“Ngapain pagi-pagi berangkat, Bob? Udah tau saya bukan morning person.” Riley menguap lebar, ia masih dalam posisi yang sama. Bergelung mengenakan hoodie, memeluk guling dan selimut kesayangan di bangku belakang mobil.
“Kan dibilang kemaren, Ri! Wawancara majalah Egsix tentang lagu baru kau!” Bob dari bangku di sebelah sopir, menoleh ke belakang. Memamerkan sampul majalah Egsix dengan semangat berlebih.
Yang diperlihatkan majalahnya hanya mengangguk-angguk dengan mata terpejam. Kemudian menggeliat lagi. Bob berdecak, memilih mengganti lagu di radio. Memulai kembali-nya Monita, memenuhi mobil. Pak sopir ikut berdendang, klakson dimainkan seirama lagu –menurutnya tanpa bunyi klakson, lagu di mobil terasa hambar.
Sebuah janji terbentang di langit biru
Janji yang datang bersama pelangi
Angan-angan pilu pun perlahan-lahan menghilang
Dan kabut sendu berganti menjadi rindu
“Ri, kau kemaren liat apa deh.” Bob asal mencomot topik sambil membuka dasbor, mencari permennya.
“Hah? Pas malam?” setengah sadar Riley menjawab, “sulap anak kecil tapi diiringin lagunya mereka.”
“Ooh … yang kau dikasih bunga terus ditaruh vas tadi pagi?” Bob membuang bungkus ke wajah Riley –yang sekarang duduk terantuk-antuk jendela mobil–
“Memangnya kenapa?”
“Bilangnya kemaren 'cuman' pertunjukan amatir,” Bob berhenti sebentar, mengintip lagi ke belakang, “tapi seneng banget dikasih bunga.” Pak sopir kali ini ikut tertawa.
Sebagai jawabannya, Riley memukuli Bob dengan gulingnya plus mata terpejam. “Berisik.” Riley kembali tidur-tiduran. “Heh kamu makan permen enggak bagi-bagi!” Dia berusaha mengalihkan percakapan.
Bob mengangsurkan kantong permen.
“Bukan ke saya! Pak sopir!” Pak sopir tertawa lagi.
“Tuan Riley akrab sekali dengan Bob,” sambil mengambil permen, pak sopir ikut nimbrung.
“Bob aja bukan nama asli gue ya pak, Riley yang manggil gitu.” Entah apa penyebabnya, Bob ikutan memanas-manasi.
Riley menggeram kesal. Akhirnya bangkit, dengan jarinya memaksa kelopak matanya membuka. “Kamu mirip Bob Ross. Sama-sama keribo.” Tersenyum puas.
“Bob Ross siapa lagi toh, Tuan?”
“Emang anaknya agak ajaib, Pak. Mohon dimaklumi ya.” Tangan Bob bersedekap di depan seakan ibu-ibu meminta maaf akan kelakuan anaknya.
Riley mendengus, memilih menikmati pemandangan pagi yang enggak begitu ramai. Jalan masih sepi dan ia bisa melihat burung-burung merpati seakan bersenandung riang, ketika mobil berbelok ke aula besar.
“Ri sebentar lagi kita sampe ke lokasi.” Bob memberi kode, menyuruh bersiap-siap.
Hoodie segera Riley tanggalkan, ia melempar guling, selimut dan hoodie ke Bob. Sukses mengenai mukanya. “Sial,” Bob tersenyum paksa, memaki pelan.
Kemeja ia rapikan, lalu menyemprot parfum di sekujur tubuhnya. Enggak ketinggalan kacamata hitam seraya menyisir rambut dengan tangan. “Bob, cermin!”
“Ini baginda.” Bob menyerahkan cermin kecil.
Riley mematut dirinya. “Okey, saya memang selalu tampan.” Menarik senyum menggoda, senyum andalan miliknya sebelum menaruh asal cermin di bangku.
Tanpa mendengar gerutuan Bob, Riley segera membuka pintu mobil dengan bergaya. “Loh? Saya kira di studio.” Riley membuka kacamata hitamnya. Menatap ke papan nama cafe kecil di depannya.
Bob turut keluar. “Ayo masuk kasian nungguin wartawannya.” Seraya menarik lengan kemeja Riley. Mobil meninggalkan mereka, berhenti di parkiran.
Riley mengibaskan tangan Bob. “Nanti kusut.”
Mereka masuk ke cafe bergaya klasik itu. Semerbak wangi roti dipanggang, daging yang baru matang, aroma kopi, hingga teh menyambut mereka di pintu masuk. Lampu-lampu bulat tergantung di langit-langit. Hawa sejuk dari air conditoner menyongsong setiap langkah. Bob berhenti, menoleh kanan-kiri, mencari jurnalis Egsix.
“Pagi, Ri, Bob, aku minta maaf membuat kalian datang pagi-pagi begini. By the way ... kalian bisa panggil aku, Lyn.” Seorang wanita setinggi bahu Bob dengan rambu pendek, menepuk bahunya. Tersenyum ramah.
“Ah ya, pagi juga Lyn, saya juga minta maaf karena terlambat.” Bob memasuki mode ‘sikap profesional’. Setelah itu menjabat tangan Lyn. Riley mengikuti, masih dengan senyum andalannya –yang lebih tepat disebut seringai sok manis.
“Hahaha, ayo ikut aku, kita wawancaranya santai aja ya. Sambil sarapan juga boleh.” Lyn mengajak mereka duduk di dekat jendela. Meja dengan empat kursi kayu dikelilingi dinding kaca dan tanaman merambat. Lyn duduk lalu mengambil tape recorder. Disusul Riley dan Bob duduk berdampingan. Bob memanggil pelayan, memesan makanan untuk dirinya dan Riley.
“Ly–”
“Lyn, kamu mau mesen apa?” Riley nyengir lucu, memotong ucapan Bob.