“Sialan kamu, Gus!!!”
Berulang kali, Junita terus mengatakan umpatan itu kepada Agus meski napasnya tersengal-sengal karena terus berlari mengelilingi lapangan.
“Maaf. Siapa yang bakal nyangka kalau Pak Rendra bakal menghukum kalian bertiga juga??” Agus berusaha untuk mendorong Junita agar bisa berlari lebih cepat dan menyelesaikan hukuman dari Pak Rendra. “Sini aku bantu supaya kamu lari lebih cepat lagi, Junita!”
Karena Agus membuat Pak Rendra kesal, Agus dihukum untuk berlari keliling lapangan sebanyak lima kali. Tapi ... masalahnya Mei, Junita dan Julian yang duduk di dekat Agus juga harus menerima hukuman yang sama dengan Agus karena dianggap ikut membicarakan Pak Rendra di belakang Pak Rendra.
“Ucapan Pak Rendra benar. Kita berempat berada di kelas yang sama adalah kesialan!!” Junita mengeluh lagi.
“Jangan begitu dong, Junita!! Kita berempat adalah empat sekawan terbaik bukan kesialan!! Hanya Pak Rendra saja yang menganggap kita sebagai kesialan!!” ujar Agus masih dengan mendorong Junita.
“Empat sekawan apanya?? Empat sekawan yang selalu buat Pak Rendra kesal??”
“Kamu benar, Junita! Pintar sekali! Ha ha ha!” Agus yang tidak kelihatan lelah sedikit pun justru tertawa kecil melihat Junita kesal setengah mati.
“Sialan kamu, Guss!!!!” Sekali lagi, Junita mengumpat pada Agus yang berusaha mendorongnya dari belakang.
“Aduh, duh!! Mulut cantik gitu jangan dibuat mengumpat!! Kan sayang sekali, Junita!! Bagaimana jika nanti para penggemarmu mendengarnya dan kamu kehilangan hadiah makanan lagi? Aku dan Julian juga akan kehilangan camilan tambahan donk!!”
“AGUSSS!!!”
Di saat Agus berusaha untuk menenangkan Junita yang kesal setengah mati, Mei dan Julian yang berlari di belakang Junita dan Agus hanya bisa tersenyum kecil melihat debat Agus dan Junita.
"Kamu nggak kesal, Mei?”
Sebagai anak dari tim basket, Julian harusnya bisa dengan cepat menyelesaikan larinya lebih cepat dari Agus, Mei dan Junita. Tapi karena setia kawan yang diajarkan dalam tim basket, Julian dengan sengaja menyamakan kecepatan larinya dengan Agus, Mei dan Junita.
“Sudah mulai biasa dengan kelakuan Agus. Marah juga percuma. Yang ada hanya akan jadi bahan lelucon Agus nantinya.” Mei tersenyum kecil melihat ke arah Agus dan Junita.
“Aku heran sama si Agus itu!! Kenapa dia suka sekali buat Pak Rendra kesal?? Padahal ketika jadi pelatih di tim basket, Pak Rendra itu guru yang baik dan perhatian.” Julian melihat ke arah Agus sebagai tanda herannya.
“Mungkin ... “ Mei melihat ke arah Agus. “Mungkin itu cara Agus bilang sama Pak Rendra kalau dia juga menyukai Pak Rendra. Siapa yang tahu kalau kelakuan Agus itu punya niat untuk cari perhatian dari Pak Rendra??”
“Kenapa kamu bisa mikir gitu, Mei??” tanya Julian heran.
“Entahlah. Hanya-“
Buk!! Tali sepatu Mei yang terlepas, terinjak oleh kakinya yang lain dan membuatnya terjatuh.
“Mei!” Julian yang kaget langsung berteriak dan menghentikan larinya ketika melihat Mei terjatuh. “Kamu nggak papa?”
Tidak seperti Julian yang kaget melihat terjatuh, Agus langsung berlari ke arah Mei begitu melihat Mei terjatuh.
“Mei!”
“A-aku nggak papa.” Mei mencoba berdiri tapi salah satu lututnya yang menghantam tanah membuatnya sulit untuk berlari seperti sebelumnya. “Akkhh!”
Dengan sigap, Agus langsung berjongkok di depan Mei dan memberi isyarat pada Mei untuk naik ke punggungnya. “Naik ke punggungku, Mei! Aku bawa kamu ke UKS!”
“I-itu ... aku nggak bisa melakukannya, Gus. Hukuman dari Pak Rendra masih kurang dua putaran lagi.” Mei berniat untuk melanjutkan larinya yang masih kurang dua putaran lagi.
“Kamu mau lari dengan kaki kayak begitu? Yang ada kakimu tambah parah nantinya!” ujar Julian.