“Berkat Mei yang merasa khawatir denganmu, Agus dan aku akhirnya tahu jika keluargamu berada di ambang kebangkrutan karena krisis moneter waktu itu. Berkat Mei juga, Agus yang selama ini selalu merahasiakan masalah keluarganya akhirnya berani angkat bicara untuk membantumu dan menguatkanmu.”
Junita masih menundukkan kepalanya mengingat semua hal buruk yang terjadi saat itu. Kamu benar, Julian! Mei seperti penolong untukku dan untuk Agus. Waktu itu ... aku merasa malu dengan masalah yang aku hadapi. Aku ingin merahasiakannya karena aku takut orang-orang akan menjauh dariku begitu mereka mengetahui masalahku. Tapi Mei, Agus dan Julian tidak melakukan itu ketika mereka tahu apa yang sedang aku hadapi. Mereka bertiga justru membantuku.
Aku ingat itu. Aku ingat itu dengan baik.
Tapi hatiku masih merasa kematian Agus adalah kesalahan Mei. Jika saja waktu itu Mei mendengar permintaanku,, mungkin saja Agus sekarang akan duduk di sini dan cerita kita berempat akan memiliki akhir yang berbeda.
Itu mungkin saja.
Tahun 1998.
“Ini rumah Junita?” Mei bertanya ketika motor Agus dan motor Julian berhenti di depan rumah besar di area perumahan elite. Mei tidak percaya melihat rumah Junita yang sudah mirip dengan istana presiden saja.
“Ya, ini rumah Junita. Besar kan??” balas Agus.
Mei menganggukkan kepalanya tidak percaya. “I-ni be-sar sekali.”
Di saat Mei mengagumi rumah besar di mana Junita tinggal, dari arah dalam rumah Junita, Mei melihat Junita berlari sembari memegang pipinya dan matanya yang meneteskan air mata. Mei melihat Junita berlari ke arah gerbang, tapi langkah Junita terhenti ketika menemukan Mei bersama dengan Agus dan Julian yang sedang berdiri di depan gerbang rumahnya.
Junita langsung berbalik, menyembunyikan wajahnya. “Mau apa kalian kemari?? Mau menertawakanku?”
“Bu-bukan begitu, Junita. Kami kemari karena merasa khawatir denganmu,” balas Mei.
“Khawatir?? Kenapa kalian khawatir denganku??” Junita masih enggan melihat ke arah Mei, Agus dan Julian.
“Kita kan empat sekawan tidak terpisahkan??” Kali ini Agus yang bicara. “Jadi jika salah satu dari kita ada masalah, tiga orang lainnya pasti akan merasa khawatir seperti sekarang.”
“Kalian tidak sedang ingin mengejekku kan? Atau mungkin menertawakanku kan??” Junita masih enggan berbalik. “Selama ini ... teman yang aku miliki selalu begitu. Mereka akan baik jika keadaan keluargaku sedang baik. Tapi mereka akan berubah ketika tahu keadaan keluargaku sedang memburuk.”
“Kita tidak akan begitu, Junita!” Agus berusaha meyakinkan Junita.
“Ya, kita tidak akan pernah begitu!” Julian angkat bicara.
Melihat Junita yang sama sekali tidak percaya pada ucapannya, ucapannya Agus dan ucapannya Julian, Mei mencari cara agar Junita mau percaya kepada dirinya. Dan satu-satunya yang terpikir oleh Mei adalah kalimat ini.
“Kamu benar-benar jahat yah, Junita!!”
Sontak ucapan Mei itu membuat Agus dan Julian kaget bukan main. Mei bicara tidak seperti biasanya seolah Mei adalah orang berbeda yang selama ini dikenal Agus dan Julian.
“Ka-kamu bicara apa, Mei?” tanya Julian.
“Kenapa malah bicara begitu, Mei?” tanya Agus.
“Sudah kuduga kamu akan bicara seperti itu! Kalian sama seperti teman-temanku sebelumnya! Jadi temanku hanya karena aku cantik, anak orang kaya dan mengenakan barang-barang mahal!!” Dengan mata yang basah oleh air mata, Junita menatap sinis kepada Mei.
“Mei!! Kenapa kamu-“ desak Agus.