“Satu,dua,tiga,empat...” Instruktur dance menggerak-gerikan tubuhnya dengan mantap dan lihai sembari mengulang hitungannya secara bolak-balik.
“Dio!”
“Ya, Coach?” Amadio terhentak dari lamunan panjangnya, wajah chubby-nya yang selalu tampak cerah entah kenapa hari itu terlihat murung.
Pelatihnya tampak murka kemudian menghampiri pemuda dengan tatanan rambut yang metroseksual itu, british style macam pangeran-pangeran Inggris namun versi melaratnya. Pelatihnya menghembuskan napas. “Dilihat-lihat hari ini kamu nggak fokus latihannya, ada masalah di kerjaan?” wanita yang sudah berumur dengan pakaian yang pas ditubuhnya sehingga membuat yang melihat pun langsung merasa ikutan sesak. Wanita itu pelatih menari Amadio. Seorang wanita yang penyayang dan perhatian, ia juga dapat membuat Amadio nyaman-seperti halnya seorang kakak perempuan yang tak pernah Amadio miliki. Pemuda di depannya menggeleng pelan, tentu saja tak pernah ada masalah di Setia Trans, performa kerja Amadio cukup brilian. “Masalah di rumah?” lanjut Mbak Asti, nama pelatihnya itu.
Kemudian Amadio tertunduk, tanpa menjawab. Di situlah raut wajah Mbak Asti melunak dan memberi isyarat pada murid-muridnya yang lain untuk break dulu.
“Kalau dengan cerita bikin kamu jauh lebih baik, Mbak Asti bakal nemenin di sini.” Setelah memastikan ruangan latihan sudah kosong, akhirnya Mbak Asti bisa leluasa merangkul murid kesayangannya itu. “Belajar tutting emang butuh waktu yang nggak sebentar, maafin Mbak, ya, kalau latihan ini jadi beban tambahan buat Dio.” Lalu, wanita itu mengusap pelan pundak Amadio dengan ekspresi yang semakin lama semakin tampak sedih, Mbak Asti menatap pantulan sosok pemuda itu di dalam cermin di depannya, dalam-dalam.
“Andai aja orang tuaku lebih supportif, mungkin aku nggak akan semenderita ini. Mereka lebih mengkhawatirkan apa kata orang lain ketimbang mempertimbangkan mimpi anaknya sendiri.” Amadio, sang pangeran yang ceria, good looking, bertubuh indah walaupun tingkahnya cenderung flamboyan itu, nyatanya menyimpan kekhawatirannya sendiri. “Habis sudah hidupku..” ratap Amadio.
Mbak Asti tercenung, pemuda yang umurnya dua kali lipat lebih muda darinya itu ternyata mempunyai beban yang cukup runyam, “pada dasarnya semua emosi dipicu oleh penilaian, opini, dan persepsi kita aja, Dio. Semua orang seperti itu, tanpa terkecuali, begitu juga orang tuamu.”
“Mereka pikir menari itu cuma profesi buat banci.”
Mbak Asti memalingkan wajahnya dari cermin, kemudian memegang kedua pipi Amadio dan dengan lembut menggerakannya sedikit ke arah wajahnya sendiri, sehingga mereka sekarang bertatapan dengan jarak yang lumayan ekstrim dekatnya. “Kalau mereka bilang menari itu cuma buat banci, kenapa kamu selalu ragu untuk mengenalkan Mbak ke mereka? Apa karena umur? Apa karena status kejandaan Mbak? Apa karena anak-anak?” Mbak Asti meneror Amadio dengan berbagai pertanyaan yang otomatis membuat pemuda itu semakin linglung.
“Seperti kata Mbak tadi, semua emosi dipicu oleh persepsi kita sendiri. Semua pertanyaan itu hanya ada di dalam pikiran Mbak, bukan berarti aku ragu atas hubungan kita atau aku nggak sayang sama Mbak maupun anak-anak.”
“Lalu?”
“Aku bahkan belum bisa memenuhi mimpiku sebagai performer, sedangkan Mbak udah mapan...” Pemuda itu menggeliat, melepaskan paksa kedua tangan Asti yang menempel dipipinya. Lalu pemuda itu mengangkat kedua tangannya ke atas, menunjuk-nunjuk ke sekeliling bangunan. “Lihat? Semua ini milikmu, Mbak. Sedangkan aku cuma karyawan travel dengan gaji UMR, apa yang kamu harapkan dari bujang miskin kaya aku?”
Amadio berdiri, berjalan pelan ke arah pintu keluar. Meninggalkan Mbak Asti, kekasih gelapnya yang sudah berhasil ia sembunyikan selama 2 tahun dari semua orang. Perbedaan umur yang cukup riskan membuat Amadio, anak satu-satunya di keluarga sederhana yang otoriter itu kelabakan. Asti bukanlah levelnya, menikahi janda kaya bukan tujuan hidupnya. Terlihat tidak adil, tapi hidup hanyalah persoalan perspektif pada banyak sisi.
“Apa Mbak nggak ada di dalam daftar mimpi-mimpimu?!” Mbak Asti berteriak, gemanya membuat sakit di ulu hatinya semakin menyebar. Selama ini ia selalu mengalah demi Amadio. Menurutnya hanya Amadio lah yang tak melihatnya sebagai janda kaya yang hartanya bisa dikuras lalu ditinggal, pemuda berumur 22 tahun itu melihatnya sebagai manusia biasa.
