Kini penelusuran sudah dimulai dengan tim yang masing-masing berpencar. Ada sebagian tim yang berfokus pada tepian sungai, ada juga beberapa yang memberanikan diri menyeberangi sungai yang deras itu dan menelusuri bagian hutan di seberang sungai. Laras sengaja memilih untuk diam dengan Bumi sampai titik mereka menemukan jaket milik Bulan. Tujuannya adalah agar ketika Bulan mencari jaketnya, maka mereka akan bertemu. Begitulah harapan-harapan yang ada dalam benak mereka.
“Menurutmu apakah ada harapan bahwa kita akan menemukan Bulan?” tanya Laras, dengan tujuan untuk memecah keheningan di antara mereka berdua.
“Aku tidak tahu persis harus menjawab apa. Tetapi yang pasti, aku akan terus berusaha sampai Bulan ditemukan, dalam kondisi apapun. Itulah yang aku pikirkan tadi ketika berada di bebatuan air terjun, aku berharap banyak kepada air untuk membawaku menemukannya. Sekarang, air lagi-lagi menjadi penanda dari apa yang menjadi milik Bulan. Aku harap air menghanyutkan setiap masalah yang mungkin sedang dihadapi Bulan,” jawab Bumi dengan raut wajah yang sedikit cemas dan terlihat putus asa. Beruntung, dalam kata-katanya Bumi masih menyematkan ambisi sedikit untuk membakar semangat.
“Aku pun berharap semoga Tuhan turut hadir memberikan keajaiban ini. Sejujurnya, kejadian seperti ini agaknya di luar nalar. Aku tidak pernah menduga bahwa teman terdekatku turut menjadi korban dari tragedi berdarah ini,” ucap Laras sembari menatap ke arah jaket yang dipegangnya.
“Dan orang yang menciptakan tragedi berdarah itu adalah orang yang sangat dia cintai,” sambung Bumi dengan penuh kekecewaan.
Mau berkata seikhlas apapun orang terhadap apa yang Bumi lakukan, tidak akan mengubah takdir bahwa Bumi adalah penyebab terjadinya hal itu. Itu pun menjadi sebuah tantangan yang besar bagi Bumi untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepadanya, sekaligus mengembalikan siapapun yang menjadi korban, termasuk Bulan dan Bintang.
“Lantas bagaimana Bintang bisa terlibat dalam hal ini?” tanya Laras kepada Bumi. Kini Laras memilih untuk duduk di salah satu batu besar yang ada di tepian sungai.
“Senja yang menculikku dibantu oleh beberapa orang, di antaranya adalah dalang dari kasus ini. Aku dimanfaatkan olehnya untuk menciptakan kerusuhan, yang akhirnya aku pun ditumbalkan olehnya. Rencananya, tadi aku akan dieksekusi mati karena dianggap sebagai ancaman bagi negeri ini. Namun, beruntung kita bertiga berhasil kabur dari kejarannya. Sayangnya, saat melarikan diri, aku dan Kimat sempat berbeda pendapat. Keegoisanku membuat Kimat marah besar, dan akhirnya aku berlari menjauh dari mereka. Sayangnya, ada yang menghadangku diam-diam dan mengejutkanku dengan satu pukulan keras yang membuatku hilang keseimbangan dan jatuh. Disitulah akhirnya Bintang mengorbankan dirinya dengan menabrakan diri ke badan orang itu. Karena kita berdua berhasil berlari, orang tersebut menjadikan Bintang sebagai tawanan. Saat hendak membantu, ternyata di belakang orang itu ada beberapa orang bersenjata yang siap menumpas kita berdua. Itulah yang membuat kita melarikan diri. Setelah itu, orang-orang tersebut mengepung tempat tinggalku, itulah alasannya aku memilih untuk tinggal di rumah Ibu tadi.”
“Sungguh masalah yang kamu hadapi ini sangatlah besar. Bukan hanya mengancam nyawa orang lain, melainkan mengancam nyawa dirimu sendiri. Aku harap ini adalah terakhir kalinya kamu menembuskan dosamu dengan menyelamatkan Bulan.”
Bumi tersenyum mendengar jawaban dari Laras. Tidak ada sebuah kesalahan yang dapat dibenarkan dengan cara apapun. Itulah alasannya kenapa Bumi terus memperjuangkan diri agar dapat menemukan Bulan. Karena dia juga ingin menebus semua kesalahannya. Banyak nyawa yang melayang karena tindakannya. Tentunya, hanya dengan menyelamatkan Bulan tidak membuat kesalahannya gugur. Tetapi, hanya dengan menyelamatkan Bulan lah dia masih punya harapan.
AAAAA!!!!!!!!
