Kita (Tidak) Baik-Baik Saja

Fey Mega
Chapter #3

Chapter 2

Bagian paling terburuk dari memata-matai teman sendiri adalah caught in the act. Tetapi, menurut Raiyan, penyamarannya ini terbilang luar biasa. Bagi pemuda dengan penampilan biasa saja, muka standar, dan keahlian yang tidak begitu keren itu—tugas barunya ini dapat menghidupkan gairah yang tidak dapat digambarkan.

Raiyan dipilih bukan karena keahliannya, sebab musababnya memang menggelitik. Bagaimana tidak, pemuda itu dipilih oleh atasannya menjadi mata-mata hanya karena terlihat paling netral di antara yang lain dan alasan yang cukup logis dari semua alasan yang mudah teriliminasi itu, karena pemuda dengan rambut dicepak itu karyawan baru yang notabenenya masih awam soal laporan keuangan di Setia Trans, padahal pada nyatanya Raiyan sudah nyaris memahami semuanya.

Karena terhitung ke dalam spesies yang tingkat empatinya minim, Raiyan yang tiba-tiba harus memperhatikan setiap gerak-gerik semua teman kerjanya pun merasa sangat tertinggal. Ternyata banyak hal yang selama ini ia lewatkan—mulai dari keidealisan Renja pada laporan, kecerobohan Oriza ketika menangani paket-paket yang akan dikirimkan, keusilan Nasya pada beberapa kucing jalanan yang mampir minta di supply makan atau minum, ketulenan Amadio, bahkan ia sekarang dapat mengenal lebih dalam karakter Ida yang suka dandan sambil belajar public speaking di depan cermin secara diam-diam, Amel yang doyan makan walau badannya tetap kurus, dan Dodi yang terobsesi pada kartu tarot.

Mereka semua karyawan Setia Trans yang bekerja di bidang ticketing. Dengan beberapa jobdesk yang lumayan susah-susah gampang.

Raiyan berdiri di depan whiteboard dengan spidol bertinta hitam ditangannya. Tergambar beberapa bagan dengan nama-nama ticketing yang bekerja sepekan ke belakang. Semua terpapar secara runut—termasuk laporan jumlah penumpang secara spesifik di setiap jam keberangkatan atau jumlah penumpang yang datang diratakan lagi dengan uang yang masuk ke dalam kas yang ada ditangannya. Karena, Setia Trans juga menerima pengiriman berupa paket, maka jumlah paket dari point cabang Bandung ke cabang Karawang akan di sortir kembali. Terkadang banyak yang teledor dan tertinggal.

Hari Shift Pagi Shift Siang Libur

Senin Amadio-Ida Raiyan-Nasya-Oriza Amel-Renja-Dodi

Selasa Ida-Oriza Raiyan-Amel-Nasya Dodi-Amadio

Rabu Dodi-Ida-Amel Oriza-Nasya-Amadio Raiyan-Renja

Kamis Dodi-Nasya-Amadio Renja-Oriza-Raiyan Ida-Amel

Jum'at Renja-Dodi-Ida Amadio-Amel-Raiyan Oriza-Nasya

Sabtu Nasya-Ida-Dodi Raiyan-Amel-Renja Amadio-Oriza

Minggu Oriza-Amadio-Amel Renja-Dodi Nasya-Ida-Raiyan

“Ida hari selasa kemarin dapet giliran shift bareng Oriza,” Raiyan berpikir sejenak, ketika dua geng itu bergabung dalam satu shift, kemungkinan melakukan kecurangan semakin sempit. Maka Raiyan mencoret beberapa lawan shift yang dikira mustahil, seperti duel Oriza dan Ida. Dan pastinya Raiyan mencoret ketika namanya ada di dalam shift-shift itu. “Renja punya banyak alibi, kemungkinan terbesar semua korupsi itu terjadi di hari rabu.” Raiyan bahagia, mulutnya berkedut-kedut. Seperti momen eureka pada jaman filsuf.

Ada ketukan kencang, Raiyan yang panik pun dengan cepat tangkas langsung mendorong whiteboard dengan empat roda itu ke dalam lemari besar yang sudah terbengkalai, “sebentar!” teriaknya, setelah merapikan penampilannya dan memastikan tak ada hal yang bisa dicurigai, akhirnya Raiyan membuka pintu ruangan meeting yang sudah dijadikan gudang itu.

“Ngapain?” tanya Amadio.

Dengan gugup Raiyan menjawab. “Cari ilham aja.”

“Digudang? Ngaco sih...”

Raiyan tertawa kikuk, “nggak ada salahnya, kan? Ada apa?”

“Temenin makan, yuk. Kamu, kan, lagi libur.” Amadio nyengir.

“Oriza sama Amel ke mana?” Amadio menaikkan bahunya. “Ke mana?”

Dengan lagak bak seorang model, Amadio mengacungkan jarinya, “Tuh, mereka! Debat masalah uang solar...”

Raiyan mendesah keras, ingin rasanya semua beban di dalam pikirannya segera hilang.

...

Minggu adalah hari di mana do’a-do’a dan banyak sekali energi baik yang terpancar ke langit, di mana hati wanita tomboy itu terpaut pada Tuhan-nya.

Namun, baginya langit itu terlalu angkuh. Nasya diam-diam mencintai bulan, entah itu purnama, sabit ataupun gerhana. Semua itu mengingatkannya pada Raiyan—laki-laki itu selalu mengibaratkan diri sebagai ‘pemetik bulan’. Itulah saat di mana Nasya memutuskan untuk mengabdikan diri sebagai purnama, benda langit yang terbit indah di kala gelapnya malam. Matahari lambat-laun menyengat, langit terlihat megah dengan keangkuhannya, bintang akan mati, dan hanya bulan yang tetap di sana meski hanya dibutuhkan dikala semuanya padam saja.

Tidak apa-apa, bukankah itulah seninya hidup?

“Kenapa aku di sini, sih? Berdosa lah kamu, Ren,” ratap Nasya, sambil memainkan-mainkan gelasnya di meja bar. Lalu, ia melihat jam ditangannya. “Jam 9 pagi dan aku udah di tempat kaya gini? Maafkan aku Tuhan...” lanjutnya, menatap sinis pria eksentrik di sebelahnya.

Lihat selengkapnya