Bagaimana Cara Bahagia Selamanya?

kanun
Chapter #3

3- Festival Kembali Kecil

“Darren, kamu gak takut?”

Acela mengeratkan pegangan tangannya pada Darren, menatap penuh kecemasan. Bukan apa-apa, ini pertama kalinya mereka memberi pertunjukkan di panggung besar yang punya penonton berjejal seperti sarden kalengan. Sudah berjejal penuh, berisik pula, bersorak-sorai penuh semangat. Udara pengap pada festival rasanya semakin menyesakkan saja, walaupun kipas-kipas besar dipasang di setiap penjuru.

Tangan Darren balas menggenggam erat kembarannya, memandangnya lekat. “Kamu kalo takut anggep aja yang nonton balon jogetnya 7-eleven.” Tersenyum kecil, Darren kan jarang tersenyum dan kalau dia tersenyum tandanya ia ingin memberi kekuatan.

Acela menghela, memperbaiki earmic-nya lalu perlahan melepas tangan Darren. Dia naik ke panggung membawa kain hitam besar. Panggung besar, kain hitam besar dan penonton yang semakin terlihat banyak dari atas panggung membuatnya merasa kecil. Enggak, enggak bisa manusia sepadat ini dianggap balon joget. Acela tersenyum gugup, dia cuman mematung ditengah hingar-bingar festival. Pandangan mata penonton menatap penuh penilaian pada dirinya. Aduhh, apa yang harus dilakukannya hilang semua begitu saja ketika kakinya menjejak panggung

“Hai.” Ia melambaikan tangan ragu-ragu, menelan ludah. Penonton terdiam, seperti menunggu kalimat selanjutnya. Astaga, bagaimana ini? Ia mencari Meisya di kerumunan. Meisya berusaha menyemangatinya, mengepalkan tangan setinggi mungkin, seakan berteriak mengucap ‘Acela bisa’ –meskipun enggak terdengar suaranya. Acela menoleh ke Darren di samping panggung, Darren mengeja ‘bisa’ tanpa suara.

Gadis kecil ini mengambil nafas, berusaha tenang, mengumpulkan seluruh kepercayaan pada dirinya. Ia bisa. Oke ini enggak mudah tapi lakukan! Ia meyakinkan dirinya.

“Selamat … selamat datang, Tuan-Tuan dan Nona-Nona pada sulap musikal Acela-Darren! Kami akan membagi sebuah alunan untuk memperingati hari anak-anak atau bisa disebut hari kembali menjadi kecil untuk siapa saja!” Acela maju mendekati penonton, tersenyum kikuk.

Selepasnya ia mengibaskan kain hitam. Asap putih keluar membumbung tinggi seiring jatuhnya kain, menyisakan kosong dan asap memenuhi seisi panggung. Serta lirih nada gitar dipetik di antaranya. Penonton berdengung, kembali ramai, menerka-nerka akan seperti apa pertunjukan ini. Gelembung warna-warni muncul dari atap panggung. Orang-orang menatap langit, mencari tahu siapa pelakunya.

“SELAMAT MENIKMATI MENJADI KECIL DALAM SATU HARI INI!” Acela berseru dari atap panggung, mengibaskan lagi kainnya. Kali ini ia menghilang meninggalkan gelembung-gelembung mengiringi jatuhnya kain hitam. Gelembung terpantul cahaya mentari sore lantas terlihat berwarna-warni. Gelembung-gelembung memenuhi festival, beterbangan, menari terbawa angin. Sorak-sorakan makin heboh, ai, ini acara sulap musikal-lah bukan sepak bola.

