“Ini surat undangannya, Pak,” Reya menyerahkan sebuah surat undangan yang telah dimintanya dari sekretaris. “Kami sangat berharap bapak berkenan untuk memenuhi undangan ini?”
“Ini undangan buat Arras?”
“Iya, buat Pak Arras,” Reya mengangguk penuh percaya diri karena kini suasana hatinya sudah cukup membaik setelah melihat sendiri koleksi galeri.
Bram tertawa terbahak. “Sepertinya kamu salah paham.”
“Maksudnya?” Reya terlihat kebingungan.
“Nama saya Bramastya, panggil saja Om Bram, saya memang pemilik galeri ini, tapi saya bukan Arras. Maaf lupa menyebutkan nama waktu kenalan tadi.”
“Oh, maaf Om, maaf banget,” Reya merasa canggung dan tidak enak hati dengan kesalah pahaman yang dibuatnya. “Saya nggak tahu, saya pikir..”
“Nggak apa-apa, santai saja!” Bram mengeluarkan ponselnya, mendial sebuah kontak atas nama Arras. “Bentar, ya, saya telepon dulu, biar kesini sekarang.”
“Ah, apa nggak merepotkan, Om? Undangan saya saja sudah cukup merepotkan.”
“Nggak apa-apa. Besok kita tutup, biar sekarang kamu nggak kelamaan nunggu juga.”
Beberapa kali, sepertinya panggilan itu tidak kunjung dijawab. “Sabar, ya, mungkin dia masih tidur.”
Bram mencoba lagi tidak menyerah, hingga pada kali kesekian, teleponnya diangkat oleh yang bersangkutan.
Dan tentu Reya tidak bisa mendengar suara dari seberang.
“Kamu kesini, ya, sekarang…. Saya ada tugas penting…. Sekarang Ras… ayolah… ini juga sudah jam berapa… Ras… Oke… Saya tunggu, ya!” Bram menutup telepon.
“Wah, jadi, nggak enak saya, Om.”
“No matter. Ini bukan hanya karena ada kamu, kok, tapi juga karena memang banyak deadline. Kamu tunggu sebentar, ya! Nanti kalau mau tanya sesuatu bisa sama Nino aja. Sayangnya, ada keperluan diluar sekarang, sebenarnya mampir kesini buat ngambil barang aja” Bram mengeluarkan sebuah kartu nama. “Ini kartu nama pribadi saya, besok-besok silahkan datang lagi kesini kalau kamu mau.”
“Wah, makasih sekali Om. Saya nggak tahu harus bilang apa lagi.”
Bram menjawab dengan senyum manis dan anggukan. “Nino di dalam kayaknya, masuka aja, ya!” Bram pun pergi dengan menggunakan mobil jip warna oranye terang-nya.
“Oke, makasih, Om.”
Setelahnya, Reya kembali masuk ke dalam menemui Nino yang tengah sibuk menata-nata foto yang sudah dibingkai.
“Om Bram udah pergi?”
“Iya, baru aja. Saya pikir Om Bram itu yang namanya Arras.”
“Haah?” Nino akhirnya ikut tertawa. “Om Bram itu fotografer profesional senior, tapi sekarang udah gantung kamera, alias pensiun jadi cuma ngurusin galeri ini aja.”
“Oo jadi gitu. Karyawannya banyak?”
“Nggak. Cuma aku sama Mas Arras aja. Soalnya kan memang bukan bukan kantor besar, cuma fokus di servis, jual-beli kamera bekas, jasa untuk cetak film sama beberapa koleksi hasil hunting sendiri.”
“Tapi benar-benar ini salah satu galeri foto terkeren yang pernah saya tahu.”
“Ah, bisa aja. Sekalian aja nungguin fotografernya. Hari ini kerjaan Mas Arras lumayan, jadi kayaknya nggak malem-malem banget kesininya.”
“Oke.”
Ide dari Bima sejauh ini tidak terlalu buruk, ia bahkan tak menyesal datang jauh-jauh ke galeri itu, karena selain koleksinya yang memang bagus, ia juga disambut dengan sangat hangat dan ramah.
Sambil lalu menunggu, fokus Reya tertuju pada salah satu foto yang paling menarik perhatiannya diantara yang lain. Sebuah karya seni dengan objek sebuah gubuk kayu di dekat danau tanpa seorang pun disana.
“Aslinya foto yang ada disini hasil karya beberapa fotografer. Tapi kebetulan yang kamu lihat itu juga punyanya orang yang sedang kamu tunggu sekarang, loh,” ungkap Nino.
“Keren,” hanya sepatah kata. “Aslinya objek kayak ini sering aku lihat, sih, tapi kalau hitam putih gini mah nggak pernah, lebih hidup tapi misterius.”
“Sama kayak yang punya.” Nino berbisik, seakan memang tak ingin Reya mendengarnya.
“Hah, maksudnya?”
“Fotografernya juga misterius,” jawab Nino, “kalo yang ini sama ini gimana? Kebetulan sama-sama punyanya Mas Arras.” Nino menunjuk 2 foto lagi yang berjejeran.
Foto kesatu dengan objek seekor bintang laut di pasir yang berombak, foto kedua dengan objek perahu kayu yang kosong kosong tanpa penghuni, keduanya dalam mode yang sama, hitam putih. Manik mata Reya kembali mengamati, “kesepian, orangnya pasti kesepian, terus sulit menerima hal-hal baru diluar zona nyamannya.”
“Terus?” Nino kembali memancing.
“Semuanya hitam putih, sepi, sendiri, vintage. Pasti orangnya punya dunianya sendiri.” Reya benar-beanr hanya menebak sekenanya. “Lagian, emang orangnya nggak mau motret objek-objek yang lebih kekinian dan colorful gitu? Kali aja bisa disambut dan dinikmati oleh lebih banyak orang. Kan, lumayan, tuh, naikin atensi.”
Reya berceloteh begitu saja karena karakternya yang memang vokal dan blak-blakan. Sayangnya ia tak menyadari bahwa dari jarak 5 meter Arras sejak beberapa menit lalu suah berdiri tepat di pintu masuk, mendengarkan semua komentar yang ia ucapkan.
Fatalnya, bagi Arras, Reya tidak lebih dari seorang bocah newbie yang sok tahu dan terkesan nyinyir. Bahkan kalimat terakhir yang mempertanyakan soal genre lain menurut Arras sangat tidak sopan dan sok ngatur-ngatur. Arras memandangi Reya dengan sinis dan jengah, bahkan kemarahan. Dan, parahnya bahkan Bram memintanya segera datang hanya untuk menemui seorang tamu yang menyebalkan.
“Saya nggak butuh atensi dari orang-orang yang sok tahu seperti kamu.”