Agus-teman duduk Mei adalah anak laki-laki yang ceria, banyak bicara dan justru itu yang jadi magnet baginya untuk menarik anak-anak lain. Hanya dalam waktu seminggu setelah sekolah dimulai, banyak murid cewek berusaha untuk berkenalan dan dekat dengan Agus. Tidak hanya kemampuan bicaranya yang baik, Agus juga adalah tipikal cowok yang perhatian punya simpati tinggi dan satu lagi, murah senyum. Contohnya: Agus selalu perhatian pada Mei. Setiap pagi ketika matahari mulai masuk ke jendela kelas dan membuat Mei merasa silau dan kesulitan untuk mencatat, Agus akan mengangkat tangan kirinya sembari memegang buku agar Mei bisa melihat dengan jelas.
“Te-terima kasih.”
“Kalau begitu, nanti biarkan aku pinjam catatanmu sebagai bayaran untuk ini.”
“Tentu.”
Punya kepribadian yang baik dan wajah yang lumayan cakep, Agus ternyata juga pandai bermain gitar dan membuat beberapa murid laki-laki lain merasa sedikit iri pada Agus. Tapi sekali lagi, Agus adalah cowok dengan kepribadian yang baik. Jadi ketika ada anak lain yang ingin belajar bermain gitar dengannya, Agus akan mengajari mereka. Dan di saat jam kosong tiba, Agus akan memainkan gitarnya menyatukan seluruh murid di kelas 1A untuk bernyanyi bersama. Berkat Agus, murid kelas 1A memiliki hubungan dekat satu sama lain.
Berikutnya, Julian. Tidak seperti Agus yang murah senyum, ceria dan banyak bicara, Julian adalah kebalikan dari Agus. Seperti sisi koin yang selalu berlawanan, beberapa sifat Julian sangat berbeda dengan Agus. Julian tidak banyak bicara, pelit senyuman dan terlihat dingin. Meski punya wajah yang tampan dan merupakan satu dari bintang tim basket, Julian selalu memasang wajah dingin yang membuatnya terkesan sulit untuk didekati.
Itulah yang dikatakan banyak murid lain tentang Julian.
Tapi ... itu semua salah. Julian hanya terlalu menyukai basket hingga di dalam pikirannya hanya ada basket dan basket saja. Julian akan mudah bicara jika berhubungan dengan basket. Di depan teman tim basketnya, Julian adalah sosok wakil kapten yang keren dan berwibawa.
“Mei, aku pinjam PR-mu.”
“Ini.” Mei memberikan tugas rumahnya kepada Julian untuk pelajaran berikutnya.
“Mei, nanti aku pinjam catatanmu.”
Di dekat Mei, Agus dan Junita, Julian bukanlah anak yang sering digambarkan oleh kebanyakan anak lain. Julian cukup banyak bicara dan sering kali berdebat dengan Agus hanya karena catatan dan PR milik Mei. Keduanya bahkan saling berebut untuk bisa meminjam catatan Mei lebih dulu.
“Aku yang pinjam duluan, Julian!” Agus tidak terima.
“Kamu kan sudah cukup pintar. Nilai ulanganmu selalu bagus, buat apa kamu pinjam catatan Mei, Gus??” Julian juga tidak terima. “Beda lagi sama aku! Di kepalaku ini hanya ada basket dan strategi memenangkan permainan basket. Jelas ... aku yang lebih butuh catatan Mei dari pada kamu! Kamu tidak lihat nilai ulanganku benar-benar pas-pasan??”
“Salahkan otakmu sendiri!! Kenapa hanya memikirkan basket saja hingga tidak bisa menyerap pelajaran yang dijelaskan??” balas Agus tidak ingin kalah.
“Kalian mulai lagi!!” keluh Junita.
Lalu berikutnya, Junita. Gadis cantik nan anggun bak boneka barbie ini selalu merasa kesal setiap kali Agus dan Julian berdebat catatan milik Mei. Tapi Mei bisa memahami sedikit perasaan Junita karena setiap kali Agus dan Julian berdebat-mereka berdua benar-benar berisik.
“Kan aku duluan yang pinjam catatan Mei!” Agus membela dirinya.
“Tapi kan, aku yang lebih butuh catatan itu!!” Julian tidak mau kalah.
Junita adalah anak orang kaya karena semua barang yang digunakannya adalah barang-barang bermerek. Baik cara bicara, duduk dan makan, semua adalah cara yang anggun sama seperti penampilannya. Sama seperti Agus, hanya dalam waktu seminggu Junita sudah menjadi idola para murid cowok di sekolah karena kecantikan yang dimilikinya. Banyak murid laki-laki yang berusaha mendekati Junita, dari mengirim hadiah, mengirim surat cinta diam-diam dan meletakannya di loker meja Junita. Dan beberapa di antara mereka ada yang datang menghadap Junita secara terang-terangan.
Tapi dari semua itu, Agus dan Julian selalu jadi dua orang pertama yang memakan hadiah coklat atau makanan yang diterima Junita. Karena Junita berasal dari keluarga kaya, Junita tidak bisa makan sembarangan. Bahkan saat makan siang, Junita makan bekal yang khusus dibuatkan oleh ibunya dan bekal itu benar-benar bekal yang luar biasa hebat di mata Mei, Julian dan Agus.