“Agus ketemu dengan Mei pertama kali di tahun kedua saat SMP. Saat itu, Agus sering kali berkeliaran di luar rumah karena nggak ingin bertemu dengan ibu tirinya. Saat itu, Agus nggak sengaja bertemu dengan Mei yang bermain dengan kameranya. Agus yang terpesona dengan Mei, keluar jalur dan jatuh masuk ke dalam selokan.” Julian menceritakan rahasia Agus yang dijaganya selama ini. “Mei adalah orang yang menolong Agus saat itu. Saking kagetnya dengan Agus yang jatuh ke dalam selokan, Mei lupa jika tangannya memegang kamera dan membuat kameranya tidak sengaja masuk ke dalam selokan.”
“Dari mana kamu tahu cerita itu, Julian?” tanya Junita tidak percaya.
“Dari Agus sendiri. Dia pernah cerita padaku.”
Masih dengan memandang foto dengan judul ‘Kita di waktu itu’, Junita menatap wajah Mei yang tersenyum bahagia. “Jadi hanya karena mereka ketemu lebih dulu, aku nggak bisa berusaha untuk merebut hati Agus?”
“Kamu bisa melakukannya jika Mei tidak suka dengan Agus. Tapi ... kamu tahu Agus suka dengan Mei dan juga sebaliknya, dan itulah yang membuat caramu salah. Junita!. Kamu tahu itu, tapi kamu tetap saja ingin merebut orang yang temanmu sukai, Junita!”
Kaget, tentu saja. Junita benar-benar tidak menduga Agus sudah lama menyukai Mei. Dari Julian, Junita akhirnya tahu kenapa Agus selalu bersikap baik pada Mei dan bersikap seolah melindunginya. Semua karena Mei pernah melakukan hal yang sama pada Agus di masa lalu dan Mei melupakan hal itu.
“Tanpa Mei dan Agus bilang, kita dapat dengan jelas melihat bahwa mereka berdua saling menyukai! Dan alasan itu juga yang membuat Agus terus berniat di sisi Mei dan berniat melakukan apapun untuk membantu Mei mewujudkan mimpinya sebagai fotografer.” Julian terus bicara pada Junita.
Mendengar Julian yang terus bicara seolah membela Mei, mata Junita seolah terbakar api yang menyala. Junita tadinya tidak ingin melihat ke arah Julian dengan tatapan penuh amarahnya karena setelah sekian lama, Junita akhirnya bertemu dengan Julian. Tapi ucapan Julian itu benar-benar membuat Junita marah. Junita kesal dan cemburu pada Mei karena baik Julian dan Agus selalu membela Mei.
Mei, Mei dan Mei!! Kenapa selalu Mei?? Jika bukan karena Mei, kakimu nggak akan terluka, Julian! Kamu nggak akan kehilangan mimpimu sebagai pemain basket dan Agus nggak akan mati hari itu!! Kenapa setelah apa yang terjadi, kamu terus membelanya, Julian??, batin Junita kesal setengah mati.
“Kamu masih saja menyebalkan seperti dulu, Julian!!”
“Terima kasih masih mengingatku dengan baik.” Julian sama sekali tidak terlihat kesal mendengar ucapan Junita.
“Kamu benar-benar menyebalkan!! Sangat-sangat menyebalkan! Kamu bahkan sekarang mirip dengan Agus yang selalu membela Mei!!” Junita sekali lagi bicara dengan nada marahnya.
“Mumpung kita berkumpul di sini, sekarang aku akan bicara sedikit lancang padamu, Junita.”
Dengan tiba-tiba, Julian mengubah nada bicaranya. Tadi Julian bicara dengan santai, sedikit bercanda dan tertawa beberapa kali. Tapi kali ini, Julian tiba-tiba mengubah nada bicaranya menjadi serius.
“Kamu akan tetap bicara meski aku tidak memberi izin kan??” Junita bicara dengan mengalihkan pandangannya dari arah Julian, kembali ke foto pameran Mei.
“Ya.”
“Apa yang mau kamu bilang?” tanya Junita.
“Kamu bilang kamu suka dengan Agus, tapi setelah lulus SMA kamu menikah dengan pria lain dan hidup berkecukupan selama beberapa waktu. Sementara Mei memilih untuk tidak menikah sepanjang hidupnya karena perasaannya dan rasa bersalahnya pada Agus. Bukankah itu artinya cinta Mei pada Agus jauh lebih besar dari pada cintamu pada Agus?? Apa kamu tidak bisa melihatnya, Junita??”
“Julian, kamu!!!!”
Junita sangat marah saat ini. Junita marah karena apa yang Julian katakan mungkin adalah benar adanya: cinta Junita pada Agus tidak sebesar cinta Mei pada Agus.
*
Mei 1998.
“Agus!!!” Pak Rendra berteriak memanggil Agus. “Gurumu ada di depan!! Kenapa kamu terus lihat ke belakang???”
Mendengar panggilan dari Pak Rendra, Agus yang tadinya menoleh ke belakang melihat Mei, langsung memutar lehernya untuk melihat ke depan.
“Apa yang kamu lihat di belakang, Gus??” Pak Rendra bertanya lagi.
“Dewi keberuntungan, Pak!!”
Jawaban Agus itu sontak membuat seluruh murid kelas 1A tertawa dengan kencang. Tok, tok! Pak Rendra sampai harus beberapa kali memukul papan untuk membuat keadaan kelas tenang kembali.