Ucapan dari Agus mengenai kebangkrutan keluarganya, rupanya membuka rasa penasaran dari Mei, Junita dan Julian. Selesai makan soto dan menunggu perut memproses makanan, Mei bersama dengan Junita dan Julian menatap Agus secara bersamaan dengan tatapan penasaran. Dan tentunya Agus menyadari tatapan dari tiga temannya yang mengarah padanya di saat bersamaan.
“Kenapa kalian melihatku begitu?” tanya Agus.
Mei, Junita dan Julian sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada Agus. Tapi ketiganya tidak ada yang berani bertanya kepada Agus dan hanya memilih untuk menatap Agus.
Agus tahu arti tatapan yang mengarah dari Mei, Junita dan Julian. Tadinya ... Agus ingin mengabaikan tatapan rasa ingin tahu itu. Tapi ternyata baik Mei, Junita dan Julian tidak ada yang mau berhenti menatap ke arahnya. Huft! Agus menghela napas panjang karena merasa risi dengan tatapan ketiga temannya yang kini mengarah padanya. “Kalian penasaran??”
Mei, Junita dan Julian menganggukkan kepalanya bersamaan.
Agus memijat keningnya karena menyesali tindakannya tadi. “Harusnya aku tadi tidak bilang seperti itu tadi!”
“Karena kamu sudah bilang, kenapa tidak cerita sekarang? Bukankah selama ini kamu merahasiakannya dari kami?” desak Junita.
Agus menatap ke arah Mei, Junita dan Julian secara bergantian. “Aku hanya tidak ingin merepotkan saja. Manusia yang hidup itu selalu punya masalah. Entah itu masalah kecil atau besar, manusia pasti akan mengalaminya sepanjang hidupnya. Jadi ... aku merasa, aku tidak perlu mengatakannya pada kalian karena aku tahu bukan hanya aku saja yang punya masalah di dunia ini. Kalian juga pasti punya masalah sendiri-sendiri.”
“Bagaimana kalau kita menceritakan masalah kita masing-masing supaya adil??” Tiba-tiba di kepala Mei terbersit sebuah ide. “Cukup ceritakan satu masalah terbesar kalian saja! Tidak perlu banyak-banyak. Kalau begitu adil kan?? Bagaimana?”
“Aku setuju.” Junita yang pertama kali menyetujui ide Mei.
“Aku juga setuju.” Julian menganggukkan kepalanya setuju.
Agus menatap kembali ke arah Mei, Junita dan Julian dengan cepat. Tapi pandangan Agus berhenti pada Mei. Agus mengangkat tangannya dan meletakannya di atas kepala Mei yang duduk di hadapannya. “Kamu ini!! Biasanya kamu selalu gugup saat bicara, kenapa hari ini kamu pintar sekali bicara, Mei??”
Mei melihat ke arah Agus sembari sedikit melirik tangan Agus yang ada di atas kepalanya. “A-apa kamu tidak suka dengan ide itu, Gus? Kalau kamu tidak suka, kita tidak perlu lanjutkan. Aku hanya merasa menceritakan masalah adalah bukti seseorang percaya kepada lawan bicaranya. Kalau kamu merasa belum bisa percaya pada kami, kamu bisa menolak untuk cerita, Gus.”
Dengan tangannya, Agus mengacak-acak rambut Mei. “Lihat!! Kamu sekarang benar-benar pintar bicara, Mei!! Apa ini karena kamu duduk di sampingku dan belajar berdebat dariku yang selalu berdebat dengan Pak Rendra??”
Mei meringis. “Sedikit.”