Suara teriakan yang kencang terdengar dari arah hutan. Bumi dan Laras mendengar suara itu dengan jelas. Begitu juga banyak orang lain yang terpencar mendengar suara tersebut. Mereka semua berbondong-bondong mencari sumber suaranya. Sebagian yang belum tahu asal suaranya melihat orang-orang yang sudah mulai mendekat ke arah teriakan itu. Sementara Bumi dan Laras sudah sampai di tempat asal suara.
Satu detik pertama Bumi melihat orang itu. Sepuluh detik pertama Bumi terdiam, memandangi yang ada di hadapannya. Sepuluh detik kedua Bumi masih belum memberikan reaksi apa-apa. Setelah itu, Bumi pingsan dengan tubuhnya hampir tersungkur ke depan, namun beruntung teman-teman lainnya sigap menangkapnya. Sementara itu, Laras masih terus diam, tidak memberikan tanggapan apa-apa. Dia hanya terdiam, melihat apa yang ada di hadapannya.
“Ini mayat siapa? Tidak mungkin ini Bulan,” ucap salah seorang dari belakang.
Semuanya ricuh tidak karuan. Beberapa orang menangis melihat apa yang ada di depannya. Dengan kondisi Bulan yang belum bisa ditemukan dan jaket yang berada tidak jauh dari tempat itu, banyak yang berpikir bahwa itu adalah Bulan. Namun, mereka semua tidak benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi karena mayat itu sudah tidak bisa diidentifikasi melalui mata telanjang.
Tidak ada yang benar-benar tahu harus melakukan apa. Waktu berjalan sangat cepat sekali setelah peristiwa itu terjadi. Laras dan Bumi masih belum bisa memimpin penelusuran, sehingga penelusuran dihentikan sementara. Beberapa orang memanggil tim untuk mengeksekusi mayat yang diduga sebagai Bulan.
***
Satu minggu kemudian, Laras berkunjung ke kediaman Bumi. Tindakan ini sengaja dia lakukan karena masih ada pesan dari Bulan yang belum disampaikan kepada Bumi. Kimat kemarin mengatakan bahwa Bumi akan segera pergi menuju ke suatu tempat. Dengan begitu, Laras langsung segera menemui Bumi untuk memberikan pesan tersebut.
“Aku dengar besok kamu akan pergi menemui orang tua dari Bulan yang ditemukan di daerah paling timur Pulau Jawa ini?” tanya Laras.
“Benar. Aku akan menemuinya dan menceritakan semua yang terjadi,” jawab Bumi.
“Baiklah, tapi ada satu lagi pesan yang Bulan titipkan sengaja untukmu.”
“Apa ini?”
Bumi mengambil beberapa kertas yang diberikan oleh Laras. Kemudian, Bumi memandangnya. “Apakah ini surat yang diberikan Bulan kepadaku?”
Laras menganggukkan kepalanya. Laras memang belum sempat menceritakan bahwa sebelum pergi, Bulan sempat menuliskan surat untuk Bumi. Surat itu tidak sengaja tertinggal di meja Laras, dan sebenarnya Laras berniat untuk memberikan surat tersebut kepada Bumi. Namun, melihat bahwa jalanan sangat berbahaya dan menyeramkan, Laras berencana mengajak Bulan untuk menginap di rumahnya. Namun, Laras baru menyadari bahwa rumah Bulan telah terbakar dengan kobaran api yang sangat besar.
“Terima kasih karena telah memberikan ini kepadaku,” kata Bumi dengan tulus.
“Terima kasih juga atas perjalanan yang sangat berkesan ini. Karenamu, aku banyak sekali belajar. Sampai jumpa di lain kesempatan apabila Tuhan mengizinkan kita untuk bertemu. Dan aku hanya ingin menitipkan salam kepada orang tua Bulan apabila kamu berhasil menemukannya. Jangan sakiti perasaan mereka ya, kalau bisa,” tambah Laras.
Bumi memeluk Laras dengan erat. Kemudian Bumi turut mengajak Kimat juga untuk berpelukan. Sungguh, ini adalah momen yang sangat indah. Tiga orang itu berpelukan untuk mengucapkan salam perpisahan.
Laras pergi dari kediaman Bumi. Untuk diketahui lebih spesifik, Bumi masih tinggal di tempat Ibu pedagang tadi. Namun, Kimat gagal menemukan Bintang. Tidak ada informasi yang lebih detail tentang Bintang. Dengan begitu, mereka kehilangan dua orang terdekatnya. Bulan dan Bintang, yang statusnya masih sama, yaitu menghilang. Tidak tahu apakah akan ditemukan, atau akan selamanya menjadi kenangan. Yang pasti, apapun itu, Bulan akan tetap menjadi Bulan yang hadir dalam kehidupan Bumi.
Kini Bumi duduk di batu yang berada di atas air terjun. Di tangannya, tergenggam sejumlah surat yang diberikan Bulan kepadanya. Tulisan itu sengaja diciptakan karena kekhawatiran Bulan terhadap kondisi Bumi.