“Nana!”
“Raiyan?” Nasya menoleh, ia memeluk buku-buku laporan ditangannya semakin erat.
Raiyan menggaruk kepalanya sembari tersenyum tipis, “bareng aja, kita kumpul-kumpul di atap gedung kosong seperti biasa.”
“Aku mau setorin uang dulu,” Nasya menolak dengan ramah.
“Sini biar sama aku aja,” Raiyan merebut buku-buku itu dari pelukan Nasya, perempuan tomboy yang wajahnya manis itu sedikit terhentak, “anak-anak udah nungguin, kamu tunggu aku di parkiran, ya. Bakalan cepet kok...”
Saat sosok Raiyan sudah hilang dari pandangannya, Nasya menaruh kedua tangan didadanya yang berdetak hebat. Momen seperti ini sangatlah langka, Raiyan bukan tipe yang mudah mengajak wanita untuk menaiki motornya. Seingatnya hanya Oriza yang punya akses itu. Tanpa pikir panjang dengan langkah yang penuh semangat, Nasya berdiri di samping motor Raiyan sambil bersiul-siul girang.
“Sekarang jadi mamang parkir, Na?” Dodi bercanda.
“Berisik,” Nasya mendelik.
Ida dan kawan-kawannya tertawa nyinyir. “Tumben Raiyan mau boncengan sama cewek lain selain Miss Perfect kalian itu? Atau jangan-jangan ada drama temen makan temen, ya?” lanjut Ida.
“Daging manusia tuh nggak enak,” polos Amel. Dodi dan Ida saling tatap-tatapan, lalu mereka menyumpal mulut Amel yang otaknya agak geser itu. Amel memang gemar merusak pesta nyinyir geng brokoli terutama pada sasaran empuknya.
“Ada apaan nih rame-rame di depan motorku?”
“Ada temen makan temen!” celetuk Amel yang berhasil terlepas dari bekapan kedua sohibnya yang kemudian dengan serentak meneriakkan namanya karena malu, lalu Ida dan Dodi berjalan tunggang langgang sambil menyeret Amel.
“Aneh,” gusar Raiyan. “Udah siap?” tanyanya pada Nasya yang langsung menelan ludah, sebab terlalu gugup. Raiyan mengacungkan helm berwarna merah muda, lalu menyerahkan benda itu dengan senyum yang menyertai. Tak pernah dalam 6 bulan pertemanan mereka, Raiyan tersenyum seperti itu padanya—semua harapan itu mekar kembali, memadamkan kalimat-kalimat Donal ataupun Romonya.
Saat motor itu melaju dengan kecepatan yang cukup stabil, angan-angan Nasya sudah melampaui batasnya.
“Halo, orang di belakang? Masih sadar, kah?” canda Raiyan, lalu ada polisi tidur yang cukup tinggi, sehingga kata-kata itu berubah jadi teriakan. “Pegangan, Na. Makanya...”
“Ini aku pegangan kok! Kamu aja nggak bener nyetirnya...”
Raiyan menggelengkan kepalanya, “pegangan tuh sama yang nyupirnya, bukan sama jok. Jadinya, ribet sendiri.”
“Ogah...”
“Ish. Ya, udah. Bandel sih nggak bisa dibilangin.”