Seminggu kemudian.
Huft! Junita mengembuskan napas panjang ketika berdiri di depan aula utama di mana pameran fotografi teman lamanya-Mei diadakan. Kenapa ramai sekali??? A-aku nggak nyangka akan ada sebanyak orang ini yang datang hanya untuk melihat pameran fotografi seperti ini.
Huft! Junita mengembuskan napas panjangnya lagi untuk mengumpulkan niatnya yang kini mulai menguap menjadi penyesalan. Perasaan kesal Junita pada Mei, memang belum hilang bahkan setelah hampir dua puluh lima tahun lamanya berlalu. Junita masih sangat kesal pada Mei dan itulah yang jadi alasan Junita datang hari ke pameran hari ini. Tapi melihat banyak sekali orang yang datang dalam pameran Mei, Junita merasa kecil hati di antara pengunjung yang datang hari ini.
Banyaknya orang penting yang diundang, menandakan jika Mei benar-benar telah sukses dan terkenal seperti cerita Belinda-putrinya. Haruskah aku masuk ke dalam dan melaksanakan rencana yang telah aku buat beberapa hari ini? Pertanyaan itu muncul di dalam benak Junita yang masih berdiri di depan aula pameran. Semua rencana yang telah dipersiapkannya seperti melemparkan kata-kata kasar, mengungkit masa lalu dan menyalahkan Mei seperti yang dulu pernah dilakukan, kini kehilangan kekuatannya bahkan sebelum bertemu dengan Mei.
Melihat semua orang yang datang sekarang, membuatku merasa kecil. Aku yang hanya janda dengan dua anak dan hidup dari harta warisan, merasa bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Mei sekarang. Junita menundukkan kepalanya karena keberaniannya, keangkuhannya dan egonya kehilangan kekuatannya sebelum dirinya bertemu dengan Mei-teman lamanya. Junita yang tahu sekarang dirinya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Mei, mengangkat kakinya dan hendak memutar badan mengurungkan niatnya. Haruskah aku mengurungkan niatku untuk datang dan muncul di depan Mei?? Jika aku melakukannya sekarang, aku mungkin masih bisa menyelamatkan harga diriku.
Tapi ...
“Kamu, Junita kan?”
Panggilan itu menghentikan langkah kaki Junita yang hendak pergi. Junita membeku sejenak karena tidak menyangka akan ada orang yang mengenalinya di pameran Mei. Siapa yang memanggil namaku?, batin Junita.
“Benar. Kamu, Junita kan?”
Junita mengangkat kepalanya yang menunduk dan melihat siapa yang baru saja memanggil namanya. “Sia-“
“Ini aku, Julian! Apa kamu nggak ingat aku, Junita?”
Junita menatap pria yang memanggil namanya dan mengenalinya hanya dalam satu kali pandangan. Junita menatap dari atas kepala hingga ke ujung sepatunya dan menemukan pria yang mengaku sebagai Julian-teman lamanya semasa SMA, mengenakan tongkat sebagai alat bantu untuk berjalan. Junita ingat Mei membuat kaki kiri Julian terluka di masa lalu.
“Kamu benar-benar Julian??” Junita memastikan.
“Ya, ini aku, Julian.”
Julian menganggukkan kepalanya sembari menunjukkan dirinya dengan senyum tipis yang sama persis seperti yang selalu dilakukannya semasa sekolah dulu. Junita ingat dengan baik bagaimana Julian di masa sekolah dan pria di hadapannya saat ini benar-benar Julian teman sekolahnya: penuh wibawa dan pelit senyuman.
“Kamu benar-benar nggak berubah, Julian! Masih penuh wibawa seperti dulu!” Dalam hati Junita ada semacam perasaan lega karena Junita bertemu dengan Julian di pameran Mei.
“Sedikit banyak aku berubah, Junita. Ini sudah hampir dua puluh lima tahun lamanya kita nggak ketemu, tentu aku berubah: mengikuti zaman dan tentunya terlihat lebih tua!” Julian membalas dengan sedikit bercanda. “Nggak mungkin setelah dua puluh lima tahu, kita nggak akan berubah.”
“Kamu benar juga.” Junita terkekeh mendengar candaan kecil Julian.