanya kencang. “Oit! Kunang-kunang, kau lihat?” Ia menunjuk satu kunang-kunang di luar kaca mobil.
Riley yang tadinya mau memaki, urung. Jarang sekali ada kunang-kunang di kota padat ini, terlebih hanya satu ekor? Mata Riley mengekori kunang-kunang yang terbang ke taman. “Berhenti sebentar pak, di minimarket!” Riley bangkit menepuk-nepuk bahu sopirnya. Mobil berdecit, berhenti di depan minimarket samping taman. Pak sopir menoleh kebingungan.
“Kau mau kemana!?” Bob berseru bersamaan dengan Riley yang menyingkirkan nona-nonanya setelah itu membuka pintu mobil.
“Hoodie saya, Bob!”
Bob menghela pasrah, mengambil hoodie dari dasbor. “Jangan lama-lama, Ri.” Ia keluar mobil, menyerahkannya pada Riley, memilih mengalah, artisnya terlihat badmood dari tadi. Riley berlari kecil lalu berteriak.
“Sama sekalian pulangkan cewek-cewek itu!” Berlari seraya tergesa memakai hoodie lalu kacamata.
Ia memakai tudungnya, merasakan udara malam yang enggak begitu menusuk, malahan memeluk dirinya. Menemukan bintang mengapung pada pekatnya malam sembari berlari. Tanpa sadar hal tadi menerbitkan senyum kecil, sudah lama ia enggak merasa menginginkan apa-apa. Dengan sedikit terengah-engah, ia sampai di taman yang lampunya mati semua. Digantikan sedikit cahaya dari kunang-kunang.
Dia berdiri di dekat pepohonan, cahaya samar memperlihatkan orang-orang duduk berkerumun pada dua anak kecil.
“Oh? Ada kejutan apa lagi?”
Anak-anak ini sepertinya hendak membawakan pertunjukan, yang satu membawa gitar yang lainnya hanya berdiri tersenyum konyol. Tadinya Riley ingin kembali saja, soalnya hal ini akan menjadi pertunjukan biasa (seseorang bernyanyi dipinggir jalan) tapi kakinya enggak bisa diajak kerja sama.
Si senyum konyol, maju ke depan merentangkan tangan seperti kondektur orkestra besar. “Selamat datang Bapak, Bunda, Nenek, Kakek, Kakak, Adik, pada pementasan sulap musikal Acela dan Darren! Aku harap, kalian menikmatinya dan setelah pertunjukan selesai, bisa kembali pulang dengan hati yang tenang.”
Seketika, setelah tuntas kalimatnya, ratusan enggak ribuan oh enggak juga sepertinya jutaan kunang-kunang muncul dari balik dedaunan, pepohonan, lampu taman yang mati, di balik rumput bahkan di belakang punggung setiap orang. Langit pekat tertutupi cahaya lembut kunang-kunang yang berkerlap-kerlip lucu serupa bintang redup, bedanya bintang ini jaraknya dekat sekali dengan manusia. Mereka meluncur bebas, kemudian melingkupi kerumunan penonton. Astaga, ini betul-betul indah! Riley tercengang, masih berusaha menerka jenis pertunjukan jalanan ini.
Kalau dunia tak pernah sesuai mau
Kalau-kalau dunia tak beri waktu berehat sejenak
Si gitar mulai menarikan jemari pada senarnya, lagu yang asing di telinga Riley didendangkan. Dia pikir anak-anak ini akan menyanyikan lagu populer seperti miliknya, hal ini menerbitkan cengiran malu, duh narsismenya kambuh lagi. Penonton lain pun terdiam, enggak ada satu pun yang tahu ini lagu milik siapa. Tapi karena nadanya yang membelai dan manis, satu dua mulai tersenyum.
Kalau jua kita dimatikan rasa oleh dunia,
lantas tak merasa apa yang harus dirasa
Si senyum konyol –yang kini ketika lebih dekat baru terlihat mengenakan jaket dan syal super tebal– mulai bergerak dengan lincahnya menghampiri beberapa penonton. Sepertinya dia memamerkan trik sulapnya, apa anak ini enggak terganggu dengan kostumnya ya?
Tapi tidak apa
Tak merasa juga bagian dari rasa
Seorang anak ditemani bundanya menjerit kesenangan karena si senyum konyol menggoyangkan plastik kosong, yang seketika dalam suatu gerakan cepat, plastiknya telah terisi kue bolu. Kemudian dia melompat-lompat dan mendekati pasangan paruh baya di kursi taman. Si senyum konyol mengeluarkan kartu dan kelihatannya menyuruh pasangan tersebut memilih. Kartu yang dipilih, dipilin dan diremas lalu ketika remasan kertas ditarik dari kepalan tangan, keluarlah bunga-bunga cantik. Olala, Riley melupakan resahnya beberapa menit lalu, tergantikan rasa bergebu-gebu yang ganjil.
Mari berhenti sekejap di sini
Kan kudengar ceritamu seharian
Sehabisnya, si senyum konyol mendekati Riley. “Om, nunduk aku mau ngasih tau sesuatu.”
“Saya masih muda, jangan panggil Om.” Tapi Riley tetap menuruti, ia berjongkok hingga tinggi mereka sama. Sepertinya anak ini masih sekolah dasar, gayanya menyuruh dan bicara tapinya sok dewasa.