Sekitar satu jam sebelum matahari benar-benar menenggelamkan diri di kaki langit Cimahi. Senja katanya, yang seringkali dilukiskan sebagai wujud keindahan dalam bait-bait puisi cinta. Arras masih menyusuri tepi-tepi perlintasan kereta api dengan kamera analog Kodak 35, tahun 60-an kebanggaannya.
Ya, hari itu ia berangkat ke galeri jauh lebih pagi, sehingga pada pukul 15.00 ia sudah bisa menyelesaikan pekerjaannya kemudian pergi memburu foto seorang diri. Daerah di Bandung Barat itu pun menjadi tujuannya kali ini. Pertanda, bahwa sebentar lagi hasil dari perjalanan sore itu akan memadati rentangan tali dalam laboratorium foto alias kamar gelap-nya.
“Ras, jangan pelihara hunting di rel kereta, bahaya!” Bram mengingatkan suatu hari.
“Aku bukan anak kecil, Om,” tepisnya.
Arras menyukai kereta api, sebagai seseorang yang takut akan ketinggian namun menyukai perjalanan, ia merasa kereta menjadi satu-satunya alat transportasi paling ideal, estetis juga penuh cerita.
Segerombolan remaja yang tengah menghitung uang koin dari hasil mengamen, seorang laki-laki renta tengah memungut sampah dengan wajah keriput penuh debu dan peluh. Deretan pedagang-pedagang kaki lima tepi jalan Cimindi .Berjubelnya orang-orang di stasiun Cimahi. Kerumunan pengendara kendaraan bermotor di bawah fly-over yang tengah berhenti saat ada kereta melintas, juga kereta api ekonomi yang tengah melintas dengan kecepatan konstan. Semua itu sudah masuk dalam lensanya.
Tapi sebelum memotret Arras tak pernah melakukan ritual yang selalu dilakukannya, yakni mengajak berbincang siapa saja yang telah dipotretnya. Arras memberitahukan perihal tujuannya memotret dan akan dikemanakan foto-foto tersebut.
Senja telah berlalu, Arras memutuskan pulang ke rumah kos-nya di daerah Ciumbuleuit dengan menggunakan angkot, sengaja ia memilih kos yang jaraknya tidak lebih dari setengah kilometer dari galeri agar bisa pergi bekerja dengan berjalan kaki. Sejak 2 tahun lalu ia tidak lagi tinggal di galeri dan memutuskan untuk menyewa kos yang ideal dengan biaya yang tak terlalu mahal.
“Jarang-jarang loh ada aa’-aa’ cakep masih muda masih mau naek angkot, padahal banyak angkot sama ojek yang onlen-onlen gitu loh a’ sekrang,” seorang ibu-ibu dengan keranjang belanjaan tengah berbasa-basi padanya diikuti suara cekikikan.
Hanya seulas senyum tipis sebagai respon sebelum menyadari kalau ia sudah sampai di depan sebuah gang kecil, “kiri, Pak!” ucapnya, kemudian turun dengan memberikan uang selembar 5 ribuan lantas berjalan kaki menuju kos-nya dengan hanya berjarak 100 meter dari jalan besar.
Terparkir sebuah SUV berplat nomor B. Ia berharap itu adalah satu tamu teman kos-nya yang lain. Arras melangkah pelan memasuki ruang tamu dan mendapati laki-laki berusia sekitar akhir 30-an tengah terlihat lega saat mengetahui kedatangannya. Cipto, supir pribadi ayahnya yang sudah bekerja sejak Arras masih SMA.
“Saya nunggu Mas Arras sejak tadi sore, saya samperin ke galeri katanya Mas Arras sudah pulang.” Cipto bangun dari sofa, kemudian duduk kembali mengikuti Arras, “saya dari Jakarta langsung kesini.”
“Papa nyuruh apa?” Wajah lelah itu sedingin puncak bukit Dago di malam hari. Tanpa basa-basi, tanpa senyuman, apalagi sambutan selamat datang.
Sebenarnya Arras tak harus se-sinis itu pada Cipt0 yang sudah ia kenal sejak lama, tapi hal itu ia lakukan semata-mata karna ia sudah mengetahu niat Cipto mengunjunginya. Bahkan ia pernah berdebat panjang dengan Bram karena telah memberi alamat kos-nya pada ayahnya.
“Mas Arras apa kabar?”
“Kok, samape kesini langsung? Emang mau ngapain?” Arras balik bertanya.
“Bapak sama Ibu juga yang minta, buat melihat langsung keadaan Mas Arras katanya.”
“Halah, basi.” Arras membuang muka.
“Lagipula, Bapak ke Singapur selama beberapa hari.”
“To the ponit!”
“Hmm..” sekali lagi Cipto tampak meragu, tapi mengingat ini adalah titah dari atasan juga karena ia telah menempuh jarak ratusan kilo untuk sampai kesana, maka, ia tak bisa mengurungkannya “sebelumnya saya minta maaf.. ini atas perintah dari Bapak dan juga Ibu.”
Arras menyadarkan punggungnya ke sofa.“Mereka kompak sekali kalau dalam hal ini.”
“Mereka sebenarnya mau datang kesini langsung tapi.. takut suasananya belum memungkinkan.”
“Memang seharusnya mereka nggak pernah datang.”
“Sebenarnya,, saya masih kasih ini tapi tolong Mas Arras jangan salah paham,” Cipto mengeluarkan sebuah brosur dan selembar formulir pendaftaran, “mungkin bisa Mas Arras pertimbangkan.” Cipto berinisiatif menyederhanakan bahasa agar masih bisa Arras terima dengan baik.
Arras mengambil brosur setengah hati kemudian membacanya. Terdapat tiga poin besar yang ia tangkap. Sekolah, fotografi, professional. Tentu, setelahnya Arras langsung meletakkan kembali brosur itu ke meja, “gue nggak tertarik sama beginian.”
“Lulusannya langsung dapat sertifikat kemudian bisa langsung bekerja di perusahaan-perusahaan besar yang telah bekerja sama dengan Lembaga ini, industri hiburan, advertising dan lain-lain.” Cipto menjelaskan layaknya agen marketing.
“Papa, Mama sama elo sebagai orang lama juga masih belum mengenal gue dengan baik rupanya.”
“Mas,, apa salahnya? Toh, mereka tetap mendukung Mas Arras tetap berada di bidang yang Mas suka. Dan ini juga tidak berniat meremehkan dan sebagainya, ini hanya bentuk dukungan dan..”
“Kasih aja sama orang yang lebih butuh!” Arras segera menyela. Enggan over-reaction terhadap tawaran itu dan sekedar untuk menghargai Cipto tapi jelas pula sekali tak berniat menerimanya.
“Terus maksud mereka gue nggak punya masa depan yang jelas sebagai tukang foto amatiran di jalanan dengan hanya mengandalkan kamera tua murahan? Dan mereka malu jika harus menceritakan hal itu ketika pertemuan dengan para kolega kaya raya yang anak-anaknya lulusan luar negeri dan sukses sebagai pengusaha atau pejabat negara, ha?”
“Mas… ini hanya…”
“Oh, atau mereka hanya nggak mau dianggap lalai sebagai orang tua?”
“Mas… apa salahnya mereka hanya..”
“Cipto, Stop!”
Cipto menegakkan badan dan menatap mata Arras dengan lebih berani dari sebelumnya.