Kerusuhan yang terjadi hari ini jauh lebih buruk dari pada kerusuhan yang terjadi kemarin. Baik Mei, Agus dan Julian mengatakan hal yang sama di dalam benak mereka: Jakarta sudah mirip dengan neraka. Di sisi lain Junita hanya bisa gemetar dan tangannya menggenggam erat baju Agus yang membonceng dirinya karena tidak sanggup melihat kerusuhan yang sedang terjadi.
“Gus, ini benar-benar menakutkan!! Ayo pulang dan berlindung di rumah!!”
“Tenang saja, Junita! Selama kita mengenakan pakaian seragam sekolah, kelompok perusuh tidak akan menyerang dan melukai kita. Seragam sekolah ini melindungi kita karena ini adalah bukti bahwa kita masih di bawah umur.”
Dan setiap kali Junita gemetar ketakutan dan merengek untuk pulang, balasan itulah yang Agus katakan untuk menenangkan Junita.
“Ada apa di sana??”
Julian yang membonceng Mei di belakangnya, menunjuk ke arah Yogya Plaza karena melihat sesuatu yang tidak biasa terjadi di depan Yogya Plaza.
Agus yang berkendara di belakang Julian, melihat ke arah yang ditunjuk oleh Julian bersamaan dengan Mei dan Junita. Agus menyipitkan kedua matanya untuk membuat kedua matanya melihat lebih fokus. Akan tetapi jaraknya yang masih terlalu jauh, membuat Agus masih tidak bisa melihat dengan jelas meski telah menyipitkan kedua matanya.
“Kita ke sana, Julian!”
Agus menyalip motor Julian dan mengarahkan setir motornya menuju ke arah Yogya Plaza. Julian tidak punya pilihan lain selain mengikuti Agus. Sementara Junita yang di belakang Agus tidak henti-hentinya merengek pada Agus untuk kembali dan tidak melaju ke arah plaza.
“Jangan ke sana, Gus!! Itu bahaya!! Tempat seperti itu sangat berbahaya di saat seperti ini!!”
Di sisi lain Mei yang sebenarnya juga merasa takut sama seperti Junita, berusaha menguatkan dirinya karena tidak ingin menjadi beban untuk Julian dan Agus. Hanya saja ... kali ini Mei setuju dengan Junita-tempat itu adalah tempat yang berbahaya. Mei menepuk bahu Julian dan meminta Julian untuk menyejajarkan motornya dengan motor Agus.
“Tolong, dekatkan motormu dengan motor Agus, Julian!”
“Mau apa, Mei?” tanya Julian.
“Bicara sama Agus!!”
Dan setelah motor Julian dekat dan nyaris sejajar dengan motor Agus, Mei berteriak pada Agus. “Gus! Junita benar! Tempat itu mungkin berbahaya!! Lebih baik jangan ke sana!!”
Agus menghentikan motornya sejenak untuk bicara pada Mei. “Tenang saja, ada aku dan Julian yang akan melindungimu dan Junita, Mei! Kamu nggak perlu takut!”
Mei tidak habis pikir dengan sifat keras kepala Agus saat ini. “Tapi, Gus!! Itu benar-benar bahaya!! Dua hari kemarin kita hanya melihat dari jauh dan tidak mendekat ke arah kelompok perusuh!! Sekarang kita membawa Junita dan dia gemetar karena takut!! Kita tidak bisa membuat Junita menerjang bahaya dengan keadaannya yang seperti itu.”
“Tapi ini kesempatan emasmu, Mei!! Dari kemarin kita hanya melihat dari jauh dan sekarang ... kita punya kesempatan untuk melihat dari dekat!!”
“AGUS!!!” Mei menaikkan nada bicaranya karena tidak percaya Agus begitu nekat dengan rencananya. “Aku paham kamu ingin menolongku mewujudkan impianku sebagai fotografer, tapi ... aku tidak bisa membahayakan teman-temanku dalam prosesnya, Gus!! Kalau kamu masih nekat, mending kita pulang saja sekarang!! Aku nggak tega lihat Junita ketakutan!!”