Pertengahan Mei, tak banyak orang yang mampu menghapal pergantian musim, Bandung Timur beberapa hari sering mendung, sering gerimis, suhu udara yang lebih rendah dari biasanya, tapi hujan tidak turun dengan lebat secara kontinyutas, mungkin pancaroba.
Tapi musim apapun yang sedang terjadi, sekelompok mahasiswa ini tidak terlalu perduli, hanya beberapa hari tersisa dari semester 6, mereka sengaja menenggelamkan diri terhadap banyak hal, lebih rajin mengerjakan rutinitasnya dibanding bulan-bulan sebelumnya. Lebih rajin kuliah, rajin berorganisasi dan rajin melakukan kegiatan-kegiatan non akademik seperti hunting foto. Seperti halnya saat ini ketika mereka tengah sibuk menjadi panitia pameran fotografi tahunan dari sebuah UKM bernama Lensa yang fokus untuk mewadahi para mahasiswa yang memliki ketertarikan di bidang fotografi.
Ruang kesekretariatan itu berukuran 5x6 meter persegi. Hanya terdapat satu meja berukuran persegi panjang di tengah-tengah dan dikelilingi dengan kursi-kursi lipat yang nyaris berkarat, beberapa lemari kaca transparan merapat di dinding berisi berbagai macam aksesoris kamera, beberapa lembar dokumen dan bagian yang lain khusus stasioneri.
Desain interior yang telah dikonsep sedemikian rupa yang bisa dilihat jelas di ke-empat sisi dindingnya. Satu sisi dinding dikonsep menyerupai sisi Hall of Fame, terdapat poster-poster tokoh terkenal berpengaruh diantara ialah foto seorang fotografer ketika perang dunia II Robert Capa, sastrawan Amerika Emily Dickinson, seorang jurnalis pemberani Nellie Bly, Nikola Tesla, pejuang penghapusan politik Apartheid, Nelson Mandela, juga seorang filsuf terkenal asal Perancis Rene Descartes dengan kutipan terkenalnya “Cogito Ergo Sum”. Tentu, masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.
Sisi tembok kedua berisi kutipan-kutipan bijak para tokoh, potongan-potongan sastra, semboyan, visi dan misi juga tulisan-tulisan random dari para anggotanya. Semua tulisan-tulisan itu dicetak di lemabaran-lemabaran kertas lalu ditutupi dengan isolasi bening agar lebih awet. Sisi ketiga berfungsi layaknya majalah dinding, berisi pengumuman, daftar program kerja, kerja-kerja deadline, rangkuman hasil rapat, jadwal hunting miungguan dan sebagainya.
Seangkan sisi terakhir, tak kalah penting dan istimewanya bagi mereka karena tembok itu digunakan untuk mendisplai foto-foto terbaik hasil hunting anggota Lensa dengan berbagai macam jenis objek, konsep juga ukuran. Tak heran, tiga orang dari semua anggotanya sangat nyaman berada di ruangan tersebut meskipun tak ada agenda rapat.
Setelah memastikan bahwa semuanya sudah tertata rapi, Reya yang tersenyum-senyum sendiri merasa bangga, tak salah jika anggota yang lain memilihnya untuk menjadi kurator yang bertugas mencari dan menyeleksi karya-karya dari para fotografer handal seantero kampus, oh bukan, lebih tepatnya se-Bandung Raya mengingat acaranya kali ini terbuka untuk umum.
Koordinator seksi acara, kreasi dan dokumentasi, sederhananya ialah bagian kepanitiaan yang bertugas mengumpulkan dan menyeleksi karya-karya foto yang akan ditampilkan dalam pameran atau lebih sederhananya lagi ialah kurator. Mahasiswa ilmu komunikasi penggila kemeja flannel dan sneakers Convers. Walaupun tipikal cewek nyablak dan bar-bar, tapi urusan sense-nya terhadap fotografi tak bisa diremehkan. Reya yang paling rajin hunting, juga paling rajin pergi ke pameran foto atau pun ikut seminar fotografi telah ia buktikan dengan menyulap kamar kost-nya menjadi galeri foto. Hal itu yang membuat anggota Lensa yang lain sepakat untuk memilih Reya mengemban tugas tersebut.