Ini hari bahagia untuk anak-anak

Bergembiralah kita!

patut bersenang hari ini

Perhatian penonton teralih, mendengar petikan gitar diantara asap panggung. Menerka-nerka siapa yang mulai bernyanyi. Jentikan jari terdengar, seketika asap perlahan menghilang. Menampilkan Darren bernyanyi dengan gitarnya sepenuh hati. Tapi, lagu apa ini? Belum pernah didengar oleh siapapun. Orang-orang yang tadinya hanya berdiri di stan, sekarang berdatangan menyaksikan si kembar. Beberapa stan ditutup, karena hal itu.

Merayakan hidup yang berbaik hati

Memberi jatah bahagia berlebih teruntuk kita,

anak-anak!

Satu dua mulai ikut menyenandungkan asal alunan nada, Darren masih berdiri, menarikan jemari di senarnya bergaya sekali. Acela muncul entah dari mana.

“Darren duduk dong, nih aku bawain kursi.” Dia berdiri di belakang Darren dan memunculkan kursi setelah mengentak suatu barang tembus pandang. Kursi kayu muncul begitu saja diiringi kertas confetti warna-warna. Seusai itu, kembarnya duduk kalem, kembali tenggelam dalam irama.

Acela dengan trik yang sama di samping Darren memunculkan kursi kayu. Ia duduk, sesudahnya menatap kembarnya sambil memanyunkan bibir. “Benarkah?Ini hari kita?”

“Ya! Semesta pun merayakannya.”

“Sinar mentari?” Acela menunjuk sinar matahari sore yang hangat masuk ke sela panggung. “Garis langit?” Ia berdiri menunjuk langit yang penuh layang-layang. Lalu menatap Darren bingung.

“Mereka menari bersama bahkan.”

Acela kembali duduk, berlakon merenung ke depan jauh. Penonton enggak seheboh sebelumnya, mereka terperangah, mulai berlaku seperti anak-anak terpikat mainan baru. “Itu bagus! Aku jadi ingin bertualang.”

“Kemanakah?”

“Padang bunga.” Acela menatap Darren, menyengir manis.

Selepas kalimat tadi, sekonyong-konyong gitar yang dimainkan Darren menghilang. Digantikan kertas confetti warna-warni berserak di lantai panggung dan pangkuannya. Si kembar berlagak terkejut, walaupun tau gitar menghilang bagian dari rencana. Penonton lebih gempar lagi. Gegap gempita bereaksi, sepertinya mereka pikir ada kesalahan teknis.

“Wah, gitarku pergi duluan, rupanya tidak sabar.”

“Kalau benar begitu, biar kubawa kalian juga!” Acela menyahut semangat. Berdiri menarik kain besar bermotif bunga dari belakang kursinya. Membawanya ke depan penonton, mendekati pinggir panggung. Sehabis kain dikibas, latar panggung yang tadinya layangan berubah.

Panggung benar-benar menjadi padang bunga. Dengan bunga-bunga triplek kecil sebagai pagar, kain-kain hijau seolah rumput hingga latar langit biru pada backdropnya. Semua berubah dalam kibasan kain. Tepuk tangan membahana, seruan riang mengikuti.

Apa hari anak terbatas pada perayaan layangan?

Aku rasa tidak, ini murni hari penghormatan kasih sayang

Acela kembali berdiri di belakang Darren yang masih duduk, bernyanyi tanpa memerdulikan sekitar. Gadis ini melingkarkan tangannya pada leher Darren seakan hendak memeluk. Dari balik rumput-rumput keluarlah gitar coklat yang menghilang.

Kemudian dia berjongkok di dekat bunga triplek, berpura-pura memainkan mahkota bunganya. “Kataku, ini hari kembali menjadi kecil.”

“Aku pikir bunganya yang terlalu kecil.”

“Ya tinggal disiram dong!” Acela bangkit berdiri lalu mengepalkan tangannya. Ia memiringkan kepalan tangan kemudian keluar air dari kepalan tangan mungilnya. Setelah itu dia berjalan melompat-lompat seperti sedang menyiram bunga di taman. Beberapa penonton memekik, takut terjadi apa-apa di depan panggung.

Lihat selengkapnya