Kita dalam Kehidupan Bumi & Bulan

Sayidina Ali
Chapter #12

Bumi: Mencoba Kabur

Bulan purnama bersinar dengan gagah dan berani. Cahayanya membantu Bumi, Kimat, dan Bintang untuk melihat jalanan di malam hari. Sinar bulan membantu menerangi jalanan yang sepi, namun tidak ada seorang pun yang terlihat malam itu. Sepanjang jalan, mereka hanya melihat bangunan-bangunan yang sudah terbakar dan hanya tersisa puing-puingnya. Beruntungnya, api tidak benar-benar menghanguskan beberapa bangunan sepenuhnya.

Saat terus berlari dengan kencang, Bumi terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya. Setiap bangunan tidak utuh, banyak yang memiliki kaca pecah, coretan nama toko, dan beberapa tampaknya telah dijarah karena isinya telah hilang.

Mereka berlari menjauh dari orang misterius dan sopirnya yang mengejar mereka. Saat hendak kabur, sayangnya Kimat tidak sengaja menjatuhkan barang berbahan dasar seng yang mengeluarkan suara keras. Mereka menyadari bahwa mereka telah ketahuan. Beruntung, orang-orang yang mengejar mereka tertinggal cukup jauh.

Namun, sekarang Bumi dan yang lainnya harus melewati sebuah pemukiman warga yang sangat padat. Karena bangunan yang padat dan jalanan yang sempit, mereka memutuskan untuk mengurangi kecepatan larinya agar tidak menarik perhatian. Mereka berusaha berpura-pura seperti warga sekitar dengan berjalan santai.

"Bumi, aku rasa ada seseorang yang mengikuti kita," ucap Bintang yang melihat ke belakang.

Orang yang mengejar mereka sadar bahwa mereka mungkin telah ketahuan. Dia berhenti di depan gerobak siomay milik warga, sehingga Bumi dan Kimat tetap bersikap santai, sementara Bintang tetap khawatir.

"Tidak, itu hanya imajinasimu saja," ucap Kimat, mencoba menenangkan Bintang.

"Sepertinya kita harus berpisah," ucap Bumi, membuat keputusan tiba-tiba.

"Hah, yang benar saja? Bahkan dalam kondisi menegangkan sekalipun, kamu masih saja menjengkelkan," Kimat bereaksi dengan sangat cepat dan dengan nada yang sangat marah akibat ucapan Bumi yang dinilai terlalu mementingkan diri sendiri.

"Apa maksudmu?" tanya Bumi bingung.

"Hei, coba kamu pikirkan baik-baik akibat dari tindakanmu selama ini. Apakah kamu tidak berpikir bahwa apa yang baru saja kita lewati adalah akibat dari tindakanmu? Bangunan-bangunan itu dibakar oleh warga karena doktrin yang kamu berikan kepada mereka. Lihatlah sekarang, semuanya sudah terjadi dan menjadi sangat kacau. Jika bukan karena kamu yang dengan percaya diri pergi dengan orang yang sangat misterius itu, mungkin saat ini kita sudah baik-baik saja. Semenjak menjadi orang yang dikagumi banyak orang, kamu menjadi sangat egois!" ucap Kimat dengan penuh emosi. Dia akhirnya mengeluarkan seluruh keresahannya kepada Bumi yang sudah lama dia pendam begitu saja.

"Tapi jika tidak karena tindakan ini, maka masyarakat akan menderita terus-menerus," bela Bumi mencoba menjelaskan sambil tetap berusaha tenang.

"Rakyat mana yang kamu anggap menderita itu? Sebenarnya, kamu ini membela rakyat yang mana? Aku ini teman lamamu, kita sama-sama orang dalam di sebuah aksi. Aku sudah mengenalmu jauh sebelum mereka mengenalmu. Dulu kamu menyuarakan kebenaran dan membela kaum-kaum yang tertindas. Tetapi, sekarang kamu hanya membela apa yang ada di balik perutmu itu. Kamu hanya ingin menegakan kesejahteraan dirimu, bukan rakyat yang selalu kamu jadikan batu loncatan itu," sambung Kimat dengan kesal.

Lihat selengkapnya