Jadwal keberangkatan terakhir baru saja rampung, entah ada maksud apa Bu Kasih memanggil semua ticketing yang bertugas pada hari rabu.
Raiyan dan Renja yang kebagian libur tapi mendengar desas-desus tak menyenangkan dari para supir pun berdiri dengan sedikit gusar dan kelimpungan di depan ruang meeting. Keringat dingin membasahi tubuh mereka.
“Katanya sih informannya tuh salah satu dari ticketing.”
“Yang nggak dipanggil ke persidangan aja.”
“Mereka berdua pastinya.”
Renja mendelik, “Bapak-bapak supir yang terhormat, kalian kalau mau gosipin kita mending jangan sampai kedengeran langsung sama kitanya deh, jauh-jauh sana!”
Raiyan memang jelas-jelas melapor kalau ada yang menjanggal dari hari rabu, di mana Ida, Amel dan Dodi yang ia curigai. Bukan malah sahabat-sahabatnya sendiri. Karena merasa bersalah, Raiyan pun hanya bisa melamun. Berusaha mencari alibi untuk teman-temannya.
Tapi, semua itu jelas saja sudah terlambat, apalagi saat Raiyan melihat raut wajah sedih dari Amadio, Nasya dan Oriza.
“Kita kena pecat,” lirih Amadio.
Raiyan yang tidak percaya dengan semuanya itu hanya bisa mematung, “nggak mungkin.”