KITA DI WAKTU ITU

mahes.varaa
Chapter #7

LIBURAN CATURWULAN SATU

“Meiiii!!!!” Agus berteriak memanggil Mei di depan rumahnya ketika menjemput Mei untuk menonton pertandingan Julian.

“Ah, Nak Agus.” Ayah Mei yang mendengar panggilan Agus, langsung menyapa Agus dan mempersilakan Agus untuk masuk ke dalam rumah. “Duduk, Nak. Sebentar lagi Mei selesai.”

“Maaf merepotkan, Om.”

“Aduh! Repot apa?? Om tidak merasa direpotkan. Om malah senang karena Mei jadi punya banyak teman sejak SMA.”

“Bisa saja Om ini.” Agus tersipu malu mendengar pujian dari Ayah Mei.

Karena Agus yang sempat merasa bertanggung jawab dengan luka di kaki Mei, Agus memberi tawaran kepada Mei untuk mengantar jemput Mei. Berkat itu, Agus sudah sering datang ke rumah Mei. Dan melihat bagaimana Agus pandai bicara, dengan cepat Ayah Mei dan Agus saling akrab satu sama lain.

“Apa lama menunggunya, Gus?” Mei keluar dari kamarnya dan langsung menuju ruang tamu di mana Agus berada.

“Nggak kok. Baru saja datang.”

Setelah berpamitan dengan Ayah dan Ibunya, Mei kemudian pergi bersama dengan Agus dengan dibonceng motor Agus. Meski sudah sering dibonceng oleh Agus, Mei tetap saja merasa sedikit canggung duduk di belakang Agus. Mei menjaga duduknya agar tidak terlalu dekat dengan Agus dan hal itu justru membuat Agus merasa Mei tidak aman karena tidak berpegangan padanya.

“Pegangan yang benar! Nanti kalau jatuh gimana? Kita sudah janji dengan Julian, mau lihat dia main kan?” Agus memberi peringatan pada Mei.

“Ya, aku mau lihat.” Mendengar ucapan Agus, Mei mencoba mengusir rasa canggungnya. Mei mendekatkan duduknya dan memegang jaket Agus sebagai pegangannya. “Permisi, Gus!”

“Bagus.”

Setelah sepuluh menit perjalanan, Mei dan Agus akhirnya tiba di  SMU 1 Jakarta yang jadi lawan dari tim basket sekolahnya. Mei turun dari motor Agus dan langsung disapa oleh Junita.

“Kalian lama!” Junita mengeluh seperti kebiasaannya.

“Maaf, Junita.” Mei merasa bersalah. “Aku tadi mencari kameraku karena tanpa sepengetahuanku, Ibuku memindahkannya saat bersih-bersih.”

“Kamera? Buat apa kamu bawa kamera?” tanya Junita.

Agus yang baru selesai memarkir motornya langsung berdiri tepat di belakang Mei dan membalas pertanyaan Junita. “Tentu saja buat ambil foto Julian yang nanti main. Di masa depan, nantinya Mei ingin jadi fotografer.”

“Ohhh. Aku baru tahu.” Junita menganggukkan kepalanya. “Tapi bukankah fotografer adalah pekerjaan laki-laki dan bukan perempuan??”

“Itu memang-“ Mei sedikit gagap menjawab pertanyaan Junita karena memang kenyataannya fotografer adalah pekerjaan yang mayoritas dilakukan oleh laki-laki.

“Bukankah bagus kalau begitu? Mei bisa jadi perempuan pertama yang jadi fotografer terkenal nantinya.” Agus membela Mei sembari merangkul bahu Mei. “Jangan lupa, Mei!! Kelak kamu juga harus mengambil fotoku lohh!!”

“A-aku masih ingat janji itu, Gus.” Mei bicara dengan nada sedikit gugup.

“Kenapa kamu ingin Mei mengambil fotomu, Gus?” Junita penasaran.

“Loh nanti aku bakalan jadi musisi terkenal-gitaris kayak band Dewa 19. Keren kan?? Maka dari itu jauh-jauh sebelum Mei terkenal, aku sudah buat janji dengan Mei. Jaga-jaga kalau Mei terkenal dan nantinya butuh biaya mahal untuk jepretan kameranya.”

“Ehhh kalian berdua ternyata sudah punya impian masing-masing. Bagaimana dengan Julian? Apa dia juga ingin jadi pemain basket terkenal??” tanya Junita.

“Ya. Karena itu Mei sekarang membawa kameranya,” balas Agus.

“SMU 12!!! Semangat!”

Lihat selengkapnya