Bagaimana Cara Bahagia Selamanya?

kanun
Chapter #5

5-Mimpi yang Padam

Selepas Riley meninggalkan toko roti, Acela, Darren dan nenek masuk ke dalam toko.

“Nek kok tau Omri lagi ada masalah?” Acela mencomot sembarang topik sembari mengelap meja yang tadi dipakai makan bersama.

Nenek yang menunduk menutup roti-roti di etalasenya mengangkat kepala. “Bukannya biasa ya?”

“Biasa?”

“Acel biasa bawa temen kesini yang lagi ada masalah” Nenek berdiri menggerak-gerakkan pinggangnya.

Acela hanya mengangguk-angguk sok paham.

Darren muncul dari dapur, mengangkat plastik berisi kue. “Nek aku bawa ya kuenya”

“Bawa aja. Kalian udah mau pulang?” Nenek duduk di karpet sekarang.

Acela bangkit mengangguk, memakai jaket tebalnya kemudian menyalam nenek. Diikuti Darren setelah memasukkan plastik ke tas gitarnya. Kembarannya sudah berlari kecil duluan keluar toko. Nenek yang hendak memberi tahu sesuatu pada Acela, batal.

“Hati-hati! Langsung tidur gak usah liat bunda atau bapak. Jaga Acela juga”

Darren –yang masih tersisa di toko– mengangguk lagi, melambai sembari keluar dari tirai kerang. Berteriak sambil menyusul Acela yang berjalan duluan.

+++

“Berjalan terus, terus jangan sampai menabrak tapi~~” Acela kembali menyanyi, sepanjang jalan menuju rumah.

Pelototan Darren sudah tidak mempan, maka ia memulai pertikaian. “Berisik woe! Kenapa mesti make lagu si”

“Lurus lagii jangan dengarkan ocehan brokoli sampai bertemu belokan pertama! Ke kanan~”

Darren menyerah, menghela pasrah. Ia hanya menyumpal telinga dengan jarinya. Membiarkan Acela konser di jalanan. Untung sedang sepi, tidak begitu banyak orang berlalu lalang. Jadi Darren tidak perlu pura-pura tidak mengenal Acela.

“Beloklah ke kanan! Tapi hati-hati jangan terlalu miring beloknya, nanti jatuh ke got~”

Mereka berbelok masuk ke pertokoan lagi. Toko-toko beberapa sudah ditutup sisanya main pamer lampu terang-terang.

“Lurus lagi dong~ Sampai ketemu gedung tinggi diapit tukang daging sama sol. Dann kita, OH IYA!”

Acela mendadak berhenti berjalan di depan Darren. Menoleh cepat.

“Apa lagi?”

“Kita lupa minta nomornya Omri!” Acela menghela sedih. Asyik mengobrol dengan Riley, membuat penyakit pelupanya kambuh.

Darren ikut terdiam, menepuk dahi. Bagaimana mereka mau menunaikan janji jika Riley saja tidak tahu cara dihubunginya.

“Yaudah besok aja kalo ketemu, ayo apa jalan lagi”

Daripada menambah kecemasan Acela –yang bisa berakibat kambuh– Tangan Darren menarik Acela. Menyeretnya masuk ke apartemen.

“Oke lanjut! Ketika masuk ke apartemen jangan liat kotak suratmu! Gak bakal ada isinya~”

“Astaga” Darren masih sambil menggandeng Acela, melirik sebal. “Kalo mau nyanyi, kecilin suaranya. Entar tetangga kebangun”

“Rumah ada di lantai 7 jangan salah lantai ya~” Kini nyanyian Acela seperti berbisik.

Mereka menaiki lift menuju lantai tujuh. Lift melesat, tepat berhenti setelah itu berbunyi. “Keluar dari lift, awas nanti tersandung! Menuju nomor 72 dann kita sampai~~”

Lihat selengkapnya