Air hujan menetes sedikit demi sedikit, mobil-mobil travel yang memiliki 14 tempat duduk di dalamnya pun terkubangi hampir setengahnya. Langit tak mendukung usaha yang menjual pelayanan jasa tersebut untuk beroperasi dengan semestinya. Terlihat beberapa orang di pelataran kantor cabang Setiabudhi Bandung sedang sibuk bergulat kesana-kemari untuk menyelamatkan barang-barang agar tidak rusak dilahap banjir. Letak kantor cabang yang lumayan strategis yaitu dihimpit oleh Giggle box dan Saka bar & Resto—membuat kawasan yang layak disebut kawasan elit. Walaupun banyak tempat dugem seperti Sober dan Shelter, tidak mengurangi kemewahan kawasan tersebut. Pohon-pohon dari berbagai macam jenis membuat kawasan itu terlampau sejuk, dari mulai pohon pinus sampai beringin. Terdengar riuh tawa yang mencairkan suasana, dan keringat bercampur air hujan yang lambat laun berubah menjadi lumpur. Genangan itu menyurut seiring berhentinya hujan. Renja, salah satu karyawan Setia Trans mengacungkan alat pel-nya tinggi-tinggi ke udara, tercipratlah airnya kesembarang arah sehingga membuat orang-orang disekitarnya terkesiap sambil meraung sebal.
“Dengerin nih, kawan! Nyanyian penghalau banjir karya musisi kenamaan Bandung, Renja Brata! Jreng... Jreng....” berkumandanglah kidung keras, lebih mirip raungan kesialan dari pria muda dengan rambut gondrong yang terkuncir seperti air mancur.
“Baka!” teriak Oriza lantang, kemudian teriakan susulan kompak diserukan oleh karyawan lain yang mulai menari-nari dengan alat binatu yang ada ditangan mereka masing-masing. Baka adalah kata dalam bahasa jepang atau arti dalam bahasa Indonesianya adalah bodoh, memang mencerminkan tingkah kekonyolan Renja.
Begitulah suasana yang terjadi ketika banjir tiba, tragedi yang malah membuat sebagian dari karyawan di situ bergembira riang tanpa beban pikiran. Supir-supir yang sedang beristirahat di bangku ruang tunggu sambil menonton tv pun hanya bisa tersenyum geli sembari menggeleng-gelengkan kepala mereka.
“Bisa agak cepetan nggak sih kerjanya?” ketus Ida, rambutnya yang kribo mulai lepek. “Kalau atasan tahu baru deh nangis-nangis,” lanjutnya, sedikit sinis. Kalimat tersebut disetujui oleh keempat temannya yang lain, komplotan geng Ida memang menyebalkan, suka sekali menggagalkan kebahagiaan orang lain.
Di dalam kesederhanaan yang menyenangkan itu, tanpa diketahui banyak orang ternyata hubungan sosial para karyawannya amburadul, kacau dan tidak harmonis—terbagi menjadi tiga kubu; yaitu kubu Ida, kubu Oriza dan kubu netral yang kebanyakan dihuni oleh para supir. Selebihnya birokrasi sistem kantor travel itu sangat rumit dan berbebelit-belit layaknya konspirasi dunia yang sulit dipecahkan.
Renja, Oriza, Raiyan, Nasya dan Amadio berdeham malas, mereka saling menukar sinyal rahasia sembari sikut-sikutan. Akhirnya, Nasya berbisik. “Tukang ngadu lagi ngamuk, takut ih,” candanya.
“Bisa agak cepetan nggak sih kerjanya?” Renja meledek lalu menirukan kalimat Ida, ditambah tangannya bergoyang-goyang disengaja.
“Aku denger, ya,” timpal Ida.
“Aku juga denger kok,” jawab Oriza.
Pecahlah kembali tawa geng atap, sekumpulan manusia yang hobinya nongkrong di atap bangunan kosong. Ida, Amel dan Dodi berbisik-bisik dengan mata yang sinis.
“Geng brokoli bakal sabotase laporan keuangan kita nih,” Raiyan bimbang.