“Keduanya saling terkait, dan kalau emang ada kepedihan, pemicunya, ya, rasio kita sendiri. Ekspetasimu terhadapku dan hubungan kita.”
Ruangan itu sunyi, hanya ada isakan tangis wanita 41 tahun dengan segala kesuksesan dipundaknya, namun gagal mempertahankan cinta dan tumpuan mimpi barunya. Napas segar itu lenyap bersamaan dengan kalimat terakhir Amadio dan gebrakan pintu yang ditutup paksa.
...
Menenangkan, mendamaikan, membuat semua terasa aman. Begitulah ritual keagamaan yang Nasya lakukan di setiap akhir pekannya. Sebisa mungkin dia menyempatkan diri untuk menelanjangi diri seada-adanya pada Tuhan yang menjadi pedoman hidupnya. Nasya memang seorang Katolik yang taat, mungkin hampir semua isi kitab-kitab itu sudah ada di alam bawah sadarnya. 46 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab perjanjian Baru sudah menjadi makanannya sehari-hari.
“Renungan seorang Romo, Na.”
Nasya mendelik, do’a yang ia panjatkan dan renungkan tiba-tiba buyar oleh sautan asal-asalan teman satu gerejanya itu. “Bisa diem nggak, Nal?”
“Donal sedang berdiam sejak tadi,” dengan kalimat baku itulah darah tinggi Nasya semakin tersenggol, “untuk ukuran gadis gereja yang taat, emosimu itu tidak cocok.”
“Amen.” Nasya kembali pada posisinya semula tanpa mempedulikan orang disebelahnya, Donal pun dengan ceroboh langsung ikut-ikutan berkata ‘Amen’. Ketika semua pengunjung satu persatu mulai meninggalkan tempat peribadahan itu dengan hikmat. Nasya menggunakan ekstra tambahan waktunya dengan memanjatkan do’a kembali, wanita muda dengan gaya casual itu memejamkan matanya.
Saat Nasya membuka mata, dilihatnya pemuda berkacamata tebal dengan kawat gigi dan rambut klimis itu sudah memandangnya lekat-lekat dengan senyum menyebalkan di wajahnya. Suasana gereja sudah lengang, mungkin hanya ada mereka berdua dan Romo yang masih melanjutkan ibadah. Tanpa basa-basi lagi, Nasya beranjak pergi setelah membereskan semua barang-barangnya di tas. Seolah-olah tak ada Donal yang sejak tadi bertingkah menyebalkan dan lumayan bikin risih, tapi Nasya adalah Nasya yang cuek dan dingin sikapnya.
“Gadis gereja biasanya anggun dan lemah gemulai.” Donal berusaha untuk menyamakan langkahnya. “Gadis gereja biasanya bersuara merdu.” Dan kicauan soal gadis, gadis, gadis, dan gadis itu semakin tidak terelakkan.
Nasya berdiri di halte depan gereja dengan suasana hati yang sudah jengkel, tapi ayat-ayat kitab dan jam-jamnya beribadah membuat gadis tomboy tersebut lumayan bisa mengelola amarahnya, jika bukan karena teman satu gereja sejak dibangku sekolah dasar, mungkin tinjunya yang sudah terkepal itu akan melayang tepat dimuka aneh pemuda yang sejak tadi tak bisa berhenti meracau itu. Halte dikawasan Antapani itu terlihat sepi. Beberapa pengemudi kendaraan seperti sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Macet—mungkin itulah kata yang sempurna untuk menggambarkan Antapani.
“Apa maksud dari renungan seorang Romo itu, Nal?” akhirnya racauan konyol pemuda itu bisa terpatahkan hanya dengan satu pertanyaan yang seperti boomerang bagi Donal.
“Hm..”
“Jangan berbicara tanpa dasar,” Nasya menoleh, lalu menekan kacamata Donal.
"A-aku, i-itu—” Donal tergagap dan salah tingkah, “Romo berharap kamu bisa mengabdi lebih dalam di gereja kita.” Kata-kata itu tertembak tanpa jeda bertepatan dengan tibanya bus tujuan ke rumah Donal dan dengan kecepatan maksimal pemuda itu langsung naik kendaraan tersebut. Meninggalkan Nasya dengan kebingungan yang menganga. “Suster Nasya, do’a-do’amu itu akan melesat ke langit jika kamu sudah merelakan semua keduniawian itu, bergabunglah denganku dan bertaatlah!”
Biarawati? batin Nasya. Selama ini ia sudah terbiasa berjuang sendiri untuk bertahan hidup dengan mengais rezekinya di Setia Trans. Semua yang dilakukannya di dalam hidup tampak tak berisiko, maklum saja Nasya adalah manusia sebatang kara bekas bencana besar.
Apa biarawati pilihan yang tepat?
“Romo belum mengerti aku apa adanya...” lirihnya pada angin. “Keimananku akan tetap kuat walau aku sekarang sedang terobsesi pada manusia yang tidak mengimani Tuhan yang sama. Bisakah Tuhan menunggu?”
Begitulah adanya manusia, mereka semua terbentuk dari segala emosi dan pikiran-pikiran yang sudah mereka rekayasa sendiri dan memilih untuk membebankannya pada sang pencipta. Entah Tuhan yang mana –semua pasti memiliki rumus kebaikan yang sama. Tapi, cinta secara naluriah memang selalu membutakan bahkan kepada hamba yang paling beriman sekalipun.