KITA DI WAKTU ITU

mahes.varaa
Chapter #3

EMPAT ANAK, EMPAT BULAN

Juli 1997.

Kreettttt!!

“Tunggu, Pak!!!!” Mei berteriak kencang sembari berlari sekuat tenaga. Mei memaksa tubuhnya untuk berlari lebih kencang dari batas kemampuannya dan menyerahkan keselamatan nyawanya dalam larinya ini.  Hosh, hosh!! Napas Mei tersengal karena memaksa tubuhnya berlari sangat kencang di pagi hari yang merupakan sesuatu yang tidak biasa dilakukannya.

Kreeeeet! Pintu gerbang yang sedang dikejar Mei, tetap bergerak dan mulai menutup seolah tak peduli dengan usaha yang dikerahkan Mei sekarang dalam larinya. Akkkhhhh!! Mei berteriak dalam benaknya sembari terus memaksa kakinya untuk terus berlari lebih kuat lagi.

“Ayo!!!”

Dari arah belakang Mei, secara tiba-tiba seseorang menarik lengan Mei dan menariknya untuk berlari lebih kencang. Mei menatap sosok itu dan menemukan seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam yang sama dengannya. Anak laki-laki itu berlari di depan Mei, menggenggam tangan Mei dan terus menarik Mei untuk berlari lebih kencang.

Deg. Di saat seperti ini, Mei seharusnya tidak memikirkan sosok anak laki-laki yang sedang membantunya. Di saat seperti ini, Mei seharusnya hanya fokus berlari kencang ke arah pintu gerbang yang terus bergerak menutup. Tapi Mei tidak punya pilihan lain. Jantungnya dengan tiba-tiba berdetak lebih kencang dari pada saat berlari tadi. Rasa lelah dan napasnya yang tersengal tadi mendadak hilang. Momen singkat yang Mei rasakan dalam larinya saat ini, terasa begitu lambat seolah waktu sedang berjalan lebih lambat dari sebelumnya.

Apa ini yang namanya cinta semasa SMA? Pertanyaan itu tiba-tiba terbersit dalam benak Mei yang seharusnya berlari kencang dan lebih kencang lagi demi menyelamatkan dirinya saat ini. Mei menggelengkan kepalanya sembari terus berlari.

Ini bukan waktunya memikirkan hal itu!! Sekarang aku harus menyelamatkan diriku dulu dengan bisa melewati gerbang itu!!!  Mei berteriak di dalam benaknya.

Kreeeet, buk!

Gerbang ditutup dan seperti dugaan Mei, dirinya gagal masuk ke dalam sekolah barunya sebelum gerbang sekolah ditutup.

Hosh, hosh! Mei mengatur napasnya yang nyaris terputus karena larinya tadi sangat dipaksakan.

“Anak baru sekarang, benar-benar!! Bagaimana kalian bisa terlambat di hari pertama sekolah kalian!”

Pak Guru dengan seragam olahraga yang sedang berjaga di depan gerbang langsung menggelengkan kepalanya dengan wajah kecewa melihat ke arah Mei dan anak laki-laki yang berdiri di samping Mei.

“Ma-maafkan saya, Pak.”

Mei yang merasa bersalah dengan kesalahan pertamanya, hanya bisa mengatakan kata ‘maaf’ kepada Pak Guru yang sedang berdiri bak satpam di sisi lain gerbang sekolah. Mei menatap Gurunya itu dan menemukan gurunya itu berkumis mirip Pak Raden yang membuatnya terlihat garang dan galak.

“Bapak ini!! Bapak kan lihat kami berdua berlari dengan sekuat tenaga! Bapak harusnya membiarkan kami masuk setelah melihat usaha kami berdua! Bukankah Bapak dan Ibu guru selalu menekankan bahwa usaha tidak mengkhianati hasil???”

Tidak seperti Mei yang merasa bersalah dengan kesalahan di hari pertamanya sekolah, anak laki-laki di samping Mei justru melakukan protes kecil kepada Pak Guru. Mei dan Pak Guru yang berjaga tentu saja terkejut mendengar protes itu.

Ada apa dengan anak ini?? Bagaimana dia bisa protes dengan kesalahannya?, tanya Mei.

Buk! Pak Guru yang membawa tongkat di tangan kanannya, melompat tinggi dan memukulkan tongkat di tangannya ke arah pundak anak laki-laki di samping Mei.

“Kamu ini!!! Pandai sekali membuat alasan!! Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil! Tapi hal ini dan hal itu adalah dua masalah yang berbeda. Jika Bapak memberi kamu jalan untuk lewat sekarang, kamu akan datang terlambat lagi besok!!”

“He he he!! Bapak tahu rupanya!!!”

Anak laki-laki di samping Mei terkekeh seolah pukulan yang diterimanya tidak menyakitkan.  

“Bapak jadi guru bukan satu dua tahun saja!! Bertemu dengan anak sepertimu, sudah ratusan kali terjadi!! Diam dan tunggu dengan tenang seperti teman di sampingmu itu!!” Pak Guru memberi peringatan kepada anak laki-laki di samping Mei. “Lalu itu.”

“Itu apa, Pak?” tanya anak laki-laki di samping Mei.

 Pak Guru mengangkat tongkat di tangannya dan menunjuk ke arah lengan Mei yang masih berada di dalam genggaman erat tangan anak laki-laki penolongnya. “Sampai kapan kamu akan terus memegang erat tangan temanmu itu?”

Lihat selengkapnya