Kita dalam Kehidupan Bumi & Bulan

Sayidina Ali
Chapter #14

Peluh seni dan tangis terdalam

Setelah mengetahui bahwa orang tersebut ternyata adalah kiriman dari Bulan, akhirnya Bumi berencana untuk berpindah tempat, dengan tujuan agar pembahasan mengenai hal ini bisa lebih mendalam lagi. Sebab, berbicara tentang masalah ini di tempat penjual bubur ayam bukanlah pilihan yang baik. Kini mereka berdua menuju ke tempat menginap Bumi dan Kimat, setelah sebelumnya mendapatkan izin dari pemilik rumah tersebut.

Untuk menghormati sang pemilik rumah, tadi sebelum menuju ke tempat itu, Bumi terlebih dahulu mampir ke warung Ibu yang masih buka. Bumi datang dan bersalaman, diikuti dengan orang asing itu. Jika di balik penyamaran itu adalah seorang lelaki, mungkin Bumi tidak perlu izin seperti ini. Namun, secara norma sosial, membawa lawan jenis ke dalam rumah yang bukan atau tidak terikat pernikahan dianggap tidak pantas.

“Permisi Ibu, maaf mengganggu,” ucap Bumi dengan sedikit membungkukkan badannya memberi salam serta hormat kepada Ibu yang lebih tua darinya.

“Iya, Nak. Ada apa mampir ke sini? Dan ini kamu bersama dengan temanmu?” tanya Ibu itu menanggapi orang yang baru saja bersalaman dengannya.

“Betul, Bu. Ini adalah temanku, kita ingin membahas sesuatu mengenai masalah ini. Hanya saja rasanya khawatir apabila permasalahan ini harus dibicarakan di ruang terbuka, dengan begitu maksud dan tujuan kita ke sini ingin meminta izin kepada Ibu selaku pemilik rumah tersebut,” Bumi berusaha menjelaskan kepada Ibu se-detail mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan dan kesalahpahaman.

“Silahkan kalian untuk masuk ke dalam rumah itu. Tidak apa-apa, Ibu percaya bahwa Bumi adalah anak yang sangat baik. Hanya saja pundaknya sedang ditumpangi oleh masalah-masalah berat. Namanya juga manusia, kalau tidak membuat salah mah namanya Tuhan.”

Bumi tersenyum saja mendengar ucapan Ibu. Tidak ada yang salah perihal ucapan itu; bahkan Bumi menganggap semua yang diucapkan oleh Ibu adalah panggilan untuk perbaikan diri. Ibu kini memegang peran sebagai malaikat, sosok yang memberikan bantuan di titik terendah seorang Guntur Bumi.

Tidak lupa, Bumi mengucapkan terima kasih kepada Ibu yang telah memberinya izin untuk membawa seorang perempuan ke dalam rumah miliknya. “Terima kasih atas nasehatnya Bu, dan juga terima kasih atas izin yang diberikan untuk kita.”

“Kembali kasih, semoga Tuhan memberi rahmat dan tangannya untuk memberkatimu.”

Setelah mendapatkan izin, kini Bumi dan perempuan itu berjalan menuju rumah itu. Di tengah perjalanan, Bumi terbesit oleh sesuatu, “Kalau boleh tahu, siapa namamu?”

“Namaku adalah Laras, orang yang paling dekat dengan Bulan setelah Senja.”

“Senja Mentari yang kamu maksud?”

“Iya, Senja Tri Anumerta Mentari. Sepertinya kamu sudah memiliki banyak pertanyaan lain di benakmu, bukan? Tunggu saja, ketika sampai maka aku akan menceritakannya.”

Semula Bumi menatap Laras dengan energi yang positif. Namun, setelah Laras menyebut nama Senja dan Bulan, perasaan Bumi langsung berubah sepenuhnya. Namun, kini bukan amarah yang meliputinya, melainkan rasa sedih dan bersalah karena tidak memberi kabar kepada Bulan. Bahkan, selama beberapa hari itu, mungkin Bumi tidak pernah ingat bahwa Bulan yang menemaninya ketika kesepian itu ada. Lagi-lagi semua karena keegoisan Bumi.

Mereka sampai di tempat tujuan tidak lama setelah kalimat terakhir percakapan itu. Di teras rumah itu ada Kimat yang sedang menyapu. Rumah ini, walaupun dalam keadaan cukup terbengkalai, namun yang berdebu hanya bagian luarnya saja. Walaupun begitu, Kimat tetap mengambil inisiatif untuk membersihkan, sebab diberikan tempat tinggal saja sudah beruntung. Hanya orang yang tidak memiliki etika yang diperbolehkan singgah tetapi malah tidak bisa merawatnya.

Kedatangan mereka berdua mencuri perhatian Kimat. Tatapan matanya seolah mencurigai Laras. Tentu hal itu bisa saja terjadi, karena terakhir kali Bumi menemukan orang asing, hal itu merepotkan semuanya, termasuk Kimat itu sendiri. Bumi langsung mengerti makna dari tatapan itu, dan dengan percaya diri, Bumi menenangkan Kimat menggunakan aba-aba tangannya.

“Sudah, tidak perlu khawatir. Semuanya baik-baik saja. Dia adalah temanku,” Bumi mengarahkan tangannya kepada Laras. “Aku sudah mendapatkan izin dari Ibu untuk membawanya ke sini.”

Lihat selengkapnya