“Kamu tentu ingat foto ini diambil saat ulang tahun Mei, Junita??” Julian sekali lagi membuyarkan lamunan Junita yang sedang mengingat masa SMA-nya yang bahagia sebelum tragedi itu terjadi.
Bagaimana aku bisa lupa akan waktu dan kenangan saat itu? Junita mengingat dengan baik kenangan saat itu. Hari ulang tahun Mei di tahun 1998 itu adalah hari yang membahagiakan untuk Junita. Meski ulang tahun sangat sederhana jika dibandingkan dengan ulang tahun-ulang tahun yang pernah Junita rayakan, tapi ulang tahun Mei di tahun 1998 itu benar-benar berkesan untuk Junita. Nasi kuning, kado-kado sederhana, kebersamaan dan foto bersama itu adalah satu dari momen persahabatannya yang tidak bisa Junita lupakan. Di dalam ingatanku, saat itu adalah satu dari banyak saat di mana aku merasa bahagia bertemu dengan kalian.
Julian menatap wajah Mei dengan rambut kepang dua dengan topi dari kadonya di atas kepalanya. “Tadinya … foto ini akan jadi kado ulang tahunmu di bulan Juni, Junita. Mei pernah bilang padaku soal itu.”
“Kado untukku?” Junita kaget mendengar ucapan Julian.
“Ya. Kamu pasti nggak nyangka kan, Junita??”
Ucapan Julian itu benar-benar seperti pukulan tak terduga untuk Junita setelah berulang kali Julian memukulnya dengan banyak ucapan darinya hari ini. Junita menatap foto dirinya bersama dengan Mei, Agus dan Julian yang sedang dipajang. Aku benar-benar nggak nyangka foto ini adalah kado yang Mei siapkan untukku tahun itu! Mei pasti sudah menyimpan foto ini untuk waktu yang lama sekali!
Huft! Junita mengembuskan napasnya lagi dan merasa dirinya jahat untuk kesekian kalinya. Tapi pikiran Junita langsung menepis pikiran itu dan kembali menyalahkan Mei untuk kematian Agus. Tidak! Aku bukan teman yang jahat!! Apa yang aku lakukan pada Mei adalah hal yang benar! Mei pantas mendapatkannya karena dialah alasan Agus meninggal di tahun 1998!
“Apa tujuan sebenarnya kamu mengatakan hal itu padaku, Julian??” Junita menatap curiga pada Julian. “Apa kamu ingin membela Mei setelah apa yang terjadi padamu dan pada Agus?? Jangan harap, Julian!! Sampai kapanpun, aku tidak akan berbaikan dengan Mei, Julian!!”
Junita membuang mukanya dan melihat ke arah foto lamanya yang dipajang di pameran Mei. Mata Junita menatap wajah Mei yang bahagia dalam foto itu. Rasa kesal, benci dan marah kembali menguasai Junita lagi. Kenapa selalu kamu, Mei? Kenapa selalu kamu?? Aku tidak kalah cantik darimu, aku juga tidak kalah banyak hal darimu, tapi kenapa aku selalu merasa kalah darimu? Agus dan sekarang Julian! Mereka juga temanku, tapi kenapa mereka terus bersikap lebih padamu??
“Kalau saja saat itu Mei tidak melakukan tindakan gila itu, pasti sekarang Agus masih hidup dan duduk bersama dengan kita sekarang!!” Junita sekali lagi menyalahkan Mei. “Kalau saja Mei tidak berambisi untuk mengumpulkan foto kerusuhan saat itu sebagai caranya untuk mendapatkan beasiswa, pasti sekarang Agus masih hidup dan berkumpul bersama dengan kita!! Persahabatan kita sekarang pasti masih sama dengan foto itu, andai Mei tidak melakukan hal gila itu!!!”
Julian menatap ke arah Junita dengan kedua matanya yang menatap sedih Junita. “Kamu masih saja tidak berubah, Junita! Bahkan setelah hampir dua puluh lima tahun lamanya, kamu masih tidak berubah!”
“Aku berubah atau tidak, itu tidak akan mengubah kenyataan Agus mati karena Mei!! Kematian Agus, Mei-lah penyebabnya!!” Junita menaikkan nada bicaranya dan membuat pengunjung lain untuk sejenak terkejut dengan suara Junita.
Setelah meminta maaf kepada pengunjung lain karena membuat keributan kecil, Junita kembali duduk di samping Julian.
“Kamu salah, Junita! Apa yang kamu pikirkan selama ini, semua itu adalah salah, Junita!!” Julian bicara dengan menundukkan kepalanya.
“Mana dari ucapanku yang salah, Julian?? Memang benar Agus mati karena Mei!!” Junita tidak mau menatap ke arah Julian dan hanya menundukkan kepalanya berusaha menahan amarahnya yang memuncak saat ini.
“Ide itu bukan ide Mei, Junita! Ide gila menerobos kerusuhan untuk mendapatkan foto itu adalah ide Agus!!”
Mendengar sesuatu yang selama ini tidak pernah diduganya, Junita menatap Julian lagi dengan kedua mata yang membulat besar seolah bersiap keluar dari tempatnya. Bibir Junita tiba-tiba bergetar karena tidak mengira ide gila yang membuat Agus kehilangan nyawanya adalah ide Agus sendiri.
“A-apa mak-sudnya itu, Julian?? Agus tidak mungkin membahayakan Mei!!”