“Semuanya udah siap, Ren—” Nasya merapikan ikatan di rambut gondrong Renja. “Kerennya temenku, pantes aja jadi idola remaja,” tambah Nasya, menggoda Renja.
Renja merapikan kerah bajunya untuk yang terakhir kalinya sebelum naik panggung, “semua bisa terwujud berkat manajerku yang paling berbakat.”
“Tanpa musikmu semua bakal jadi nada-nada sumbang tanpa arti, Ren.”
“Pencapaian terbesarku tuh cuma ngalahin The Chain.”
Nasya terbahak-bahak, “ini udah tahun kedua kita bekerjasama dan The Chain udah dilupain banyak orang, tapi kamu masih rela mengungkit nama itu, memalukan.”
“Dan kamu masih jadi gadis gereja!”
Nasya mengetuk kepala Renja dengan cukup keras, raungan pun terdengar ke seisi ruang ganti yang mulai sepi. “Aku, kan, udah bilang kalau jalanku sekarang bukan di situ lagi.”
“Udah mantap jadi mualaf?”
Nasya mengangguk, “jauh sebelum hidayah itu datang, aku udah memantapkan diri.”
“Bukan karena aku, kan?”
“Ngarep!”
Mereka tertawa geli, “katamu semua agama menawarkan kebaikan, lalu kenapa tiba-tiba berubah haluan?”
“Katolik baik bagi siapa saja yang mengimaninya, tanpa penilaian yang berarti. Apa sih gunanya opini dari seorang Nasya? Aku cuma mengikuti kata hati aja.”
“Atau kata Raiyan?”