“Sialan kamu, Gus!!” Kali ini giliran Julian yang mengumpat karena air matanya jatuh dan membuat Julian merasa harga dirinya sebagai pria turun.
“Kamu benar-benar menangis, Julian?” Agus bertanya dengan tawa kecilnya. “Walah, walah!!! Kalau Pak Rendra tahu aku buat kamu nangis, Pak Rendra pasti akan buatku lari lapangan sepuluh putaran.”
Julian menarik kerah baju Agus dan menatap tajam ke arah Agus. “Jangan sampai Pak Rendra tahu soal ini!! Kalau sampai ada anak tim basket yang tahu aku nangis gara-gara kamu, aku pastikan aku akan buatmu lebih menyesal daripada dihukum Pak Rendra!”
“He he he.” Agus terkekeh melihat betapa menyeramkannya Julian saat ini. “Aku mengerti, Julian. Aku akan tutup mulutku rapat-rapat.”
Julian langsung melepaskan kerah baju seragam Agus setelah mendengar jawaban Agus. Julian menghapus air mata di wajahnya dan duduk dengan tenang seolah tidak ada yang terjadi.
“Tapi, Julian??” tanya Agus.
“Kenapa lagi??” balas Julian.
“Kenapa kamu hanya beri peringatan padaku? Bagaimana dengan Mei dan Junita? Kamu nggak beri peringatan juga??”
Julian melirik tajam ke arah Agus. “Di sini yang mulutnya seperti ember bocor, hanya kamu saja, Gus! Mei nggak banyak bicara ketika nggak diperlukan dan Junita bukan cewek yang suka bergosip. Sementara kamu ... “
Julian tidak perlu melanjutkan ucapannya karena Mei dan Junita sudah paham maksud dari Julian. Sementara Agus hanya merengut kesal mendengar ucapan Julian tentang dirinya.
Broom, broom! Setelah keadaan tenang sejenak hingga hanya terdengar suara kendaraan yang lewat, cerita berikutnya berlanjut. Kali ini giliran Julian.
“Tidak seperti kalian yang punya masalah besar, sepertinya masalahku hanyalah masalah kecil.”
Julian mengawali ceritanya dengan kalimat itu karena menurutnya masalah yang sedang dihadapinya saat ini adalah masalah persetujuan dari kedua orang tuanya. Julian adalah pemain basket yang handal. Pak Rendra sering kali memuji permainan dari Julian. Lalu Agus dan Mei, semenjak keduanya sering melihat latihan tim basket, Agus dan Mei tahu alasan Pak Rendra sering sekali memuji Julian terutama di depan Agus: Julian memang berbakat dan bakat itu didukung dengan kondisi fisiknya.
Tapi nyatanya Ayah Julian tidak terlalu setuju dengan pilihan Julian yang lebih banyak fokus untuk bermain basket. Ayah Julian menekankan belajar jauh lebih penting dari pada menjadi atlet basket. Di mata Ayah Julian, menjadi atlet itu memiliki masa yang cukup singkat dan tidak bisa dijadikan pekerjaan tetap nantinya terutama sebagai seorang pria yang kelak harus menajdi kepala keluarga dan memberi nafkah kepada keluarganya.
“Begitulah masalahku.” Julian mengakhiri ceritanya. “Karena itu ... aku selalu minta bantuan Mei untuk belajar dan selalu meminjam catatannya. Kalau saja nilaiku terus memburuk, Ayahku mungkin akan membuatku berhenti main basket lagi bahkan nggak akan pernah mengizinkanku untuk menyentuh bola basket lagi.”
Agus melirik tajam ke arah Julian. “Kamu pasti sangat senang sekali saat tahu Mei adalah anak dengan nilau tes terbaik dan berada di kelas yang sama dengan Mei, kan??”
“Ya rasanya aku seperti bertemu dewi keberuntungan saat tahu aku satu kelas dengan Mei-anak dengan nilai tes terbaik. Aku lebih senang lagi saat tahu Mei bukan orang yang pelit seperti kebanyakan anak pintar lain yang pernah aku temui.” Julian menjawab dengan jujur.
Agus menganggukkan kepalanya setuju. “Aku juga setuju soal itu. Kadang-kadang anak paling pintar di kelas itu pelit. Mereka nggak mau minjemin catatan mereka dan ngajarin kita kalau kita nggak ngerti. Tapi Mei beda. Mei baik hati sekali!”
Mei tersipu malu mendengar pujian dari Agus dan Julian. “Ka-kalian sedikit berlebihan.”
“Lihat!! Mei bicara gugup lagi!!” Junita bicara dengan nada sedikit ketusnya. “Kalian membuat Mei merasa malu, tahu!!”
“Ha ha ha!” Agus tertawa kecil sembari meletakkan tangannya di atas kepala Mei lagi. “Jangan malu, Mei! Itu pujian dari hati kami yang terdalam.”