KITA DI WAKTU ITU

mahes.varaa
Chapter #4

KELAS 1A DAN KESIALAN PAK RENDRA

Setelah pidato dari Mei dan beberapa sambutan lain, upacara penyambutan murid baru di  SMU 12 Jakarta berakhir. Agenda berikutnya adalah melihat pembagian kelas yang telah diatur oleh bapak dan ibu guru. Kebetulan Mei menemukan namanya berada di kelas 1A di mana wali kelasnya adalah guru berpakaian olahraga tadi yang sempat memberi hukuman kecil pada Mei ketika dirinya datang terlambat: Pak Rendra.

“Jadi Pak Rendra tadi adalah wali kelasku sekarang. Kebetulan sekali, “ gumam Mei.

Ketika semua anak berebut untuk mendapatkan kursi terbaik mereka, Mei yang sedikit pemalu memilih menunggu kursi kosong yang tersisa. Alhasil, kursi yang tersisa adalah dua meja paling belakang yang berada di pojok ruangan tepat di samping jendela. Karena kelas Mei menghadap ke arah matahari terbit, dua meja paling belakang di dekat jendela itu mendapatkan banyak sekali sinar matahari pagi dan membuat murid-murid lain menghindari kursi itu.

Huft! Mei berjalan ke arah meja dua dari belakang dan memilih untuk duduk di sana. Tidak lama kemudian datang tiga anak lagi yang harusnya mengisi tiga kursi yang tersisa di mana salah satunya adalah kursi di samping Mei.

“Pagi!!!”

Itu adalah sambutan yang penuh dengan semangat api membara dari satu orang. Mei melihat ke arah tiga murid yang datang dan mengenali mereka. Mereka! Mei melihat ke arah Agus yang tersenyum menyapa semua murid di kelas barunya dan membaut canggung murid lain.

“Salam kenal, aku Agus.”

Kebetulan yang lain, pikir Mei.

Berkat sapaan dan perkenalan dari Agus, semua kecanggungan yang tadi sempat tergambar jelas di wajah semua murid langsung menghilang begitu saja.

“Ohh, kamu yang tadi!!” Agus yang mengenali Mei, langsung bergegas ke meja Mei dan menyapa Mei dengan semangat.

“Terima kasih untuk yang tadi. Kamu sudah membantuku berlari tadi.” Mei masih ingat usaha Agus yang tadi sempat membantunya untuk berlari meski pada akhirnya Mei dan Agus gagal masuk ke dalam gerbang sekolah di waktu yang tepat.

“Meski dibilang membantu, tapi kita gagal masuk ke gerbang. Nggak perlu berterima kasih denganku.” Agus menatap ke arah kursi di samping jendela di sebelah Mei. “Kursi sebelahmu, kosong?”

“Ko-kosong.”

“Kalau begitu, aku duduk di sini.”

Mendengar kata ‘di sini’ Mei mengira Agus meminta kursinya dan meminta Mei bergeser ke kursi yang kosong. Mei bergeser ke kursi di dekat jendela dan memberikan kursinya pada Agus.

“Kok pindah? Maksudku di sini, itu aku duduk di meja yang sama denganmu,” ujar Agus.

“Kukira kamu memintaku pindah.” Mei bangkit, membiarkan Agus lewat sebelum kembali ke kursinya tadi.

“Kamu kan cewek! Masak iyah, aku biarin kamu kepanasan karena sinar matahari! Aku ini pria sejati.”

Agus duduk di kursinya sementara itu di belakang Agus, satu anak laki-laki yang sangat tinggi yang tadi juga terlambat bersama Mei dan Agus, duduk tepat di belakang Agus. Mei ingat nama anak itu: Julian. Berkat Pak Rendra yang tadi sempat memberikan sambutan hangat, Mei dapat dengan jelas mengenalinya.

Lalu di samping Julian, duduk gadis cantik dengan rambut keriting gantungnya yang dibiarkan tergerai begitu saja. Tidak seperti Mei yang rambutnya dikepang dua dan mengenakan kacamata di wajahnya, gadis yang duduk di samping Julian terlihat sangat-sangat cantik bagai boneka barbie yang selalu diimpikan Mei sejak kecil.

“Dia, cantik sekali.”

Dari kejauhan, Mei dapat dengan jelas mendengar bisik-bisik murid laki-laki dan murid perempuan yang terpana sama seperti Mei. Benar, dia cantik sekali bak boneka barbie.

Untuk sejenak, Mei merasa sedikit gugup karena gadis cantik duduk tepat di belakangnya.  

Puk!

Lihat selengkapnya