“Nggak nyangka, nih, gue keren-keren gini foto-fotonya,” ucap Reya tanpa mengalihkan pandangan dari jejeran foto yang tersimpan dalam sebuah lemari kaca besar di hadapannya. “Makin optimis kalau acara kita bakalan sukses besar”
“Yakin udah berhasil menyeleksi semua mahasiswa yang jago fotografi?” Tanya Ines, yang dalam acara ini bertugas sebagai sekretaris, salah satu partner Reya dalam membentuk grup trio tak terpisahkan sejak sama-sama menjadi mahasiswa baru di jurusan Ilmu Komunikasi sekaligus si asisten dosen yang IP-nya tidak pernah kurang dari angka 3.90, sekaligus sumber contekan utama dan paling akurat bagi Reya di injury time pengumpulan tugas. Tugas sebagai sekretaris diberikan pada Ines tentu karena semata-mata alasan praktis.
“Ternyata anggota gue cukup bisa diandalkan dalam mencari kader-kader fotografer berbakat,” Reya melipat kedua lengannya dengan bangga. “Bahkan yang anak-anak maba (mahasisa baru) juga bagus kerjanya.”
“Yang nembusi surat undangan kontribusi kepada beberapa fotografer luar kampus udah belom?” Ines masih fokus mengetik di depan laptop.
“Beres, so far so good.”
Pintu ruang kesekretariatan terbuka, muncullah sesosok tipe mahasiswa tukang tebar pesona dengan membawa kantong kresek transparan. “Hai ladies... i’m coming.”
Bima ialah member ketiga, sekaligus ketua pelaksana dalam acara pameran yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Kedekatan dan kekompakan trio tersebut makin terjalin saat ketiganya secara tak sengaja mendaftar menjadi anggota Lensa sejak semester pertama.
Wajah setengah Fakboi tersebut datang dengan membawa kresek transaparan dan meletakkannya di meja “Bima yang ganteng nan baik hati membawakan dua orang jomblo jelata gorengan Mbak Is dalam keadaan hangat dan maknyus.”
Reya dan Ines otomatis saling berpandangan. Dan Ines menepuk dahi nyaris putuh asa mengapa harus satu kingdom dengan spesies makhluk yang suka memuji dirinya sendiri seperti Reya dan Bima.
“Pertama, oke elu cukup murah hati beliin kita gorengan. Thanks.” Reya berucap dengan tegas. “Tapi yang kedua, tolong anda sadar diri, kita berdua sebagai free-agent jauh lebih terhormat daripada anda yang suka sepik sana sepik sini sama maba.”
“Halah, alibi. Bilang aja nggak laku. Sok-sok-an mau fokus kuliah dan nggak mau terjebak dalam toxic-relationship.” Komen sarkas yang membuat telinga panas.
Berbeda dengan Ines yang lebih terlihat tenang dan membuang ucapan Bima ke udara. Reya terlihat meradang mendengar kalimat pedas dari Bima. “Daripada elo,, udah gombal-gombalin adek tingkat tiap hari tetap aja nggak laku.”
“Udah, udah, mending bahas acara kita, deh!” Mediator Ines kembali beraksi.
“Giamana kerjaan lo, Re?” Mengikuti Saran Ines, akhirnya Bima memindahkan topik.
“As you see, seharusnya elo nggak wusah basa-basi nanya sama orang se-kredibel dan se kompeten gue, thanks,” jawab Reya sombong sambil mengusap-usap kerah bajunya. “Everything is Perfect.”
Kesombongan Reya membuat Bima sedikit gerah, “Ya elah, semua orang bisa kali kalau cuma ngumpulin foto-foto doang, mah.” lagi, Bima kembali mengirimkan kode perang.
Si perfectionis dan si anti kritik Reya tentu tak terima. “Enak aja. Tugas gue itu justru lebih berat. Menyeleksi, dan itu bukan kerjaan gampang, ya, Bim.” Reya melakukan pembelaan, “itu butuh pikiran yang dalam, jernih, skill yang mumpuni dan..”
“Oke,, oke stop. Gue akui Afreya Maharani emang hebat,” Bima mengambil sebuah kartu nama dari dalam tas tas ransel kemudian meletakkannya di meja.